Wednesday, August 27, 2025

Dana Transfer Daerah & Stabilitas Politik


Oleh : Rizal Djalil


Politisi Senior   

Anggota Komisi Keuangan dan Panitia Anggaran  DPR RI Tahun 1999-2009

Mantan Ketua BPK RI & Pernah Memimpin Audit Keuangan Daerah 2009 - 2013.



Pada tanggal 21 Agustus 2025 di DPR RI :  Penanggung Jawab Fiskal dan Bendahara Negara menyatakan,  bahwa Dana Transfer Daerah Tahun 2026  turun sekitar 269,9 T ( 29,34%) dibandingkan tahun Tahun 2025. Pada tahun 2025 dana transfer Daerah  berjumlah  Rp 919,9 Triliun  sedangkan pada tahun 2026 direncanakan hanya Rp 650 triliun.


Pernyataan ini menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan baik secara terbuka maupun  melaui komunikasi terbatas.  Yang perlu digaris bawahi  bahwa rencana penurunan  yang disampaikan tersebut baru sebatas Rancangan yang harus dibahas dengan DPR. Kita menunggu sikap DPR. Bisa saja DPR menyetujui sepenuhnya usulan Pemerintah,  bisa juga  terjadi koreksi dan perubahan terhadap rancangan Pemerintah.


Itu lazim dan sering terjadi sejak periode - periode sebelumnya sampai sekarang.


Desentralisasi fiskal


Apa yang dimaksud dengan Dana Transfer Daerah?  Dana transfer Daerah   adalah bagian APBN yang dialokasikan dan disalurkan kepada Pemerintah Daerah untuk membiayai urusan pemerintahan  yang menjadi kewenangannya, mendukung layanan publik dan mendorong pembangunan daerah agar lebih merata  serta mengurangi kesenjangan fiskal.  Dana tersebut berupa :  Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan Dana Insentif Daerah. Kebijakan ini merupakan Implementasi Undang-Undang No. 1  tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 


Selain dana transfer Daerah dari pusat, penerimaan daerah dapat berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti pajak daerah dan retribusi yang dipungut langsung oleh pemerintah daerah.


Apa yang menjadi soal? Yang menjadi soal adalah sebagian besar daerah sangat tergantung kepada dana transfer dari Pusat. : Tidak kurang 493  dari 552 daerah  mengalami keterbatasan fiskal  dan  menggantungkan diri  pada dana transfer dari  pusat,  untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah. Hanya Propinsi Daerah Khusus Jakarta yang tergolong  propinsi dengan fiskal kuat : Realisasi PAD Jakarta tahun 2024  Rp 50,67 triliun ( 100 % target PAD tahun 2024 tercapai ). Daerah kabupaten kota dengan realisasi  PAD tertinggi pada tahun 2024 adalah : Kota Pasuruan, Kota Denpasar, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang dan Kota Yogyakarta. Sedangkan kabupaten dengan PAD tertinggi :  Kabupaten Badung , Kabupaten Tangerang ,  Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Mahakam Hulu dan Kabupaten Balangan.


Pati efek


Dengan menurunnya dana transfer pusat kedaerah tentu membuat daerah,  yang kemampuan fiskal terbatas  mengalami kesulitan untuk menggerakkan roda Pemerintahan di daerah. Apalagi sebagian besar Dana Alokasi Umum habis untuk belanja pegawai. Seperti yang dinyatakan Gubernur Maluku Utara Sherly Laos dalam Rapat Dengar Mendapat dengan Komisi II DPR RI  pada tanggal 30 April 2025 : " Kondisi fiskal kami sangat lemah, seluruh DAU yang kami terima habis untuk belanja pegawai " . Apa yang dinyatakan oleh Gubernur Maluku Utara sebenarnya merupakan cermin kondisi fiskal sebagian besar daerah di Indonesia. Tidak mungkin  Kepala Daerah di level apapun membiarkan : pelayanan publik  menurun : jalan rusak dimana-mana, pelayanan   kesehatan terbatas ( kadang-kadang masyarakat harus membayar mahal terutama untuk obat), dan fasilitas pendidikan berupa ruang klas banyak yang rusak , fasilitas sanitasi sekolah sangat terbatas dan jaringan internet belum memadai dan merata.


Kondisi inilah yang menyebabkan kepala daerah mengambil jalan pintas : dengan menaikan Pendapatan Asli Daerah melalui rencana menaikan pajak. Yang mencuat di Media  antara lain :  Kabupaten Pati  menaikan  PBB  250%,  Kabupaten Bone 300%,  Kabupaten Semarang 400%, Kota Cirebon 150- 1000 % dan Kabupaten Jombang 400%. Dan sekitar  104 Kabupaten akan menaikan tarif PBB.


Apa yang salah dengan menaikan pajak daerah?  Tidak ada yang salah. Menaikan pajak merupakan  kewenangan Kepala daerah. Yang menjadi masalah adalah :  bila kenaikan pajak  yang ditetapkan tidak proporsional , jauh melampaui kemampuan riel masyarakat. Apalagi  dilakukan tanpa proses sosialisasi yang memadai  kepada masyarakat sebagai wajib pajak. Ditambah  sikap " showing off power " oleh    oknum kepala daerah tertentu.  Apa yang terjadi kemudian ?  Itulah yang kita saksikan   di Pati dan Bone : Timbul perlawanan dalam bentuk demonstrasi besar-besaran di Pati dan Bone.  Bahkan di Pati demo berbelok arah :  meminta bupati mundur dan turun. Ini  membuktikan lagi kepada kita semua,   bahwa  sebuah Gerakan Massa yang masif bisa saja berubah menjadi " desakan dan tuntutan  liar " yang tidak terduga sebelumnya. Kita tidak ingin ditengah-tengah  upaya Pemerintah memperbaiki keadaan bangsa :  melalui program yang fokus untuk mensejahterakan  Masyarakat  dan penegakan hukum  yang lebih berkeadilan :  justru   menimbulkan  instabilitas politik ditengah masyarakat. Hal ini bila tidak dikendalikan dan dicari penyelesaian secara tuntas   bisa membahayakan stabilitas politik di level  nasional. Faktor masifnya Media Sosial saat ini juga turut mepercepat beredar informasi dari satu daerah ke daerah  lainnya. Mencegah selalu lebih baik kata pepatah.


Apa yang harus dilakukan ?  Surat Edaran Menteri  perlu,  tapi itu tidak menyentuh akar masalah.


Sejarah  Republik ini telah membuktikan pada era tahun lima puluhan bahwa  kebijakan  Pemerintah Pusat saat itu yang  terlalu sentralistik dan kurang memperhatikan kebutuhan dan  aspirasi daerah menimbulkan Gejolak bahkan mengancam Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Kita harus belajar dari apa terjadi pada masa lalu. Para pengambil keputusan dibidang fiskal dan  DPR sebaiknya menghindari keputusan politik anggaran yang dapat menjadi " amunisi dan pemicu " kegaduhan  yang bisa berujung pada instabilitas politik.  Diera Global saat ini stabilitas politik  dan kepastian hukum menjadi prasyarat  berjalan nya roda pemerintahan dan pertumbuhan  ekonomi.


Politik Anggaran 


Kalo kita mencermati  pernyataan Menteri Keuangan di DPR tanggal. 21 Agustus " Penyesuaian ( baca penurunan: dari penulis ) alokasi TKD merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah  untuk memperbesar alokasi belanja Kementerian Lembaga yang diarahkan  langsung untuk dinikmati masyarakat dan mendukung  program prioritas yang dilaksanakan didaerah ".


Dari pernyataan tersebut terungkap dan diakui bahwa penurunan Transfer Daerah karena :  Pertama,  ada pengalihan dana ( yang seharusnya kedaerah ) ke Kementerian Lembaga di Pusat. Kedua, ada penghalusan narasi seolah-olah semua dana tersebut akan bermuara kedaerah juga. Kenyataan dilapangan tidak sesederhana itu. Tidak semua daerah punya kapasitas yang sama untuk mendorong program pusat mengalir kedaerahnya. Kementerian dan Badan di pusatlah  yang menentukan alokasi dan distribusi program dan anggaran kedaerah. Bahkan DPR pun tidak ikut membahas sampai Satuan Tiga ( detil anggaran sampai kedaerah).  Ketiga, tersirat juga  bahwa suka tidak suka, pemerintah daerah harus menerima kebijakan penurunan dana transfer Daerah. 


Politik  anggaran seperti ini kurang Arif bila tidak mau dikatakan kurang cermat dan tidak aspiratif. Bahkan bila dilakukan terus menerus dapat menimbulkan Gejolak didaerah dan mengganggu stabilitas politik nasional.


Pertanyaan berikutnya  adalah, apakah Daerah dilibatkan  secara aktif dalam setiap program prioritas  pusat di daerah ? Jawabannya seharus ya. Tapi kenyataan dilapangan banyak daerah merasa tidak dilibatkan dalam  program prioritas pemerintah pusat. Semuanya diatur dan bahkan dilaksanakan oleh pusat baik secara tehnis maupun anggaran. Kondisi ini bukan saja mengurangi " multiplier  effect " bagi daerah tapi dalam jangka panjang , dapat juga menggerus dukungan  substastantif pemerintah daerah terhadap Pusat. Karena pemerintah di daerahlah ujung tombak pembangunan :  yang berhadapan langsung menghadapi komplain masyarakat ,   bila terjadi pelayanan publik yang buruk  karena dana terbatas . Bagaimana kita mengatasi permamasalahan ini?  Beberapa catatan berikut ini mungkin dapat dipertimbangkan : 


Pertama, dalam kondisi fiskal yang terbatas karena akumulasi persoalan ekonomi global dan nasional  maka seyogianya Anggaran Negara didistribusikan dan dialokasikan secara hati-hati dan adil. Semua pihak diminta kearifan dan kebijakan dalam memutuskan segala sesuatu terkait anggaran . Hampir semua kalangan  setuju dengan Substansi dan urgensi Program Makan Bergizi Gratis ( MBG)  tapi kenaikan yang sangat drastis dari Rp 171 triliun pada 2025 menjadi Rp 335 triliun pada tahun 2026  naik sekitar 96 % : menarik perhatian banyak pihak bukan hanya para pengamat, tetapi juga berbagai kalangan baik secara tertutup  maupun melalui media tertentu.


Apalagi, kalau kita  cermati daya serap anggaran MBG per Juni 2025 : baru mencapai Rp 5 triliun. Mungkinkah anggaran tahun 2025 sebesar Rp 171 triliun terserap dan terimplementasi semuanya dalam rentang waktu Empat bulan kedepan ? 


Itulah makanya  kita  mengingatkan  pentingnya  asas kehati-hatian dalam mengalokasikan anggaran. Sehingga tidak ada sektor ( transfer Daerah ) yang harus  terkena dampak. MBG harus naik ya,  tapi naiknya secara proporsional dengan memperhatikan penyerapan dan  tanpa harus mengorbankan sektor lain. Dan juga  harus mempertimbangkan kemampuan  fiskal secara nasional.


Kedua, Kita harus  mengungkapkan  dan mengingatkan kembali  bahwa pada era Rezim Jokowi  utang pemerintah meningkat : TIGA KALI LIPAT. Total utang pemerintah per desember 2024 menjadi Rp 10.269  ( SEPULUH RIBU DUA RATUS ENAM PULUH SEMBILAN ) TRILIUN. Utang ini dipakai untuk membangun infrastruktur termasuk IKN yang tidak sepenuhnya melalui kajian yang  super matang terutama aspek pembiayaannya. Lagi pula proyek tersebut  belum sepenuhnya  menjadi kebutuhan utama sebagian besar rakyat.  Beban hutang " beranak Pinak " secara nyata tampak pada Proyek KCIC diperkirakan rugi Rp 4 triliun pada tahun 2025. Pada hal sebelumnya pernyataan pemerintah Rezim Jokowi mengatakan Proyek KCIC tidak menjadi beban APBN dan IKN akan didanai Investasi asing. Kenyataannya bertolak belakang : semuanya saat ini menjadi beban APBN melalui mekanisme tertentu.


Itulah resiko bila  proyek besar dibangun dimaksudkan untuk menjadi legacy personal. Akhirnya menjadi beban Keuangan  Negaran dan  pada akhirnya juga akan  ditanggung oleh seluruh Rakyat Indonesia melalui pajak yang dibayarkan.


Sebenarnya tidak penting juga kesohor , tapi tekor demi legacy.  Karena legacy terbaik seorang pemimpin adalah Totalitas kebijakan dan program untuk sebenar-benarnya yang menjadi kebutuhan sebagian besar  rakyat dan menjamin Kedaulatan Bangsa dari segala aspek. Itulah lah yang dilakukan oleh para pemimpin besar dunia  yang tercatat melegenda dalam sejarah : Sultan Mehmet II  ( Al Fatih ) bukan saja berhasil menaklukan Konstantinopel ( Ibukota Romawi Timur) tetapi juga membangun Grand Bazar di Istanbul ( sekarang)  untuk kepentingan rakyatnya,  sampai hari ini ( 560 th )  masih tegak berdiri dan  bermanfaat buat Rakyat Tukiye Modern. Its legend.


Ketiga, Terkait utang dalam dokumen Nota Keuangan  Buku II :  pada tahun 2026 akan ditarik utang baru sebesar Rp 781,87 triliun. Penting kiranya sebelum menambah utang tersebut Penanggung jawab fiskal diminta menjelaskan dalam sidang kabinet terbatas atau sidang kabinet lengkap  : bagaimana sebenarnya kekuatan dan beban fiskal yang sedang  kita hadapi. Dan mengapa harus menambah utang dan bagaimana mekanisme utang dibuat serta kepada siapa sesungguhnya Negara berutang termasuk total beban utang yang menjadi beban negara saat ini. Kepada Menteri Sekretaris Negara sebelumnya dapat meminta Laporan Hasil Audit tentang Pengelolaan  Utang pada BPK RI. Dengan demikian diharapkan semua stakeholder memahami beban utang yang ditanggung negara. Dan lebih penting lagi  apakah strategi " Gali lobang tutup lobang " merupakan satu-satunya cara mengelola fiskal republik ini. Walaupun Pemerintahan berganti tapi budaya " memelihara utang " tidak berubah karena pemainnya tetap sama. Kita tidak mau menjadi Sri Lanka berikutnya: Negara gagal yang terserang virus " debt trap". Jargon utang kita aman , utang dikelola dengan kehatian-hatian : sudah seharusnya dibuka dengan data  kemampuan Riel kita membayar. Buka semua  realisasi pajak. Termasuk untuk apa SAL digunakan sepuluh tahun terakhir.


Kita tidak mau ada lagi kebijakan menggenjot penerimaan negara melalui pajak, ibarat " hunting in zoo ". Terutama  membebani rakyat dengan  menaikan PPN. Seperti yang terjadi disaat-saat  senjanya kekuasaan Jokowi,  terulang lagi.


Perlu juga ditegaskan kita memang perlu berhubungan baik bahkan bekerja sama dengan Lembaga Internasional seperti IMF dan Bank Dunia tapi hubungan itu haruslah demi kepentingan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia bukan hanya sebagai " sekoci " personal. Seperti yang pernah terjadi pasca kasus besar tertentu.


Keempat, DPR dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengoreksi bahkan  membahas supaya keputusan menurunkan dana transfer Daerah dapat dipertimbangkan kembali. Selain di Badan Anggaran , forum lintas fraksi dapat digunakan  untuk membicarakan hal tersebut. Tidak seorangpun Anggota DPR ingin roda pemerintahan dan pelayanan publik dasar di daerah pemilihannya terganggu karena berkurangnya dana transfer Daerah dari pusat. DPR juga dapat membahas dengan pemerintah supaya " efisiensi " anggaran di  daerah jangan sampai berdampak matinya kegiatan ekonomi seperti hotel  dan tempat wisata. Karena Pemerintah membatasi acara  di hotel dan fasilitas lainya yang ada didaerah. DPR dapat juga mendorong restrukturisasi BUMD yang tidak sehat menjadi produktif sehingga dapat berkontribusi menambah PAD.


Kelima,  Pada era globalisasi saat ini interkoneksi antar negara tak terhindarkan. Setiap negara bersaing untuk mendapatkan yang terbaik kepentingan  negaranya masing-masing. Namun kita patut juga melakukan komparasi " looking out the window " bagaimana negara lain di Asean mengelola isu yang relatif sama dengan kita. Vietnam sebagai sesama negara Asean ekonominya pada Semester I tahun 2025 tumbuh  7,52% , Capaian  ini  " clean & clear " tanpa ada " fabrikasi " angka dan kehebohan terhadap angka tersebut. Karena mereka menyadari sepenuhnya Transfaransi dan kepastian indikator ekonomi menjadi Magnit investasi di negara mereka. Pada tahun 2024 investasi asing di Vietnam naik 9,4% dengan nilai mencapai US$ 25,35 miliar. 


Vietnam melakukan restrukturisasi jumlah  kementerian dan propinsi dalam rangka efisiensi. Iklim investasi dijaga sebaik mungkin , dengan menekankan kepastian hukum dan birokrasi modern yang relatif baik  dan tidak berliku-liku dan berbelit-belit. Stabilitas politik cukup mantap dan stabil. Kondisi inilah membuat Vietnam berbeda dengan negara  berkembang lainnya. Bahkan Vietnam dapat meningkatkan dana transfer kedaerah sebesar 13 %. Semoga Stabilitas politik kita tetap kondusif dan ekonomi tumbuh 8%.InsyaAllah.


Kepada para pejabat tinggi dan pembantu presiden - apalagi yang mendapat predikat menteri terbaik dari -  institusi tertentu dan lama di pemerintahan Rezim Jokowi : berilah pertimbangan yang rasional , profesional ,  katakan yang mungkin  dan tidak mungkin  sehingga Pengambil keputusan tertinggi memperoleh gambaran yang nyata dan apa adanya. Jangan hanya sekedar mempertahankan jabatan dan terhindar dari " potensi dibuka kasus lama "   lantas malah mendorong pengambilan keputusan yang berpotensi mengganggu stabilitas politik saat ini  dan beban bagi negara dikemudian hari. Berlaku dan bertindaklah profesional jangan malah bersikap seperti segelintir  politisi yang tidak profesional.


Ketiga , Anggota  DPR  diharapkan dapat menggunakan hak konstitusional yang dimiliki untuk  mengoreksi rancangan APBN  yang diajukan pemerintah.  Sebaiknya Dana  transfer kedaerah tidak dipotong seperti format usulan pemerintah. Kalaupun harus ada penyesuaian jangan sampai mengganggu jalannya  Roda pemerintahan dan pelayanan publik dasar didaerah. Mekanisme lintas fraksi bisa digunakan untuk memecahkan masalah ini. Kita yakin tidak ada anggota DPR yang ingin melihat Daerah Pemilihannya terseok- seok menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan publik dasar karena keterbatasan dana.


Keempat , implementasi efisiensi anggaran di daerah harus mempertimbangkan dinamika ekonomi masyarakat setempat. Bila sudah dianggarkan sesuai peraturan - perundangan yang berlaku sebaiknya Rapat yang memang perlu dihotel tidak perlu dilarang : untuk  menghindari terjadinya PHK sektor jasa perhotelan. Disamping itu pemerintah daerah juga akan mendapatkan pajak dan retribusi dari kegiatan tersebut


Kelima Pemda diminta memanfaatkan secara maksimal potensi penerimaan melalui BUMD terutama dari sektor pertambangan dan perbankan. Pengelolaan BUMD oleh tenaga profesional dengan Tata kelola Yang baik  kiranya dapat meningkatkan penerimaan daerah dari BUMD.




Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com