Sunday, February 16, 2025

Pelarangan Pertunjukan dan Penggembokan Ruang Pentas: Apa yang Sebenarnya Terjadi di ISBI Bandung?


Oleh: Adhyra Irianto


Saya terkejut ketika tiba-tiba ada berita yang kurang mengenakkan dari ISBI Bandung. Sebagai alumnus kampus tersebut (di jenjang S2), tentu saja kabar yang terbit di berbagai media nasional tentang adanya pelarangan pertunjukan, bahkan ruang pentasnya digembok, tentu sebuah kabar yang mengejutkan.


Bukan grup sembarangan asal Bandung, tapi Komunitas Teater Payung Hitam, (grup yang dimotori oleh Rahman Sabur dan hampir berusia setengah abad) dilarang menggelar pertunjukan. Baliho pertunjukan juga diturunkan beberapa waktu sebelum pentas. Menyusul ada pula pers rilis dari ISBI Bandung lewat akun IG-nya yang mencoba menjelaskan duduk perkaranya. 


Lewat kontak melalui Whatsapp, telepon, dan chat, saya perlahan mulai mendapatkan informasi tentang kejadian yang membuat jagad kesenian, khususnya teater, di Indonesia jadi geger ini.



Pelarangan dan Penggembokan


Sabtu (15/2/2025) dan Minggu (16/2/2025), sedianya sebuah pertunjukan bertajuk "Wawancara dengan Mulyono" karya/sutradara Rahman Sabur, oleh Komunitas Teater Payung Hitam digelar di studio teater, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Pertunjukan ini juga menandai ulang tahun ke-43 Payung Hitam, disertai dengan peluncuran buku naskah monolog karya Rahman Sabur yang ditulis sejak tahun 1982 hingga naskah terbaru yang akan dipentaskan tersebut.


Namun, sejak Sabtu pagi pintu studio teater digembok. Beberapa waktu sebelumnya, baliho pertunjukan Wawancara dengan Mulyono juga diturunkan oleh pihak kampus. Pukul 19.30 WIB, di depan studio teater, meja yang tadinya ditujukan sebagai meja tiket, berubah menjadi meja konferensi pers. Rahman Sabur, Tony Broer, dan seorang pantomimer bernama Dede Dablo duduk di meja itu dan mulai memaparkan rasa kecewa karena batalnya pertunjukan tersebut.


Pernyataan kekecewaan juga datang dari sejumlah penonton yang beberapa di antaranya adalah pensiunan dosen prodi teater ISBI Bandung. Sesi malam tersebut ditutup dengan sebuah performance art dari Tony Broer dan Dede Dablo, serta tandatangan buku karya Rahman Sabur.


Rencana awal, pentas ini akan digelar dua hari. Namun, di hari kedua, Minggu, gembok di studio teater ISBI Bandung masih terpasang. 


Rahman Sabur merasa pelarangan pertunjukan teater, dengan penggembokan ruangan, ini adalah penghinaan terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Seumur hidup, kata Rahman Sabur, baru kali ini dia mendapatkan penghinaan seperti ini.


Pertunjukan Wawancara dengan Mulyono menceritakan tentang seorang wartawan amatir sedang wawancara dengan seorang tokoh birokrat bernama Mulyono. Pertanyaan yang diajukan sebenarnya cukup standar, mulai dari pemindahan IKN, PIK 2, Bansos, dan sejumlah keputusan yang dilakukan oleh Mulyono. Namun, Mulyono menjawab semuanya dengan gerakan tubuh yang sebenarnya tidak menjawab apa yang ditanyakan.


Pewawancara amatir itu diperankan oleh Rahman Sabur, sedangkan Mulyono diperankan oleh Tony Broer. Sayangnya, pentas tersebut tetap tidak jadi dilakukan di ISBI Bandung. Rahman Sabur berencana untuk mementaskan pertunjukan itu di tempat lain.



Apa Pernyataan ISBI Bandung?


Hari Minggu, pihak ISBI Bandung mengeluarkan pernyataan resmi yang kemudian diposting di akun Instagram official ISBI Bandung. Secara umum, pers rilis tersebut ingin menyebutkan bahwa ISBI Bandung menolak adanya pementasan yang "dianggap berpotensi menjadi provokasi untuk merusak persatuan".


Dalam pers rilis tersebut, disebutkan rangkaian kejadian dimulai dari permintaan izin Rahman Sabur pada ketua Jurusan Seni Pertunjukan untuk menggelar pertunjukan ini secara lisan. Namun, izin tersebut ditolak dan ada ketidakpuasan dari pihak Rahman Sabur.


Rahman Sabur kemudian meminjam studio teater sejak tanggal 9 Februari pada Kepala Studio Teater, yakni Irwan Jamal. Pihak ISBI menyebutkan bahwa posisi "kepala studio" tersebut tidak ada secara struktural, maka surat tersebut tidak mendapatkan jawaban. Maka, terjadi obrolan informal di akhir bulan Januari ketika pertunjukan tersebut tersebar informasinya di sejumlah media. Hasil obrolan tersebut, harus ada pemindahan lokasi pertunjukan karena dianggap sarat dengan kepentingan politik.


Pihak kampus kemudian memberikan teguran pada Tony Broer (sebagai ASN) dan sejumlah orang yang terkait dengan pertunjukan ini, di antaranya Moh. Wail. Latihan tetap dilakukan oleh Rahman Sabur di studio teater, serta poster pertama dirilis ke publik lewat media Harian Fajar.


Pemasangan baliho dilakukan oleh Kelompok Teater Payung Hitam, dianggap hal yang membahayakan ISBI sebagai lembaga. Hal ini menyebabkan baliho tersebut diturunkan. 


Alasan utama penggembokan ruangan tersebut, dipaparkan dalam pers rilis tersebut dikarenakan hingga tanggal 14 Januari (mungkin yang dimaksud adalah 14 Februari) latihan masih tetap dilakukan meski sudah dilarang. Maka, alasan pengembokan ditemukan yakni karena masih latihan meski sudah dilarang. Sekarang, apa alasan pelarangan? Poster dan gagasan pertunjukan? Bukankah itu sedang menjadi kegelisahan satu negara sekarang?


Harus jujur, setelah membaca pers rilis ini, saya sedikit merasa kecewa. Pers rilis dari kampus, nyaris mirip dengan surat edaran kepala desa yang reaktif pada pertunjukan karang taruna yang menyindir bupati. Entah apapun alasannya, bagi publik, tampak bahwa kepala desa itu takut sama bupati.


Apalagi, ekses yang dimaksud masih menggunakan pernyataan "mungkin terjadi", dengan kata lain belum ada hal yang melampaui batas terjadi saat ini. Yah, karena pertunjukannya memang belum dimulai. Ini jelas baru asumsi, dan asumsi ini yang menjadi landasan pelarangan pertunjukan. Saya harus jujur, bahwa ini cukup menggelikan.



Apa yang Terjadi Setelah Itu?


Tentu saja, ini adalah kejadian kedua terkait "kebebasan berekspresi" setelah kejadian pelarangan pameran lukisan karya Yos Suprapto beberapa waktu lalu. Perbedaannya adalah, bila kasus Yos Suprapto terjadi lantaran ada masalah antara pelukis dengan kurator, maka yang di ISBI Bandung ini terjadi antara "mantan dosen" dengan kampus.


Persatuan Nasional Teater Republik Indonesia (PENASTRI) juga membuat pernyataan sikap atas ancaman kebebasan berekspresi yang menimpa Teater Payung Hitam. Penastri mengutuk keras segala bentuk pelarangan pertunjukan teater, karena mengancam kebebasan berekspresi. Teater menurut Penastri, juga merupakan ruang untuk kritik dan refleksi sosial yang tentunya dijamin oleh konstitusi tertinggi di republik ini. Maka, seharusnya karya tersebut mendapatkan perlindungan, bukan malah represi.


Sejumlah seniman juga mengungkapkan dukungan terhadap teater asal Bandung tersebut. Mulai dari seniman muda, sampai yang tua. Dan pertanyaan paling mendasar setelah melihat kejadian ini adalah, "se-membahayakan apa sebuah pertunjukan teater, sehingga bisa menyebabkan hancurnya persatuan dan kesatuan Indonesia?"


Muncul pertanyaan berikutnya, "apakah sebuah pertunjukan teater TIDAK DIPERBOLEHKAN bermuatan kritik pada pemerintah? Baik yang saat ini berkuasa, maupun yang sudah lewat?"


Pertanyaan selanjutnya, "Apakah kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat itu merupakan BEBAS yang BERBATAS?" 


Menyoroti pers rilis dari ISBI Bandung, yah memang benar, kalau dianalogikan seseorang yang punya rumah berhak saja menghentikan sebuah tindakan yang terjadi di rumah mereka. Tapi, asalkan tindakan yang dimaksud itu memang tidak bermanfaat, justru mengganggu pemilik rumah. 


Pertunjukan seni di kampus seni? Dari sebuah grup teater yang berisi alumni, pekerja, dan pensiunan dosen dari kampus yang sama?


Kampus saja sudah berarti tempat dimana seseorang belajar untuk berekspresi secara bebas, dengan landasan teoritik. Sedangkan seni, adalah media bagi seorang manusia untuk mewujudkan ekspresinya dalam wujud karya seni.


Kampus semestinya menjadi pelindung bagi warga seisinya untuk berekspresi, mendapatkan pengalaman estetis, pengalaman artistik, dan pengalaman akademik, tanpa rasa ketakutan akan pembungkaman.


Bagaimana mahasiswa setelah kejadian ini? Diharapkan untuk takut bersuara lebih kritis juga? Yah, ketimbang gedung pertunjukannya digembok di hari pementasan. 


Maka yang terjadi berikutnya adalah, gelombang generasi yang memilih kabur ke luar negeri apabila kondisi di negara memburuk. Alih-alih melakukan revolusi, atau mencoba memperbaiki keadaan dalam negeri.


Sumber: pojokseni.com




Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com