Amri Ikhsan: Panggilan Jiwa (Personal Calling) Guru
BICARA OPINI - Guru bukan sekadar profesi, tetapi panggilan jiwa (personal calling)—sebuah undangan dari dalam hati untuk berkontribusi pada kehidupan orang lain melalui pendidikan. Panggilan ini sering kali dirasakan sebagai tugas ilahi atau misi hidup yang memberikan kepuasan batin yang sangat berharga.
Menjadi guru bukan sekadar pilihan pekerjaan, melainkan sebuah panggilan jiwa (personal calling), menjalankan tugas dan fungsi pokok (tupoksi) melayani murid dalam pembelajaran secara maksimal. Tupoksi ini akan bernilai ibadah bila dikerjakan karena Allah swt. Guru yang memiliki personal calling akan mendidik dengan hati, malu kalau siswa gagal, kehadirannya bukan karena presensi atau dinilai oleh pimpinan atau hanya sekedar mencari bukti fisik untuk e-kinerja tapi sebagai ladang ibadah.
Menurut Dikstra & de Roos (2011), personal calling adalah rasa terdalam bahwa seseorang dipanggil oleh nilai atau tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ini bermakna bahwa mengajar bukan sekadar mencari nafkah, tetapi menjalankan amanah untuk mencerdaskan anak bangsa yang karakter baik. Panggilan jiwa menjadi sumber energi moral dan profesional yang tidak mudah padam meski menghadapi tantangan berat dalam dunia pendidikan.
Personal calling merupakan pusat dan inti dari profesionalisme guru. Ini bukan hanya panggilan tugas negara, tetapi energi untuk menciptakan pembelajaran yang hidup, terarah, bermakna, dan membentuk masa depan. Guru bukan hanya hadir di kelas, tapi melaksanakan pembelajaran dengan dorongan kuat dari dalam diri, perasaan mendalam dan keyakinan bahwa pekerjaan ini adalah panggilan hati, panggilan jiwa, bukan sekadar berbicara untuk berbagi pengetahuan, menyampaikan materi pembelajaran. Patrick, Hisley, dan Kempler.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa guru adalah kunci untuk memperbaiki pembelajaran. Pengetahuan, tindakan, dan perhatian guru menyumbang 30% kesuksesan pembelajaran siswa. Research on Improving Systems of Education (RISE) mendapati bahwa “panggilan jiwa” adalah karakteristik yang diyakini harus dimiliki para guru di Indonesia. Kualitas ini secara umum dianggap dapat membantu memperbaiki kualitas pengajaran dan meningkatkan pembelajaran.
Sebuah penelitian tentang kualitas guru mengungkapkan bahwa panggilan jiwa merupakan pembeda antara guru yang berprofesional tinggi dengan yang biasa-biasa saja. Guru yang berprofesional tinggi akan berkerja sepenuh hati dalam proses pembelajaran dan sangat serius dalam berinteraksi dengan para murid. Perasaan dan emosi guru ini penuh dengan tanggung jawab untuk melaksanakan pembelajaran berkualitas dengan menunjukan kecintaan untuk menggali potensi terbaik untuk muridnya.
Guru dengan panggilan jiwa merasakan kepuasan batin saat melihat murid memahami materi yang ajarkan, berkembang secara akademis, atau menemukan potensi diri. Mereka percaya bahwa pendidikan adalah alat untuk memberdayakan kehidupan. Ada rasa kebahagiaan mendalam saat berada di kelas, seolah-olah ini adalah peran yang ditakdirkan. Meski ada tantangan dan rintangan (murid nakal, tidak mau belajar, kurangnya fasilitas atau beban admistrasi), niat untuk mendidik tetap menyala. Apapun persoalan guru, sifat alami guru seperti sabar, tenang, komunikatif, dan serius, penuh perhatian tetap keluar dan dan inilah yang membuat murid merasa "nyaman".
Walaupun banyak ‘permasalahan’, guru tetap merasa bergairah saat berinteraksi dengan murid. Kepuasan batin akan puas saat murid sukses, karena kebahagiaan guru datang bukan iming iming materi atau mengharapkan hadiah dari orang tua murid, tetapi dari proses melihat murid memahami pelajaran, tumbuh, dan menjadi lebih baik. Guru dengan panggilan jiwa tidak hanya menghabis materi dalam kurikulum, tetapi pada tuntasnya karakter, moral, dan nilai kehidupan murid.
Menjadi guru (yang sebenarnya) bukanlah perkara yang mudah, banyak tekanan, beban yang diterima oleh guru, tapi guru tidak mudah kalah. Guru mengajar tetap semangat dan selalu mencari cara baru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Panggilan jiwa ini membuat guru lebih tahan banting menghadapi stres, tidak mudah goyah oleh tekanan pihak luar, karena memang mereka mendidik dengan hati.
Guru ini lebih bahagia dan produktif karena mereka memandang mendidik bagian dari identitas dan jati diri. Guru yang memiliki panggilan jiwa tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran tapi apa yang disampaikan akan menjadi sumber kekuatan, ketahanan, dan makna bagi muridnya. Guru ini tidak hanya mengubah dan mendisain kelas dengan baik, tetapi juga mengubah dan mendisain hidup siswa karena guru merasa pekerjaan itu adalah bentuk ibadah dalam bentuk kepedulian, bukan paksaan.
Guru yang mengajar dengan panggilan jiwa cenderung menciptakan pembelajaran yang lebih humanis, tidak hanya fokus pada kurikulum, tetapi juga memahami kebutuhan emosional dan sosial murid. Guru tidak mendominasi pembicaraan di ruang kelas tapi lebih suka menggunakan memberi panggung pada siswa untuk berpartisipasi dengan metode student-centered learning karena peduli pada perkembangan holistik siswa.
Guru dengan panggilan jiwa menunjukkan karakteristik unggul dalam merencanakan pembelajaran, dan menghabiskan 40% lebih banyak waktu untuk menyiapkan materi (Hattie, 2012), dilanjutkan dengan mengembangkan perangkat pembelajaran yang lebih kontekstual.
Dalam implementasinya, guru menerapkan pendekatan diferensiasi untuk memenuhi kebutuhan belajar beragam, dan menggunakan lebih banyak metode pembelajaran aktif dibanding guru konvensional. Dan mengevaluasi pembelajaran, guru tidak pernah lupa memberikan umpan balik yang lebih personal dan konstruktif yang bersumber dari asesmen autentik yang dilakukan secara konsisten.
Guru dengan panggilan jiwa memiliki motivasi dan ketahanan fisik, emosi yang stabil. Studi longitudinal oleh Day et al. (2020) mengungkap bahwa guru ini memiliki tingkat kepuasan kerja 78% lebih tinggi, tingkat burnout 65% lebih rendah, dan komitmen organisasional 3x lebih kuat. Sedang dampak hasil belajar siswa menunjukkan peningkatan rata-rata nilai siswa sebesar 15-20%, tingkat partisipasi kelas meningkat 40%, dan kasus indispliner menurun hingga 60%
Kepuasan guru ini menyebabkan ketahanan (resiliensi) guru menjadi tinggi, dimana 65% lebih tahan terhadap stres pekerjaan (Day, 2020), memiliki tingkat kejenuhan (burnout) yang lebih rendah, dan motivasi intrinsik yang kuat, dimana tidak bergantung pada imbalan pihak luar, dan konsisten dalam pengembangan professional. Panggilan jiwa memberikan daya tahan terhadap stres dan kelelahan. Guru merasa bahwa perjuangannya bermakna, sehingga ia tetap semangat meski dalam keterbatasan (Torrance, 2015).
Guru dengan panggilan jiwa bekerja dengan tulus, tidak sekadar menggugurkan tugas. Guru lebih antusias, kreatif, tenang dan sabar dalam menghadapi siswa. Guru ini lebih lebih memperhatikan kebutuhan dan perkembangan siswa. Karena mengajar dilakukan dengan hati, Guru menjadi teladan bagi guru lain dan motivator bagi siswa. Mengajar bukan hanya tugas, tetapi juga sumber kebanggaan dan makna hidup.
Guru dengan panggilan jiwa membangun relasi yang bersifat humanis. Ia hadir sebagai pendamping, bukan penguasa. Komunikasi dua arah, empati, dan ketulusan menjadikan siswa lebih terbuka dan nyaman dalam proses pembelajaran (Palmer, 1998). Guru ini kan terus belajar dan berinovasi dan mempersonalisasi pembelajaran. Ia tidak cepat puas dan selalu mencari cara agar materi menjadi relevan dengan kehidupan siswa (Sinek, 2009).
Mendidik tanpa panggilan jiwa (personal calling) bagai gulai tanpa garam!. Wallahu a'lam bish-shawab!
(Penulis adalah Pendamping Satuan Pendidikan)
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom