Tuesday, May 27, 2025

NASA: Kiamat Akan Terjadi Tahun 1.000.002.021 Saat Bumi Kehabisan Oksigen


BICARA LINGKUNGAN
Ketika berbicara soal hari kiamat, banyak orang membayangkan asteroid raksasa, perang nuklir, atau perubahan iklim ekstrem. Namun, menurut prediksi ilmuwan NASA dan Universitas Tōhō di Jepang, skenario paling realistis justru jauh lebih sunyi dan perlahan: Bumi akan kehilangan oksigen dan menjadi planet mati.

Sebuah studi kolaboratif berskala besar yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1.000.002.021, Bumi akan sepenuhnya kehilangan atmosfer yang dapat menopang kehidupan. Bukan karena tabrakan asteroid atau bencana mendadak, tetapi karena evolusi alami Matahari akan mengganggu keseimbangan kimia atmosfer, menghilangkan oksigen, dan secara perlahan membunuh semua kehidupan kompleks.

Simulasi NASA dan Tōhō University: Prediksi Akhir Kehidupan di Bumi

Dalam penelitian ini, para ilmuwan menggunakan simulasi superkomputer tercanggih untuk memetakan evolusi jangka panjang atmosfer Bumi. Proyeksi ini memperhitungkan perubahan suhu global, reaksi kimia atmosfer, fotosintesis, dan pengaruh dari peningkatan luminositas Matahari seiring bertambahnya usia.

Peneliti utama, Kazumi Ozaki dari Universitas Tōhō, menjelaskan bahwa atmosfer kaya oksigen yang selama ini menopang kehidupan bukanlah fitur permanen dari planet ini.  “Kami menemukan bahwa atmosfer kaya oksigen di Bumi bukanlah fitur yang bersifat permanen. Biosfer pada akhirnya akan runtuh karena kekurangan oksigen.” ujar Ozaki

Simulasi ini menunjukkan bahwa proses kehilangan oksigen tidak akan terjadi tiba-tiba, tetapi dimulai secara perlahan dalam rentang waktu geologis. Bahkan, penurunan kadar oksigen bisa dimulai sedini 10.000 tahun dari sekarang, menurut model tersebut.

Badai matahari yang menghasilkan energi besar berwujud jilatan api besar dan lontaran massa korona atau Coronal Mass Ejection [CME]. Sumber: Wikimedia Commons/STEREO Science Center – NASA Earth Observatory/Domain Publik

Penyebab utama skenario ini adalah evolusi alami Matahari, yang secara bertahap akan mengeluarkan lebih banyak energi seiring menua. Energi tambahan ini akan memicu peningkatan suhu global dan secara langsung memengaruhi siklus karbon dioksida di atmosfer.

Ketika suhu meningkat, karbon dioksida (CO₂) yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan untuk fotosintesis akan terurai. Tanpa CO₂, tumbuhan tidak dapat menghasilkan oksigen. Jika fotosintesis berhenti, maka pasokan oksigen yang menopang kehidupan hewan dan manusia akan berkurang drastis.

Ilmuwan dari Georgia Institute of Technology, Christopher Reinhard, yang terlibat dalam studi ini, mengatakan, Penurunan kadar oksigen atmosfer adalah konsekuensi tak terhindarkan dari evolusi Matahari. Kita mungkin lebih dekat ke akhir masa layak huni dibanding yang sebelumnya diperkirakan.”

Bumi Akan Kembali ke Kondisi Atmosfer Purba

Ketika proses fotosintesis berhenti karena hilangnya karbon dioksida dari atmosfer, dampaknya tidak berhenti pada penurunan kadar oksigen saja. Salah satu konsekuensi paling signifikan adalah hilangnya lapisan ozon yang selama ini berfungsi sebagai perisai pelindung terhadap radiasi ultraviolet (UV) dari Matahari. Ozon terbentuk dan dipertahankan melalui proses fotokimia yang berkaitan erat dengan keberadaan oksigen. Tanpa oksigen, ozon tidak dapat terbentuk kembali, dan Bumi akan kehilangan perlindungan alami yang selama jutaan tahun menjaga kehidupan tetap aman dari sinar UV yang mematikan.

Dalam kondisi seperti itu, permukaan Bumi akan menjadi tempat yang sangat tidak bersahabat. Radiasi ultraviolet tingkat tinggi akan langsung menghantam daratan dan lautan, merusak struktur biologis dari organisme apa pun yang masih tersisa. Bahkan DNA organisme mikro sekalipun dapat hancur tanpa perlindungan dari ozon. Ini bukan sekadar panas, tetapi kondisi yang secara biologis menghancurkan.

Ilustrasi bagaimana unsur-unsur penting seperti karbon, oksigen, sulfur, dan fosfor bersirkulasi di Bumi. Diagram ini menunjukkan hubungan antara atmosfer, laut, kerak Bumi, dan mantel melalui proses pelapukan, penguburan, dan subduksi. Semua proses ini memengaruhi keseimbangan oksigen dan karbon di atmosfer, yang pada akhirnya menentukan apakah Bumi bisa terus mendukung kehidupan atau tidak.
Ilustrasi bagaimana unsur-unsur penting seperti karbon, oksigen, sulfur, dan fosfor bersirkulasi di Bumi. Diagram ini menunjukkan hubungan antara atmosfer, laut, kerak Bumi, dan mantel melalui proses pelapukan, penguburan, dan subduksi. Semua proses ini memengaruhi keseimbangan oksigen dan karbon di atmosfer, yang pada akhirnya menentukan apakah Bumi bisa terus mendukung kehidupan atau tidak.

Lebih jauh lagi, komposisi atmosfer akan mengalami transformasi dramatis. Gas-gas yang dulu hanya minoritas seperti metana (CH₄) dan nitrogen (N₂) akan mendominasi. Atmosfer kaya oksigen akan bergeser menjadi atmosfer primitif yang mirip dengan kondisi Bumi pada era Arkean, sekitar 2,5 hingga 4 miliar tahun lalu. Metana, yang merupakan gas rumah kaca kuat, akan semakin memperburuk suhu permukaan, menciptakan efek rumah kaca ekstrem. Planet ini secara kimia akan menyerupai bentuk awalnya sebelum adanya kehidupan kompleks.

Dalam skenario ini, kehidupan seperti yang kita kenal saat ini—termasuk manusia, mamalia besar, burung, bahkan tumbuhan—akan musnah. Tidak ada organisme multiseluler yang bisa bertahan hidup dalam kondisi atmosferik seperti itu. Yang tersisa hanyalah mikroorganisme anaerobik, seperti bakteri purba yang mampu bertahan di lingkungan tanpa oksigen, dan mungkin di lokasi-lokasi ekstrem seperti celah hidrotermal di dasar laut.

Perkiraan berapa lama lagi atmosfer Bumi akan mengandung cukup oksigen untuk kehidupan kompleks. Grafik (a) menunjukkan prediksi umur atmosfer kaya oksigen, baik dengan maupun tanpa keberadaan biosfer darat. Grafik (b) menunjukkan bagaimana umur atmosfer bergantung pada seberapa banyak gas dari dalam Bumi (mantel) yang memengaruhi sistem permukaan. Semakin banyak gas pereduksi yang keluar dari mantel, semakin cepat oksigen akan habis.

Namun, bahkan makhluk-makhluk mikro ekstremofil ini pun memiliki batas toleransi. Jika suhu permukaan meningkat terlalu tinggi dan sinar ultraviolet menembus terlalu dalam, kemampuan adaptasi mereka akan runtuh. Dengan tidak adanya oksigen dan tingginya paparan radiasi, Bumi akan menjadi dunia steril, perlahan-lahan kehilangan seluruh bentuk kehidupan yang pernah ada.

Inilah sebabnya mengapa tahun 1.000.002.021 disebut sebagai penanda akhir dari kelayakhunian planet ini. Titik waktu ini bukan hanya simbolik, tetapi hasil dari perhitungan berbasis model iklim dan atmosfer jangka panjang yang sangat kompleks. Para ilmuwan memasukkan berbagai faktor dalam simulasi mereka—mulai dari perubahan geokimia, pemanasan Matahari, evolusi bintang, hingga siklus karbon dan nitrogen—untuk memperkirakan kapan ambang batas kelayakan planet akan dilewati.

Masa Depan Manusia: Tetap Bertahan atau Pindah Planet?

Meski kiamat karena oksigen hilang masih sangat jauh di masa depan, para ilmuwan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa diabaikan. Justru, masa transisi inilah yang paling kritis. Ketika kadar oksigen mulai menurun, manusia harus bersiap—entah dengan teknologi, habitat tertutup, atau migrasi ke luar angkasa.

NASA dan berbagai lembaga antariksa dunia sudah mengembangkan berbagai skenario keberlanjutan kehidupan. Terraforming Mars, eksplorasi eksoplanet di zona layak huni, dan pengembangan habitat artifisial adalah beberapa opsi yang kini dipertimbangkan serius. “Masalah ini bukan hanya tentang Bumi,” kata Reinhard, “tapi tentang memahami masa layak huni planet—baik untuk kita maupun untuk pencarian kehidupan di tempat lain.”

Penemuan ini juga mengubah kriteria pencarian planet layak huni di luar tata surya. Sebelumnya, oksigen dianggap sebagai indikator utama adanya kehidupan (biosignature). Namun jika oksigen ternyata hanya hadir dalam jangka waktu tertentu, ilmuwan kini mulai mencari tanda-tanda lain, seperti gas metana atau pola suhu yang bisa mendukung mikroorganisme. Dengan kata lain, kehidupan ternyata sangat rentan terhadap perubahan bintang induknya, dan bukan semua planet bisa mempertahankan kehidupan dalam jangka panjang.

Studi NASA dan Universitas Tōhō ini menyampaikan pesan besar: kiamat tidak harus datang dalam bentuk tabrakan asteroid atau supernova. Kiamat bisa hadir dalam bentuk yang paling sepi—saat Bumi perlahan kehilangan napasnya.


Sumber: Mongabay.co.id



Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com