Sunday, July 27, 2025

Jamur Morel, Spesies Baru dari Gunung Rinjani


BICARA LINGKUNGAN
Warga lokal menyebutnya jamur gunung atau kulat gunung. Tumbuh di lereng-lereng Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Nama populernya jamur morel. Bentuknya mirip kacang dengan kulit berkerut. Juga mirip es krim contong yang berbentuk kerucut, dengan bagian atas membesar. Belum lama ini, jamur yang telah lama dikonsumsi warga lokal di sekitar Gunung Rinjani tersebut mendapat nama ilmiah Morchella rinjaniensis.

“Masyarakat sering memanen jamur morel di pekarangan dan sekitarnya,” tulis Atik Retnowati, peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN, Kamis (24/7/2027). Tim riset yang seluruhnya berjumlah 20 orang itu, berhasil membuktikan bahwa jamur morel yang tumbuh di Gunung Rinjani adalah spesies baru.

Temuan ini menjadi istimewa karena M. rinjaniensis merupakan spesies jamur morel tropis pertama yang diberi nama resmi. Telah melewati identifikasi taksonomi komprehensif, baik morfologi maupun molekuler.

Inilah jamur morel rinjani atau Morchella rinjaniensis yang dinyatakan sebagai jenis baru. Foto: Dok. BRIN

 

Dalam dunia gastronomi Morchella atau jamur morel, merupakan jenis jamur berharga mahal. Satu kilogram jamur morel beku di London bisa seharga £83.95 Poundsterling atau sekitar Rp1,7 juta. Mahal karena jamur morel sulit dibudidayakan dan sering tumbuh di tempat eksotik.

Rasanya unik, dengan kandungan nutrisi tinggi. Seperti kacang, dengan aroma tanah. Teksturnya menyerupai daging. Jamur morel menempati posisi istimewa di kalangan penikmat fine dining. Dengan nama barunya itu, jamur morel asal Rinjani bakal semakin dikenal.

“Untuk memenuhi kebutuhan jamur morel masyarakat setempat secara berkelanjutan, pengembangan jamur morel liar di Gunung Rinjani perlu dilakukan. Ini merupakan alternatif jangka pendek untuk menjaga integritas gugusan vegetasi hutan yang menjadi inang bagi pertumbuhan jamur morel,” tulisnya lagi, dalam laporan yang dimuat di jurnal Mycobiology, 26 Mei 2025.

Kawasan Gunung Rinjani ditetapkan menjadi geopark dunia dalam sidang UNESCO Executive Board, di Paris, Perancis, Kamis (12/4/2018). Sehingga pengelolaan kawasan ini, termasuk konservasi M. rinjaniensis harus mengikuti protokol program badan khusus PBB tersebut.

Spora jamur Morchella rinjaniensis yang dinyatakan sebagai jenis baru. Foto: Dok. BRIN

 

Bersuhu dingin

Tempat tumbuh jamur morel terbilang khusus. Cukup dingin dan lembab. Selebihnya, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Pada Maret 2023, Juni 2023, dan Juli 2024 para peneliti mengumpulkan spesimen M. rinjaniensis dari Gunung Rinjani. Ini adalah awal musim kemarau di kawasan itu, masa-masa Rinjani mengalami suhu lebih dingin. Musim hujan di Pulau Lombok umumnya berlangsung dari Desember hingga Maret, selebihnya kemarau.

Gunung Rinjani memiliki suhu rata-rata 1-11 derajat Celcius. Sementara Lombok suhu minimum 20 derajat dan maksimum 32 derajat Celcius. Gunung Rinjani merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, dengan ketinggian 3.726 m.

Situasi yang cukup ideal bagi tumbuhnya jamur morel.

M. rinjaniensis ditemukan di habitat yang didominasi berbagai spesies tumbuhan, termasuk pohon, semak, dan herba,” tulis laporan itu. “M. rinjaniensis sering ditemukan di daerah sedikit terbuka, seperti di sepanjang tepi sungai kecil, di sepanjang jalur pendakian, di bawah akar pada jalur pendakian, daerah terbuka setelah penebangan pinus, seperti padang sabana, naungan tajuk atau di bawah semak belukar yang lebat.”

Secara morfologi jamur morel rinjani memiliki ascomata besar dengan tinggi 1,9-19 cm. Ini adalah bagian jamur yang menghasilkan spora. Sementara pileus memiliki tinggi 1-13 cm, dengan lebar 0,2-7 cm. Ini adalah bagian jamur yang berbentuk kerucut atau oval, dengan permukaan berlekuk seperti sarang lebah.

Warna ascomata M. rinjaniensis berubah mulai dari abu-abu tua saat muda hingga cokelat kekuningan saat tua sekaligus menjadi ciri khasnya. Bentuknya yang unik dengan warna khas membuat jamur morel mudah dikenali.

Ketika peneliti membawa spesimen jamur morel rinjani ke meja laboratorium, hasil analisa filogenetik menunjukkan jamur ini berkerabat dengan Morchella galilaea.

“Dataset Morchella yang terdiri empat gen digunakan untuk menentukan spesies dan hubungan Morchella sp. dari Gunung Rinjani dengan spesies lain yang telah dideskripsikan oleh morel,” ungkap Atik.

Hasilnya, M. rinjaniensis berbeda dengan spesies Morchella lain yang telah dideskripsikan sebelumnya.

Jamur morel ditemukan di banyak negara. Misalnya Turki, Israel, Amerika, Chile, Jepang, Pakistan, India, Spanyol, juga beberapa negara Afrika. Umumnya, tumbuh di wilayah beriklim sedang. Muncul saat musim semi, dengan kondisi tanah hangat namun masih lembab.

Di Indonesia, penelitian Morchella di Rinjani bukan satu-satunya yang pernah dilakukan. Sebelumnya, pernah dikerjakan di Gunung Gede Pangrango (Jawa Barat), Gunung Klabat (Sulawesi Utara), juga di Gunung Rinjani sendiri (Nusa Tenggara Barat).

Menurut Atik dalam laporannya, dua penelitian yang disebut di awal, diidentifikasi hingga tingkat genus. Sementara yang terakhir diidentifikasi sebagai Morchella affinis deliciosa atau mirip dengan M. deliciosa. Sehingga M. rinjaniensis menjadi spesies morel tropis pertama yang berhasil dideskripsikan secara menyeluruh, morfologi hingga molekuler dan diberi nama ilmiah.

Penampakan jamur morel rinjani secara lengkap. Foto: Dok. BRIN

 

Kelestarian jamur morel

Jamur morel merupakan jenis jamur yang bisa dikonsumsi atau edible. Warga lokal telah lama memanfaatkannya sebagai sumber pangan. Namun pengambilan terus menerus dari alam, bukan tak mungkin mengancam kelestariannya. Terlebih, nilai ekonominya yang tinggi di pasar dunia, menjadikan jamur morel terancam pemanenan liar yang tak berkelanjutan.

“Strategi pengelolaan dan peraturan pemanenan harus memprioritaskan keberlanjutan Gunung Rinjani sebagai kawasan konservasi, terutama di zona inti dan zona penyangga,” saran Atik. “Oleh karena itu, protokol UNESCO dapat memandu budidaya jamur morel berkelanjutan menggunakan zona transisi, baik di insitu maupun exsitu,” jelasnya.

Asep Hidayat, Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, pernah mengungkapkan ancaman kelestarian jamur morel tak hanya akibat faktor internal berupa penurunan kelimpahan. Faktor eksternal seperti pengakuan sumber daya genetik dari pihak lain juga perlu dicermati.

Terkait hal itu, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani beberapa tahun lalu telah menggandeng Pusat Riset Mikrobiologi Terapan dan Pusat Riset Biosistematika BRIN, untuk melakukan kajian bersama. Selain bertujuan menghimpun basis data guna pemanfaatan secara berkelanjutan, juga mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi.







Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com