Bom Ikan Hancurkan Terumbu Karang Halmahera
BICARA LINGKUNGAN - Penangkapan ikan ilegal dan merusak di Indonesia Timur terus saja terjadi. Di Perairan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (Malut), enam nelayan tertangkap Polda Malut karena kedapatan menggunakan bom ikan dan kompresor untuk menangkap ikan.
Kombes Pol. Bambang Suharyono, Kabid Humas Polda Malut, katakan, para tersangka berinisial MM, LOH, ALS, SLH, LAB, dan S, yang merupakan warga daerah itu. Mereka ditangkap sekitar pukul 07. 30, lengkap dengan satu kapal longboat dan bahan peledak.
“Selain satu unit longboat bermesin 15 PK, ada juga satu unit kompresor selam beserta selang sepanjang 70 meter, tiga pasang kacamata selam, dua drakor, satu pasang sirip selam (fins), serta 50 kilogram ikan yang diduga merupakan hasil penangkapan ilegal,” kata Bambang, dalam penjelasannya.
Atas perbuatannya itu, para pelaku dijerat Pasal 84 ayat (1) UU Nomor 45/2009 tentang Perikanan juncto Pasal 55 KUHP yang mengatur larangan penggunaan bahan peledak dan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem laut.
“Nelayan yang diamankan bersama barang bukti telah diamankan di Pos BKO KP XXX-2006 wilayah Halmahera Selatan dan telah menjalani pemeriksaan. Selanjutnya, mereka dibawa ke Kantor Subdit Gakkum untuk pemeriksaan lanjutan di Ternate,” kata Bambang.

Marak penangkapan ilegal
Sebelumnya, Tim Subdit Penegakkan Hukum (Gakkum) Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Ditpolarud) Polda Malut juga menangkap sejumlah nelayan karena menggunakan alat tangkap terlarang, seperti panah dan kompresor. Penangkapan dilakukan menyusul adanya korban jiwa dari salah satu nelayan.
“Sebelumnya, warga Desa Sosepe Halmahera Selatan sudah mengeluhkan kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap panah yang dibantu media kompresor. Hal ini menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun,” kata Kompol Riki Arinanda, Kasubdit Gakkum Ditpolairud Polda Malut.
Menurut Riki, ada tiga kapal pengguna kompresor yang turut diamankan dalam operasi kali ini. Mereka dibawa ke Pos Polairud BKO Halmahera Selatan di Desa Jikotamo, Kecamatan Obi guna dilakukan pemeriksaan.
Selain barang bukti, juga amankan beberapa pelaku. Masing-masing berinisial AR selaku nakhoda KM Usaha Baru 2, DA nakhoda KM Ayu Indah Jaya, dan DAF nakhoda perahu motor Cahaya Bulan. Ada tiga orang lain diamankan.
“Kapal–kapal yang melakukan aktivitas illegal ini diamankan saat lakukan penangkapan ikan menggunakan panah dengan alat bantu kompresor malam hari di sekitar perairan Desa Sosepe,” katanya.
Selanjutnya, para nelayan ini dinilai melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf D jo Pasal 100 c UU Nomor 45/2009 tentang Perikanan.
Abdullah Togubu, Kepala Seksi Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Malut mengakui masih marak praktik perikanan merusak di wilayahnya, terutama di Perairan Halmahera Selatan. Banyaknya pulau-pulau kecil di kawasan ini menjadikan wilayah tersebut rawat akan pelanggaran.
Selain di laut Pulau Obi, beberapa spot penangkapan ikan ilegal lain juga marak terjadi di Kepulauan Taliabu, Sula, Widi, hingga Kepulauan Guraici. “Paling rawan memang di Halmahera Selatan, terutama di tiga spot tersebut,” katanya.

Bagaimana pengawasannya?
Abdullah mengatakan, banyak daerah kepulauan menjadikan upaya pengawasan sulit. Pasalnya, perlu anggaran yang tak sedikit. Sementara, pagu anggaran dari pemerintah daerah sangat terbatas.
Untuk menyiasatinya, mereka berupaya meningkatkan koordinasi lintas sektoral, serta melibatkan komunitas nelayan sekitar. “Terpaksa yang kita lakukan hanya koordinasi dengan aparat terkait, jika ada laporan dari masyarakat. Misalnya ke Polair Polda dan pihak Pangkalan Angkatan Laut di Ternate,” katanya.
DKP, katanya, sejatinya memiliki jaringan pengawas dari Kelompok Masyarakat Pengawasan (Pokmaswas) yang terdiri dari nelayan sekitar. Namun, minimnya anggaran juga menyebabkan kegiatan pengawasan tak berjalan efektif. Terutama setelah adanya kebijakan efisiensi anggaran seperti sekarang ini.
Abdul Muthalib Angkotasan, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Khairun Ternate mengatakan, terumbu karang Halmahera Selatan, alami kerusakan paling parah akibat penggunaan alat tangkap terlarang ini. “Hampir semua terumbu karang di daerah itu rusak dengan ciri-ciri kena bom dan potasium.”
Sepanjang pengamatannya belakangan ini, penggunaan bom ikan dan kompresor masih cukup marak dilakukan oleh para nelayan Halmahera Selatan. Dampaknya, spot-spot terumbu karang yang harusnya menjadi tempat ikan melakukan pemijahan rusak parah. Jejak kerusakan itu dapat terlihat di beberapa wilayah perairan, seperti Kayoa, Bacan, dan Obi serta Gane Barat dan Gane Timur.
Menurut dia, bukti lapangan dampak bom adalah koloni terumbu karang ada patahan-patahan kecil dengan cakupan begitu luas. “Jika daya ledak kuat, luasan kerusakan juga sangat besar,” ujarnya. Yang jadi soal juga, katanya, perusakan karena bom ikan untuk perairan laut Halmahera Selatan, terjadi berulang kali setiap saat.
Dia menyarankan, Pemerintah Malut dan Halmahera Selatan lakukan riset untuk mengidentifikasi titik-titik kerusakan parah dan kerawanan ancaman bom di laut Malut. Dengan begitu, pemerintah bisa mengambil langkah yang tepat untuk mengatasi persoalan tersebut.
“Baik kepada nelayan maupun penegak hukum terutama penegakan regulasi destructive fishing (penangkapan ikan merusak.”

Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom