Monday, February 3, 2025

KARYA KUTHA; KALA CITRA RUPA SEMESTA


Oleh: Ady Santoso


WARTA RUPA KUTHA


Sabtu malam itu, (1/2) dalam pertunjukan ‘Kutha’, panggung dipenuhi dengan latar putih yang menutupi seluruh arena pertunjukan, Mulai dari keseluruhan lantai permainan yang ditutup kain putih, layar backdrop berwarna putih, trap/level yang ditutup kain putih, tangga yang dililit dengan kain putih, hingga tokoh utama yang mengenakan kostum serba putih. Sejenak setelah memasuki ruang Teater Arena Taman Budaya Jambi pada malam pertunjukan itu, dengan tampilan panggung serba putih, saya tetiba digiring untuk masuk ke ruang peristiwa yang dapat terjadi dimana saja, kapan saja, tokoh siapa saja, dan adegan apa saja. Malam itu arena panggung pertunjukan dengan benda yang seluruhnya berwarna putih, putih dan putih.


Dalam psikologi warna, warna putih memiliki beberapa arti, diantaranya kesucian, kebersihan, ketepatan, kepastian dan bisa juga kematian. Kiranya dalam arti yang terakhir tersebutlah, yakni kematian, kemudian saya sudah terbawa dalam interpretasi diawal ketika memasuki gedung pertunjukan. Warna putih kematian yang dapat juga membawa kepada kesemestaan awan yang menjadi tempat perjalanan kembali untuk bertemu dengan Sang Ilahi. Warna putih kematian yang menjadi perantara dari dunia nyata menuju dunia berikutnya. Warna putih kematian yang menjadi tempat pergulatan batin antara penyesalan yang juga bisa pertaubatan. 


Warna memang menjadi hal utama, selain dari bentuk setting yang tertuang di panggung yang dapat mencuri perhatian pandangan penonton ketika pertama memasuki ruangan pertunjukan. Mata penonton akan langsung tertuju kepada warna dan bentuk yang tersaji di tengah panggung pertunjukan. Oleh karena itulah kemudian pemilihan warna menjadi penting dalam menarik perhatian penonton, yang selanjutnya dengan pemilihan warna tersebut menjadi media komunikasi dalam membangun peristiwa, suasana, kesan dan menguatkan emosi pertunjukan. Karena kemudian efek dari komposisi warna yang disuguhkan menjadi bangunan dalam menyusun, mengubah, dan mengarang dari latar adegan pertunjukan.


Pertunjukan ‘Kutha’ yang dipentaskan oleh Teater AiR Jambi pada Sabtu malam (1/2) lalu, telah menyihir panggung Teater Arena Taman Budaya Jambi dengan penyajian warna putih yang dalam pandangan saya menjadi representasi dari rupa semesta, rupa mega, rupa antara, dan rupa kala. Dengan asosiasi asosiasi warna lampu yang didominasi merah, yang kemudian menjadi kontras sehingga warna putih pada latar menyerap dominan warna merah. Warna suasana pertunjukan seketika berubah menggiring kepada suatu peristiwa pada suasana mencekam, tertekan, gelisah, berontak, bingung, takut, misteri, hingga kepada penggiringan mati. Warna lampu dominasi merah inilah yang kemudian hampir di sepanjang pertunjukan menjadi warna lampu dominan yang menerangi arena permainan.


MAKNA CITRA TANGGA

Tokoh Demik yang menjadi tokoh utama dalam pertunjukan dengan mengenakan pakaian serba putih, yang kemudian memecah panggung dengan lantangan tolong yang diucapkan. Demik berada diatas puncak tangga, dengan keberadaan tangga diatas trap/level, menjadikannya komposisi titik tumpu pertunjukan berpusat pada Demik. Demik berada di puncak tangga, kontras dengan para pemain pendukung lain yang berada di latar bawah panggung. Suara Demik diiringi dengan suara latar peristiwa yang sekaligus menjadi pengiring dari tampilan awan yang terpancar di backdrop pertunjukan. Citra awan yang dipancarkan tersebutlah yang kemudian menguatkan pilihan tampilan serba putih dari warna dominasi panggung, yang sepenangkapan diawal itulah citra dari semesta.


Kala sepertinya telah menjadi bangunan utama dari pertunjukan ini. Waktu yang menjadi antara dari tokoh Demik yang berada di ruang antah berantah yang membuatnya tidak nyaman, tidak kenal, tidak kerasan, ingin segera keluar, ingin segera pergi, ingin segera pindah, telah menjadikan setting dengan latar serba putih ini menjadi sihir pemindah dari pelbagai masa. Masa antara sadar dan tidak sadar, masa antara datang dan pergi, masa antara baik dan buruk, masa antara surga dan neraka. Kekuatan dari pilihan setting berlatar serba putih ini menjadikannya tanda akan tempat yang bisa dimana saja. Selain itu, tanpa adanya tanda bentuk lain yang hadir diatas panggung selain penggunaan properti tangga, menjadikan panggung bebas arti dari pelbagai kondisi masa, latar peristiwa, juga suku bangsa. Setting menjadi tanda akan waktu yang bisa terus berpindah pindah situasi dan kondisi. Bangunan setting sebagai bagian dari emosi pertunjukan tidak akan begitu berpengaruh dari keberadaan setting, karena emosi yang dihadirkan dibangun melalui diksi dan emosi dari pemain.


Hal yang menarik dan menjadi titik komposisi perhatian pertunjukan adalah keberadaan tangga. Tangga yang dililit kain putih yang menjadi tempat singgah dari awal kemunculan Demik, menjadi satu kesatuan akan keberadan Demik. Tangga yang merupakan tanda penghubung menjadikannya simbol dengan makna khusus. Ia dapat menjadi tanda dari simbol religi, simbol politik, simbol ekonomi, simbol sosial, simbol budaya, dan dapat pula simbol spiritual. Pada konteks tangga di pertunjukan ini, saya melihat keberadaan tangga lebih kepada perantara kedudukan penghubung dunia atas dan dunia bawah, dunia gelap dan dunia cerah, dunia bahagia dan dunia sengsara, alam neraka dan alam surga. Bangunan tangga telah menjadi simbol bangunan religius dari perjalanan hidup Demik. Tangga kemudian menjadi hal yang sakral dalam pertunjukan, yang pada akhirnya tangga sangat berperan dalam mendukung hubungan spiritual Demik untuk kembali mendekatkan antara dirinya dengan Sang Pencipta.


Dari tinjauan tersebutlah kemudian saya mengungkapkan bahwa tangga telah menjadi konsep religius dan spiritual manusia dari tokoh Demik. Tangga menjadi perantara ruang dan pemahaman dari Demik untuk pergi dari tempat yang kelam, seram, tak dikenali, dan pada akhirnya Demik menyadari hanya melalui tangga itulah ia bisa kembali. Tangga menjadi media perjalanan spiritual atau bisa juga perantara media peningkatan kesadaran. Kesadaran untuk menuju pencerahan, kesadaran akan mendekatkan kepada Tuhan. Tangga menjadi kala, menjadi waktu, menjadi masa, menjadi perantara, menjadi suara, menjadi tanda menuju semesta.



KALA KARYA SEMESTA

Secara pemanggungan, komposisi penempatan set yang berada di central/tengah, adalah upaya cerminan untuk membagi ruang menjadi lebih seimbang. Penuangan trap/level yang seimbang antara bagian kiri dan kanan, serta pada bagian depan tumpukan trap/level terdapat lagi 1 trap/level yang mengarah ke depan. Setting ini ditata sedemikian untuk menghasilkan bagian bagian keseimbangan. Keseimbangan adalah salah satu upaya dalam tatanan dalam menghadirkan citra semesta dari suatu pertunjukan. Karena sebagaimana kesemestaan, ada atas ada bawah, ada gelap ada terang, ada baik ada buruk, ada hitam ada putih, ada kanan ada kiri, ada depan dan ada belakang. Keseimbangan akan kesemestaan yang sejatinya adalah sebuah pradoks dalam kehidupan.


Paradoks jiwa inilah yang hadir dalam tokoh Demik, siapa saja orangnya, dari suku mana saja, agama apa saja, latar pendidikan yang seperti apa, profesinya apa, status sosial dari mana asalnya, akan terkena paradoks jiwa yang dihadirkan dari karya ‘Kutha’, yakni penyakit hati. Penyakit hati yang selalu ditentang dan coba disingkirkan dari setiap personal, namun benar kebedaradaannya yang selalu ada dalam jiwa jiwa manusia. Demik merasa selalu berbuat baik ketika semasa hidupnya, namun itu adalah penilaian dirinya sendiri oleh dirinya sendiri. Tapi berbeda dan saling ada, itulah kebenaran adanya di dalam hati, bahwa banyak ada penyakit hati, hasad, iri, dengki, nifak, benci, benar sendiri, sombong, takabur. Paradoks jiwa yang selalu ada, merasa bahwa apa yang dilakukan adalah kebaikan, namun bersamaan juga didalamnya ada sebuah keburukan, ingin orang lain berhasil namun juga sekaligus ingin celaka. Demik, adalah cerminan paradoks jiwa akan keseimbangan keinginan.


Keseimbangan keinginan inilah yang coba disematkan dari tatanan keseimbangan ruang tata letak setting pertunjukan. Keseimbangan waktu antara nanti dan kini, keseimbangan ruang antara dunia depan dan dunia belakang, keseimbangan keinginan antara kebaikan sekaligus keburukan. Melihat dari suguhan pertunjukan yang telah disajikan, ‘Kutha’ telah memberikan sebuah pembelajaran paradoksal, dimana adalah hal penyakit hati tersebut seolah-olah bertentangan (berlawanan) dan tidak ingin ada keberadaannya, namun umum atau benar keberadaan dan kebenarannya, bahwa ia bersembunyi di balik hati dan juga nadi dari jiwa jiwa manusia.’Kutha’ telah memberikan suguhan katarsis untuk kita tentang bagaimana upaya-upaya manusia agar sebisa mungkin melepaskan dan menghilangkan pelbagai penyakit hati. Menjadikannya pembelajaran akan pentingnya hidup agar meninjau kembali dari nurani.


‘Kutha’ hadir istimewa di kala usia Teater AiR Jambi memasuki umur 25. Sebuah suguhan pertunjukan yang menginginkan pembelajaran yang dapat diambil dan dibawa pulang dari sebuah perjalanan mahal manusia, yang mana pada saat ini di kala masa kehidupannya, sejatinya adalah masa mencari bekal untuk menuju kehidupan selanjutnya. ‘Kutha’ memberikan katarsis kehidupan, yang mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, suatu saat kita akan kembali menghadap Sang Ilahi. ‘Kutha’ telah berupaya untuk memotret keberadaan semesta melalui rupa rupa yang telah disuguhkannya. ‘Kutha’ menjadi kala bahwa ada masa dimana semua hal hal yang sudah pernah kita lakukan akan dimintai pertanggung jawaban. ‘Kutha’ menjadi tangga menuju usia dewasa, dari Teater AiR yang telah memasuki umur 25. ‘Kutha’ adalah karya yang menjadi bukti dari terus mengalirnya air agar tidak berhenti, agar terus menghidupi, agar jangan sampai tergenang dan menjadi kubangan. ‘Kutha’ kala citra rupa semesta yang menjadi cerminan dari perjalanan mahal kehidupan. (*/)





Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com