Tuesday, April 29, 2025

Kata-Kata Pulang ke Rumah: SEBUAH MALAM UNTUK PUISI DI JAMBI


BICARA LITERASI -
Malam itu, Anjungan Puisi Jambi tidak hanya menjadi tempat, ia menjelma rumah bagi kata-kata yang lama terpinggirkan. Dalam balutan udara Telanaipura yang bersahabat, puisi kembali pulang.


Di bawah langit yang sebelumnya muram, malam itu terang. Bukan karena lampu panggung, melainkan karena puisi yang dibacakan dengan hati terbuka. Dedaunan bergoyang pelan, seolah menyimak. Kata-kata tak hanya didengar, tapi dirasakan.


Pembuka malam adalah Ramayani, penyair perempuan yang menghamparkan tiga puisi dengan cara yang tidak biasa dua karyanya sendiri dan satu puisi milik Ari Setya Ardi, penyair Jambi yang telah tiada. Tapi sebelum larik-larik itu mengalir, Ramayani berdiri dan menyampaikan orasi. Tentang menjadi perempuan dan menjadi penyair. Tentang tubuh yang menyimpan kata, tentang suara yang sering kali diredam.


Ia duduk tenang di kursi rotan, dikelilingi lesung batu dan nampan buku sebuah instalasi artistik karya Ide Bagus Putra, yang menyamakan proses berkarya dengan menumbuk kata dalam palung tradisi. “Buku adalah lauknya, puisi adalah nasinya,” ujar Ide. “Mari kita jamu masyarakat dengan saji kata yang bergizi.”


Malam kemudian berlanjut dalam arus yang tenang tapi deras. Ide Sugus hadir sebagai sosok yang membaca bukan untuk dipuji, tapi untuk menyampaikan kedekatan yang tulus pada puisi. Ia membacakan Pisau Dapur karya Acep Syahril, namun yang terdengar lebih dari sekadar puisi: itu adalah kenangan, doa, dan rindu.


Empat sosok penyair menghiasi latar panggung: Chairil Anwar, Dimas Arika Miharja, Dimas Agus Pelaz, dan Ari Setya Ardi. Potret besar mereka tidak bicara, tapi diam mereka cukup keras untuk membuat siapa pun terdiam. Mereka menjadi saksi senyap yang menghidupkan malam.


Musik kemudian mengambil alih dengan cara yang jujur. Ismet Raja, musisi folk yang juga penggugat sunyi alam, menyanyikan lagu-lagu tentang Sungai Batanghari, Tanah Pilih yang tercabik, dan Orang Rimba yang semakin terusir. Tidak ada yang bersorak, tidak ada yang memotret. Semua hanya diam, menyimak, dan pada titik tertentu: menyatu. Musik Ismet bukan sekadar hiburan itu ratapan kolektif yang diberi melodi.


Puisi-puisi berikutnya mengalir: Didin Siroz yang kalem, Bayu si aktor cilik yang jenaka namun menyentuh, dan Kukuh Sila Utama yang menutup malam dengan puisi berbahasa Inggris. Kukuh lama tak terdengar, tapi malam itu, ia pulang.


Sejumlah tokoh hadir. Ageng, dosen dan aktivis hukum, menyebut acara ini sebagai “perayaan kejujuran sastra.” Didi Hariadi, sponsor sekaligus pimpinan Rumah Budaya Melayu Jambi, menyebut malam itu sebagai titik balik. “Bukan hanya acara, tapi ruh yang lama hilang.” Sri Handayani, pengelola Anjungan, terlihat lega, menyebut malam itu sebagai “malam yang dipenuhi doa dan keikhlasan.”


Tak semua undangan hadir. Tapi tidak perlu semua datang untuk menyempurnakan malam. Karena malam itu, puisi sudah cukup membuat semuanya utuh.


Qelink Sumarno, perupa Jambi, terlihat enggan meninggalkan lokasi. “Anjungan ini harus jadi ruang yang terbuka. Tempat yang jujur, tempat yang membebaskan.”


Dan ketika acara benar-benar selesai, tak ada yang beranjak buru-buru. Sebagian tetap duduk, sebagian menyeduh kopi kedua, sebagian lainnya menatap kosong ke arah panggung, mungkin membiarkan satu-dua bait masih mengendap di kepala.


Langit tetap bersahabat. Tidak turun hujan. Barangkali, Tuhan tahu: malam itu, kata-kata sedang berkumpul. Dan puisi sedang pulang ke rumah. (*/)



Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com