Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya
BICARA LITERASI - Makin bertambah usia dan pengalaman hidup, kita mungkin akan memiliki lebih banyak pertanyaan. Khususnya pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan kita di dunia ini: untuk apa kita dilahirkan ke dunia, bagaimana cara meraih kebahagiaan sejati, kenapa harus ada ragam ujian hidup yang harus dihadapi, dan bagaimana menyikapi kematian. Berbagai persoalan hidup pun kadang membuat kita seakan hilang arah, sehingga melanjutkan hidup terasa luar biasa berat.
Menjalani hidup yang bermakna bisa diartikan dengan kesediaan untuk terus belajar hal-hal baru dan meningkatkan kebijaksanaan. Termasuk belajar tentang memahami diri sendiri dengan cara yang lebih bijak. Suka duka hidup, susah senang perasaan, dan berbagai macam pergolakan batin perlu disikapi dengan hati yang lebih lapang. Memang tidak mudah, tetapi dari situ kita bisa belajar untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Buku berjudul Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya ini bisa menjadi salah satu buku yang membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri sekaligus kehidupan yang kita jalani. Melalui buku ini, kita akan diajak untuk menyelami ragam makna terkait surat ajaib hingga kembali menjadi ombak. Bahkan kita akan diajak untuk menelusuri keinginan menarik dari seorang pasien perempuan yang mengutarakan keinginannya untuk menjadi pohon semangka di kehidupan berikutnya.
Judul: Seorang Wanita yang Ingin Menjadi Pohon Semangka di Kehidupan Berikutnya
Penulis: dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ
Penyunting naskah: Nadira Yasmine
Desain sampul: Withly
Desain isi: Mulyono
Cetakan kedua: Februari 2025
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
***
"Sekarang, bayangkan betapa sulitnya ketika aku ditanya, apa itu kebahagiaan? Jawaban terbaik yang bisa kuberikan adalah dalam tiga kata: tiap orang berbeda. Kurasa itu jawaban yang cukup adil. Artinya, aku tidak bisa mendefinisikan bahagia untukmu, dan kamu tidak bisa memaksakan definisi bahagiamu untukku." (hlm. 51)
"Kita hidup dalam narasi bahwa suatu saat akan ada waktu yang tepat. Kita percaya narasi bahwa aku akan lebih siap di lain waktu. Dalam sebagian besar kesempatan, mungkin narasi itu benar. Tapi, kita juga perlu sadar bahwa narasi semacam itu suatu saat akan berubah jadi penyesalan." (hlm. 55-56)
"Masalah lain yang muncul dalam pencarian kebahagiaan adalah: kita menganggap perasaan bahagia itu bisa abadi. Akibatnya, ketika seseorang sedang meras senang ketika berkumpul dengan teman dekat, makan enak, atau menonton sesuatu yang menyenangkan, dia bisa mengatakan dirinya bahagia. Tapi, semua perasaan senang itu sifatnya sementara, 'kan?" (hlm. 56)
"Aku merevisi definisi kebahagiaan yang lama menjadi sesuatu yang mungkin lebih bisa dibagikan satu sama lain: menemukan rasa takjub. Rasa takjub ini tentu berbeda dengan rasa senang. Rasa takjub bisa muncul ketika kita melihat sesuatu yang indah, membuat kita penasaran, dan berpikir, 'Kok bisa, ya?'" (hlm. 61)
"... aku menyadari bahwa kadang proses skarifikasi pun terjadi dalam hidup kita. Seiring menjalani hidup di dunia, kita menjadi begitu keras kepala dan keras hati. Proses kita mengeraskan diri mungkin terjadi karena kita pernah terluka sebelumnya, membuat kita melindungi diri dari luka di masa depan. Sayangnya, kadang kita menjadi terlalu kaku sehingga tidak bersedia menerima apa pun dari luar." (hlm. 84)
"Aku menyadari bahwa banyak hal yang bisa dipelajari dari proses menanam ini. Selama ini, aku percaya bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau. Ternyata, rumput yang lebih hijau bukan rumput tetangga, tapi rumput yang dirawat dan disiram rutin." (hlm. 94)
"Kehidupan yang kita jalani hanyalah salah satu bentuk yang bisa diukur, seperti ombak. Tapi, bentuk ombak ini hanya sementara. Kadang, kita adalah ombak yang kecil. Di waktu lain, kita ombak besar setinggi lima meter. Di akhir waktu, kita berhenti menjadi ombak, tapi tidak sungguh-sungguh lenyap. Tubuh kita hanya berubah menjadi atom-atom kecil yang kembali ke alam." (hlm. 180)
***
Buku ini memuat 11 tulisan dan satu epilog yang membahas sejumlah tema yang sangat lekat dalam keseharian dan pergolakan batin kita sebagai manusia. Tema tentang kehidupan, kebahagiaan, hingga kematian dibahas dalam rangkaiann narasi yang ringan sekaligus penuh makna. Kita diajak untuk membayangkan dan memaknai surat ajaib dari masa depan, mengikuti tutorial menanam bunga matahari, fenomena duduk di kursi besi untuk mengambil jeda dan melepas penat, hingga metafora ombak yang begitu indah.
Terkait dengan judul tentang pohon semangka, hal ini berhubungan dengan seorang pasien perempuan yang menjalani konsultasi dengan penulis. Pasien perempuan dengan panggilan Lalin ini digambarkan sebagai sosok yang tampak tak punya semangat melanjutkan hidup. Bahkan di awal sesi konsultasi, Lalin bersikap sangat ketus dalam meminta diresepkan obat tidur. Dia merasa hidupnya sudah tidak berwarna dan sudah kehilangan motivasi hidup. Hal ini karena kondisi fisik yang dialaminya serta situasi keluarganya yang membuatnya merasa tidak pernah diperhatikan atau mendapat kasih sayang. Dalam suatu sesi dia mengatakan keinginannya untuk menjadi bunga matahari, tetapi dia merevisi keinginan tersebut dengan ingin menjadi pohon semangka.
Melalui rangkaian konsultasi yang dijalani Lalin dan penulis, kita akan diajak untuk mengikuti percakapan-percakapan yang menyentuh. Seperti dalam memaknai kebahagiaan. Kalau selama ini kita merasa hidup harus selalu bahagia, kita akan mendapat perspektif bahwa tidak sedang bahagia pun tidak apa-apa. Kalau selama ini kita tertekan karena merasa harus mengikuti cara orang lain untuk bahagia, maka kita akan mendapat pemahaman bahwa cara orang untuk bahagia itu bisa berbeda-beda. Kalaupun ada "rumus bahagia", bisa disederhanakan dengan menghadirkan rasa takjub dan menikmati jalannya waktu.
Melalui "Manusia dan Narasinya" kita akan diajak untuk bisa lebih ramah kepada diri sendiri. Sungguh lebih mudah bagi kita untuk melabeli diri sendiri dengan narasi yang negatif dibandingkan narasi yang positif. Padahal menghadirkan narasi yang baik dan positif untuk diri sendiri sangatlah penting demi kesejahteraan dan kesehatan mental kita juga.
"Tutorial Menanam Bunga Matahari" menjadi tulisan yang langsung mencuri perhatian di buku ini. Penulis memberikan semacam panduan langkah demi langkah menanam bunga matahari tetapi dibuat menarik dan lebih bermakna. Di setiap tahapan, ada selipan tentang tafsirannya terkait kehidupan yang kita jalani sebagai manusia. Seperti dalam proses skarifikasi pada biji yang akan disemai, kita bisa memaknainya bahwa dalam hidup pun kadang kita perlu terluka dulu untuk bisa bertumbuh. Kadang kita perlu merasakan perihnya ujian dan cobaan hidup agar bisa memiliki akar yang lebih kuat dan bisa punya semangat hidup yang lebih besar untuk terus melangkah ke depan.
Kematian menjadi topik yang mungkin sulit untuk kita bahas. Di buku ini, ada tulisan "Kembali Menjadi Ombak" yang menghadirkan perspektif yang menenangkan tentang menyikapi kematian. Membicarakan kematian bisa terasa menakutkan, tetapi itu adalah proses alamiah. Maka, daripada merasa terus dihantui oleh perasaan takut, ada baiknya kita menyikapinya dengan hati yang lebih lapang dan terbuka.
Buku ini cocok dibaca bagi siapa saja yang ingin terus bertumbuh dalam hidup. Menyikapi lika-liku perjalanan hidup memang tak mudah. Menghadapi kegagalan, penyesalan, dan takdir hidup pun butuh perjuangan tersendiri. Bahkan kadang hidup terasa makin berat seiring bertambahnya waktu, tetapi semua itu perlu disikapi dengan lebih bijaksana lagi. Masih ada hikmah yang bisa kita petik di setiap fase perjalanan hidup kita. Masih ada harapan di setiap persoalan yang kita hadapi.
Kalau menjadi manusia terlalu berat, mungkin kita bisa berandai-andai sejenak bisa dilahirkan kembali sebagai pohon semangka. Kira-kira kalau terlahir sebagai pohon semangka, apa hal pertama yang akan lakukan?
Sumber: fimela.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom