Ikan Belida Makin Sulit Ditemukan, Mengapa?
BICARA LINGKUNGAN - Ikan belida sumatera (Chitala hypselonotus) yang biasa disebut ikan belida adalah ikan air tawar yang sangat digemari masyarakat Palembang. Daging ikan ini dinilai paling enak dijadikan bahan pempek, kerupuk, tekwan, pepes ikan, dan penganan khas Palembang lainnya.
Popularnya ikan belida di Palembang, dibuktikan adanya patung ikan belida di Plasa Benteng Kuto Besak, Palembang, serta puluhan merek dagang yang menyebutkan “belido” untuk produk pempek, kerupuk, dan kemplang. Meskipun tidak semuanya dibuat dari daging ikan belida.
Sejak 2018 lalu, masyarakat dan pedagang pempek, kerupuk, kemplang, dan makanan khas Palembang, tidak berani lagi mengonsumsi atau menggunakan daging ikan belida. Sebab, ikan ini sudah dilindungi berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018.
Apakah penganan khas Palembang, seperti pempek, yang menyebabkan ikan belida makin sulit ditemukan?
“Berkurangnya ikan belida bukan karena banyak dibuat pempek atau kerupuk. Buktinya, ikan lain seperti gabus (Channa striata) dan toman (Channa micropeltes) tetap saja banyak, meskipun setiap hari kami tangkap,” kata Eddy (60), warga Desa Tempirai, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir), Sumatera Selatan, akhir Mei 2025.
Dijelaskan Eddy, mulai berkurangnya ikan belida dikarenakan banyak rawa, lubuk, dan lebung yang hilang, serta tercemarnya air sungai. Ikan belida senang hidup di rawa dan sungai, yang airnya jernih dan tenang. Berbeda dengan gabus dan toman yang dapat hidup di air keruh.
“Hilangnya rawa, lubuk, dan lebung dikarenakan ditimbun untuk perkebunan, jalan, juga akibat pendangkalan.”
Lubuk adalah bagian terdalam di sebuah sungai. Sementara lebung adalah rawa dalam yang biasanya tergenang air sepanjang tahun.

Beberapa waktu lalu, Barry [39], warga Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir [OI], mengatakan belida mulai sulit didapatkan. Kecuali, saat musim kemarau. Itu pun, ukurannya jarang yang besar.
“Mungkin karena banyak rawa menjadi kebun sawit dan juga akibat limbahnya.”
Ibrahim (63), warga Desa Arisan Musi, Kecamatan Muara Belida, Kabupaten Muara Enim, menjelaskan bahwa belida nyaris habis di wilayah ini.
“Dulu dusun kami ini tempatnya belida. Akibat banyak rawa dijadikan perkebunan sawit, belida terus berkurang.”
Diperkirakan, kebutuhan belida bagi masyarakat Palembang sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Permintaannya meningkat saat mulai ramainya warung pempek dan penganan khas Palembang pada 1970-an.
“Kami tetap menjaga rawa, lubuk, dan lebung. Bahkan, kami bertahan selama puluhan tahun hidup di rumah panggung kayu dan tidak menimbun rawa saat membangun rumah seperti umumnya saat ini.”
“Selain itu, belida yang laku dijual atau harganya mahal, minimal beratnya lima kilogram per ekor. Kalau kami menangkap belida ukuran kecil, kami kembalikan ke rawa atau sungai. Jika beratnya sekitar tiga kilogram, kami besarkan di keramba,” jelas Ibrahim.
Dikutip dari artikel “Karakteristik Habitat Ikan Belida (Notoptera chitala)” yang ditulis Arif Wibowo dan Mas Tri Djoko Sunarno pada 2006, dijelaskan belida adalah ikan predator yang aktif malam hari dan memiliki habitat di rawa banjir (floodplan).
Saat musim hujan, belida melakukan migrasi dari sungai utama atau bagian yang berair lainnya (anak sungai, lebung, dan lain-lain), ke rawa banjir untuk melakukan aktivitas pertumbuhan (mencari makan) dan reproduksi (memijah). Saat musim kemarau, ia berada pada tempat-tempat yang ada airnya, baik di sungai utama maupun di daerah rawa banjir.

Penyebabnya kompleks
Dr. Irkhamiawan Ma’ruf, peneliti ikan air tawar dari Universitas Muhammadiyah Palembang, menuturkan bahwa menurunnya populasi belida bukan karena banyak dikonsumsi, seperti dibuat pempek. Sebab, secara alami ikan dapat berkembang biak untuk memenuhi kebutuhan manusia.
“Penyebabnya kompleks. Mulai perubahan bentang alam, degradasi habitat, pencemaran, spesies invasif, hingga penangkapan yang merusak,” katanya, Senin (9/6/2025).
“Dari berbagai sebab itu, yang sangat terasa dampaknya adalah perubahan bentang alam dan rusak atau hilangnya habitat belida.”
Berdasarkan data HaKI [Hutan Kita Institut], sebuah lembaga lingkungan hidup di Sumatera Selatan, dari tiga juta hektar luas lahan basah Sungai Musi, sekitar 1.123.119 hektar berubah fungsi. Sebanyak 17 perusahaan HTI menguasai sekitar 559.220 hektar, dan 70 perusahaan sawit menguasai 231.741 hektar. Sekitar 332.158 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Misalnya luas lahan basah di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sekitar 1,42 juta hektar, terluas di Sumatera Selatan, berubah fungsi sekitar 647.766 hektar.
Dari luas lahan basah di Kabupaten Banyuasin yang mencapai 946.639,2 hektar, sekitar 41.434 hektar menjadi perkebunan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri) seluas 38.455 hektar, serta 67.991 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pelabuhan, dan lainnya.
Di Kabupaten Muba (Musi Banyuasin), dari luas lahan basah sekitar 600 ribu hektar, berubah menjadi HTI seluas 109.634 hektar, perkebunan sawit seluas 69.437 hektar, serta 60.384 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan lainnya.

Jenis ikan invasif yang banyak menyebar di lahan basah Sungai Musi yakni ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan ini dikembangkan di Sumatera Selatan sebagai ikan budidaya. Dalam perkembangannya, ikan nila juga menyebar di perairan bukan hanya hidup di tambak atau keramba.
“Ikan ini rakus dan suka makan anakan ikan lokal, termasuk anakan ikan belida,” kata Irkhamiawan.
Sementara pencemaran yang dialami lahan basah Sungai Musi, mulai disebabkan limbah perkebunan, pertambangan, industri perkebunan, pupuk, minyak bumi dan gas, hingga rumah tangga.
Penelitian yang dilakukan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) bersama Telapak Sumatera Selatan dan Spora pada 2022 lalu, dalam 100 liter air Sungai Musi ditemukan 355 partikel mikroplastik. Mikroplastik yang dominan adalah jenis fiber atau benang-benang (80 persen) serta fragmen, filamen, dan granula.
Air Sungai Musi juga memiliki kadar polutan tinggi, seperti logam berat mangan sebesar 0,2 ppm, dan tembaga sebesar 0,06 ppm (standar maksimalnya 0,03 ppm per liter). Kadar klorin dan fosfat juga tinggi. Klorin sebesar 0,16 mg dan kadar fosfat mencapai 0,59 mg (standar maksimal 0,03 mg per liter).

Solusi
Menurut Irkhamiawan ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan ikan belida bersama ikan air tawar lainnya. Pertama, memberikan suaka atau tempat aman bagi ikan belida untuk berlindung, bertelur, membesarkan larva, dan mencari makan. Kedua, restocking belida yang disebarkan ke alam.
Suaka perikanan atau kawasan konservasi ini untuk melindungi ikan belida bersama ikan air tawar lokal lainnya, dari ancaman penangkapan, pencemaran, dan perubahan bentang alam. Lokasinya, berupa ekosistem yang menghubungkan wilayah perairan dan daratan (hutan).
Dikarenakan populasinya menurun, perkembangan atau pertumbuhan ikan belida tidak hanya mengandalkan proses alami. Perlu intervensi, seperti menebar bibit di lahan basah Sungai Musi. Guna memenuhi kebutuhan bibit tersebut, perlu dilakukan restocking belida.
Sumber: mongabay.co.id
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom