Sunday, September 28, 2025

Catatan Daun: Jejak Lokalitas dalam Cerpen Yanto Bule


Oleh: Asro Al Murthawy*


Membaca cerpen-cerpen dalam buku Catatan Daun karya Yanto Bule, kita seperti sedang duduk di beranda rumah kayu, ditemani kopi pahit dan desir angin dari kebun karet. Setiap cerita menghadirkan aroma pedesaan yang khas, suara gamelan jatilan, sampai riuh pasar sayur di pondok-pondok kebun. Tak berlebihan bila saya katakan, karya ini bukan sekadar kumpulan cerpen, melainkan juga sebuah arsip kultural yang merekam denyut kehidupan masyarakat Merangin.


Yanto Bule—nama kecilnya Daryanto—sudah lama dikenal sebagai anggota senior Sanggar Imaji. Ia juga termasuk salah seorang penggagas awal Dewan Kesenian Merangin (DKM). Jadi, kehadiran buku ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil konsistensi panjang seorang penulis yang sejak awal mengikat dirinya dengan dunia sastra dan tradisi lokal. Bahkan, terakhir ia hadir di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dalam ajang Pertemuan Penyair Nusantara XIII, membawa nama Merangin di gelanggang sastra Nusantara.



Cerpen “Catatan Daun” misalnya, mengisahkan seorang anak yang membawa sesaji ke air terjun Mengkaring. Ritual itu bukanlah bentuk penyembahan, melainkan cara sederhana masyarakat menjaga kelestarian alam. Cerita ini merekam bagaimana legenda, sesaji, dan pesan leluhur berkelindan menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan.


Lain lagi dengan “Pikulan Kaji Sirad” yang begitu getir. Kisah seorang ayah pemikul sayur, yang mengajarkan tanggung jawab dan keikhlasan, menjadi potret pedih tentang kerja keras orang tua di pedesaan. Ada pula “Jubah Bapak”, “Pusara Ayah”, hingga “Kancil dan Ingatan tentang Ibu”, yang sarat dengan tema kehilangan, kasih sayang keluarga, dan ketabahan hidup.


Di sinilah kekuatan Yanto Bule: ia tidak berjarak dengan tokoh-tokohnya. Cerpen-cerpen ini terasa hidup karena lahir dari pengalaman sehari-hari yang dekat dengan penulisnya.


Kelebihan Catatan Daun jelas ada pada otentisitas lokalitas. Yanto Bule menulis dengan jujur, apa adanya, tanpa dibuat-buat. Dialog mengalir alami, bahasa sederhana, kadang terasa lugu, tapi justru membumi.


Namun, ada beberapa catatan teknis: kalimat-kalimat panjang tanpa titik koma kadang membuat pembaca kehabisan napas. Alur cerita tertentu terasa berputar-putar karena lebih menikmati suasana daripada fokus pada konflik. Hal ini wajar, sebab Yanto Bule juga seorang jurnalis, dan gaya reportase kadang menyusup dalam narasinya.


Buku ini menegaskan peran Yanto Bule sebagai penggerak sastra Merangin. Jika menyebut nama saya di satu sisi, maka di sisi lain ada Yanto Bule yang sama-sama menghidupkan tradisi menulis, melahirkan Sanggar Imaji, dan menjadi fondasi awal Dewan Kesenian Merangin. Ia tidak hanya menulis, tapi juga merawat ekosistem seni di Merangin.


Catatan Daun adalah buku yang lahir dari tanah pedesaan, namun layak dibaca oleh siapa saja. Ia mengingatkan kita bahwa sastra Indonesia tidak hanya tumbuh di kota besar, tetapi juga di pinggiran desa, di kebun karet, di pinggir sungai merah. Dan dari situlah, suara Yanto Bule mengalir, menjadi bagian dari peta sastra Indonesia yang lebih luas.


Artikel ini ditulis oleh Asro Al Murthawy, sastrawan.



Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com