“SANG PEMBERI REZEKI”: Puisi Akar, Zikir Warna, dan Tegangan Modernitas Spritualitas
Oleh Ide Bagus Putra/penyair-owner Anjungan Puisi Jambi
Dalam karya bertajuk Sang Pemberi Rezeki, Harisman tampil sebagai sosok perupa yang tidak sekadar memamerkan bentuk visual, melainkan menawarkan medan kontemplatif yang mempertemukan ulang iman, makna, dan realitas.
Karya ini, yang dipajang dalam Pameran Seni Rupa di Taman Budaya Jambi tanggal 23–29 Juni 2025, bersama 124 karya lainnya tidak hanya hadir sebagai sekadar obyek seni, tetapi menjelma sebagai ruang tafsir yang lentur dan dalam. Ia berdiri di antara persilangan makna yang personal sekaligus transenden, antara bahasa visual seni rupa kontemporer dengan akar spiritualitas Islam yang tetap hidup.
Di tengah keragaman pendekatan dalam pameran ini, karya Harisman menegaskan posisinya sebagai penanda pertemuan antara nilai-nilai lokal dan wacana global yang bersatu dalam satu tubuh: kanvas yang diam-diam berbicara.
Akar sebagai Metafora Eksistensial
Bentuk akar yang menjalar dalam bidang kanvas bukan sekadar pengganti figur manusia. Ia adalah representasi visual dari sistem kehidupan yang saling terhubung. Di tangan Harisman, akar menjadi lambang dari doa, harap, dan rezki. Tiga hal yang terus bertaut dengan Yang Maha Pemberi. Dalam pendekatan visual seperti ini, kita melihat semangat ikonografi kontemporer Islami yang tidak dogmatis, tetapi reflektif sejalan dengan kecenderungan karya-karya kontemporer di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara yang menjadikan spiritualitas bukan sebagai tema pasif, tetapi sebagai gagasan yang hidup dan berpikir.
Pusaran hijau di tengah bidang menjadi titik tarik visual yang bisa dibaca sebagai lubb intisari batin manusia tempat berlabuhnya makna dari segala hal yang tidak kasat mata. Kaligrafi yang terintegrasi dengan akar itu, dengan gaya Khat Naskhi yang populer karena kejelasan dan fungsinya dalam menyampaikan wahyu, menegaskan bahwa ayat tidak hanya dibaca, tetapi harus tumbuh, menjalar, menyerap, dan menjadi bagian dari tubuh spiritual manusia.
Kritik Terhadap Keterputusan Konteks
Dalam pandangan saya, seni rupa Indonesia kerap kehilangan konteks spiritual dan kulturalnya saat menyerap modernisme Barat secara mentah. Harisman hadir sebagai kritik halus atas kegamangan tersebut. Ia tidak menolak modernisme, tetapi mendialogkannya dengan kearifan spiritual yang ia yakini. Dalam karya ini, ia tidak berbicara tentang Tuhan secara monumental, tetapi menghadirkannya lewat akar, lewat sistem halus yang diam-diam memberi hidup.
Ayat dari Surah Al-Ankabut ayat 62 yang menjadi fondasi karya ini bukan sekadar kutipan. Ia hadir sebagai sistem makna, sebagai pola, sebagai “jaringan ruhani” dalam visual. Harisman seperti sedang menulis ulang tafsir, bukan dalam bahasa kitab, tetapi dalam bentuk warna dan garis yang bertaut seperti doa panjang.
Harisman: Melukis sebagai Zikir Panjang
Untuk memahami karya ini, kita tidak bisa memisahkannya dari sosok Harisman sendiri. Lahir di Kerinci, 1 Januari 1963, dan menetap di Padang Panjang, Harisman adalah seorang dosen, seniman, sekaligus peziarah ruhani dalam medan seni rupa. Ia bukan pelukis yang muncul sesaat dan menghilang. Ia konsisten. Ia membangun reputasi melalui puluhan pameran yang tidak hanya lokal tetapi juga internasional.
Dari “Zikrullah” di Solok Selatan, “Ayat Kursi” di Tambo Art Center Padang Panjang, “Salawat Nabi” di Surabaya, hingga “Sound of Minangkabau” di Amerika Serikat, dan yang terbaru “Tafakur dalam Zikir” di Taman Budaya Jambi tahun 2024 semua karya Harisman menyuarakan satu hal: bahwa seni lukis bisa menjadi perpanjangan dari zikir.
Ia adalah satu dari sedikit perupa kontemporer Indonesia yang berani konsisten menempuh jalur spiritual tanpa menjadi klise, tanpa menjadi repetitif. Karyanya tidak terjebak dalam estetika kaligrafi sebagai ornamen semata, melainkan sebagai sistem berpikir, sistem merasakan, dan sistem mengolah hidup. Itulah yang membuat karya Harisman tidak sekadar indah, tapi juga menghentak diam-diam.
Jambi dan Ruang Tafakur Visual
Pameran ini berlangsung di Taman Budaya Jambi (23-29 Juni 2025) , tanah Melayu yang menyimpan napas lisan, puisi adat, dan spiritualitas sejak lama. Maka ruang ini tidak sekadar menjadi tempat pameran, tapi menjadi ruang tafakur visual. Di sinilah “Sang Pemberi Rezeki” tak hanya dipajang, tetapi dirasakan. Tak hanya dilihat, tetapi didoakan.
Sebagai penyair, saya merasakan energi itu menjalar. Dalam diam, saya mendengar akar-akar itu berkata: Rezeki bukan hanya datang dari langit, tapi juga dari kesadaran akan keterhubungan. Bahwa hidup adalah soal menerima, menanti, dan merawat apa yang dititipkan Tuhan, sekecil apa pun itu.
Penutup
Harisman tidak sekadar melukis ayat, tapi memupuknya, menyiraminya, menumbuhkannya dalam medium yang modern namun tidak lupa akar. Karya Sang Pemberi Rezeki adalah jembatan antara kanvas dan langit, antara garis dan getar batin, antara seni dan spiritualitas yang terus hidup meski kadang kita abaikan.
Semoga karya ini tidak hanya ditatap, tetapi juga diserap, direnungi, dan disyukuri. Karena mungkin, rezeki terbesar dari karya ini bukan pada warnanya, tapi pada makna yang ia tinggalkan di hati kita.
Ide Bagus Putra
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom