Bagaimana Nasib Musang Luwak di Alam Liar?
BICARA LINGKUNGAN - Di kandang sempit kawat baja, seeokor musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) mondar-mandir tanpa henti. Hewan nokturnal itu dipajang di sebuah toko yang menjual burung dan pakan hewan di Desa Curug Badak, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten.
“Ini titipan teman, setiap bulan pasti ada yang beli,” kata pemilik toko, yang enggan disebutkan namanya, Sabtu (6/4/2025).
Beberapa pembeli mencari luwak untuk dipelihara, sementara sebagian lainnya untuk dijadikan bagian produksi kopi luwak.
“Luwak yang dijual ini bukan dari tangkapan alam, melainkan hasil peliharaan sejak kecil.”
Fenomena ini bukan hal baru. Penjualan Asian palm civet secara terbuka masih terjadi. Berdasarkan penelusuran Mongabay di sejumlah pasar hewan seperti Pasar Jatinegara di Jakarta dan Pasar Splended di Malang, menunjukkan bahwa musang luwak kerap diperdagangkan dalam kondisi terkurung di kandang sempit.
Temuan ini sejalan dengan laporan TRAFFIC Southeast Asia 2012, yang mencatat hasil kunjungan ke beberapa pasar satwa besar di Jakarta sepanjang 2010-2012, seperti Pasar Kartini, Pramuka, Barito, dan Jatinegara.
Dari hasil pemantauan tersebut, teridentifikasi sebanyak 47 ekor karnovira diperdagangkan secara terbuka, dengan luwak sebagai spesies yang paling banyak ditemukan, yakni sebanyak 25 individu.

Penjualan di media sosial
Praktik jual-beli luwak juga meluas di media sosial. Di platform seperti Facebook dan Instagram, berbagai akun terbuka menjajakan dengan harga variatif, tergantung jenis dan usia.
Dalam sejumlah postingan, penjual menyebut luwak sebagai ‘musang pandan’, ‘musang bulan’, atau ‘musang akar’ istilah yang akrab di kalangan penghobi.
Mirisnya, mamalia kecil ini kini tak hanya jadi peliharaan eksotik, tetapi juga dikomodifikasi sebagai alat produksi dalam industri kopi luwak.
“Fenomena ini kian mengaburkan batas antara konservasi dan eksploitasi,” jelas Femke Den Haas, Pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Rabu (9/4/2025).

Murna Muzaifa dan kolega dalam buku berjudul “Kopi Luwak: Produksi, Mutu dan Permasalahannya” menjelaskan upaya untuk meningkatkan produksi kopi luwak lewat penangkaran, mempunyai sejumlah kelemahan.
“Biaya mahal dan mengancam kelestarian luwak,” jelasnya dalam buku terbitan 2016.
Disamping itu, penangkaran luwak memerlukan perhatian khusus baik kandang, makanan, maupun kesehatan. Tidak hanya buah kopi segar, buah-buahan lain, dan ayam juga mesti disediakan agar satwa omnivora ini tidak bosan.
“Kelestarian luwak juga terancam karena selama ini produsen hanya berpikir menghasilkan kopi tanpa peduli untuk membudidayakan luwak,” tulisnya.

Praktik penangkaran luwak dalam skala besar untuk kebutuhan produksi kopi ini masih menjadi sorotan dari komunitas internasional pecinta satwa, termasuk organisasi People for the Ethnical Treathment of Animal atau PETA.
Untuk memastikan praktik beretika, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Permen No 37/2015 tentang Cara Produksi Kopi Luwak Melalui Pemeliharaan Luwak yang Memenuhi Prinsip Kesejahteraan Hewan.
Menurut Femke, karena luwak merupakan satwa liar, yang berwenang semestinya adalah Kementerian Kehutanan.
Dia juga menyoroti isu legalitas breeding (pembiakan) yang dilakukan penangkar. Semua aktivitas yang melibatkan satwa liar, harusnya mempunyai izin resmi dari kementerian terkait, termasuk bila dilakukan pembiakan generasi kedua (F2).
“Yang mengkhawatirkan, adanya perdagangan ilegal yang disebutkan hasil pembiakan.”

Nasib musang luwak di alam liar
Maharadatunkamsi, peneliti mamalia dari Pusat Riset Biosistematika & Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan, meskipun musang luwak tidak termasuk satwa dilindungi dan masih berstatus Least Concern di IUCN Red List, bukan berarti pemanfaatannya bisa dibiarkan tanpa kendali.
Di alam, pengambilan satwa penyelamat ekosistem hutan ini sudah ditentukan kuotanya. Tetapi dalam praktiknya, menurut Datun, regulasi ini seringkali hanya menjadi formalitas administratif yang tidak diiringi pemantauan lapangan yang memadai.
“Yang kita harapkan adalah populasi di alam tetap stabil bahkan meningkat. Kuota itu menjadi patokan dasar,” terangnya, baru-baru ini.
Ia juga menyayangkan, hingga kini Indonesia belum memiliki basis data populasi musang luwak yang bisa diakses publik atau dijadikan acuan kebijakan konservasi.
Padahal, dalam konteks perlindungan spesies, keberadaan data populasi yang solid adalah fondasi kebijakan yang efektif.
“Bila kita tidak tahu jumlah yang ada di alam, akan sulit bagi kita untuk tahu berapa banyak yang bisa diambil,” tandasnya.
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom