Friday, July 18, 2025

Herri Novealdi: Aktivisme Gaya Baru Anak Muda Jambi


Oleh: Herri Novealdi *)


Media sosial kini kian menjelma menjadi kanal terbuka bagi banyak orang berekpresi. Bahkan belakangan ini di Provinsi Jambi perkembangan transformasi teknologi informasi sudah menyasar sebagai kekuatan lanskap sosial-politik.


Sebenarnya fenomena ini juga terjadi di berbagai daerah lain. Sejak terlihat sekali pelaksanaan Pemilu yang dilaksanakan secara serentak di Provinsi Jambi, terlihat ramai sekali gerakan generasi muda yang tak lagi melulu harus menunggu ruang ataupun panggung formal untuk menyalurkan aspirasi.  Kejadian itu makin kentara setelahnya.


Terlihat saat suksesi pemilihan ketua dewan eksekutif mahasiswa di dua kampus: Universitas Jambi dan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pasca Pemilu serentak itu.


Media sosial menjadi sangat ramai dengan ruang aktivisme, pembentukan opini, konsolidasi hingga penggalangan massa demi menyasar kemenangan.


Belakangan dalam isu lain, pola gerakan juga sama, dicuatkan melalui berbagai konten dalam berbagai platform di media sosial.


Di samping kampanye isu lingkungan yang terus didengungkan, kritik kebijakan, hingga berbagai kegiatan advokasi digital terkait hak-hak kelompok rentan muncul dari berbagai platform media sosial. Baik di Facebook, Instagram, hingga yang paling ramai terlihat masif di TikTok.


Para kelompok anak muda ini terlihat aktif melakukan konsolidasi, kampanye isu, hingga melakukan perlawanan simbolik melalui ruang publik media sosial.


Aktivisme digital ini menjadi gaya baru, dan tentunya ini menandai babak penting dalam perubahan lanskap dalam ruang publik digital.


Sebelumnya, yang seperti kita ingat bersama, ruang publik masih identik dan banyak dilakukan di berbagai lokasi strategis. Di Kota Jambi misalnya, bisa kita lihat aksi demontrasi kerap dilakukan di perempatan Bank Indonesia di kawasan Telanai Pura. Tempat lain: di Gedung DPRD Provinsi Jambi, ataupun gedung Kantor Gubernur Jambi.


Bisa kita saksikan bersama, dulu tak jarang ujung-ujungnya aksi demonstrasi bergesekan dengan oknum aparat. Itu adalah pemandangan biasa ketika terjadi aksi yang dilakukan di lapangan.


Tapi kini, kritik terhadap kebijakan pemerintah, kampanye lingkungan, advokasi hak azasi manusia, hingga masalah yang sangat teknis seperti proyek pemerintah, bisa kita lihat dalam rupa aksi twibbon, Instagram story, TikTok challenge, dan berbagai cara kreatif lain.


Ada juga aksi lainnya dengan gerakan menggunakan hastag ataupun tagar tertentu yang kerap dimanfaatkan bagi kelompok masyarakat untuk mendorong perubahan ataupun menjalankan fungsi kritik terhadap pemerintah.


Tanpa harus turun ke jalan atau bahkan dibarengi gerakan turun ke jalan, aksi itu beberapa kali di Indonesia menjadi cara efektif dalam mengonsolidasikan ribuan penggunaan media sosial dalam menyuarakan keresahan masyarakat.


Tak perlu menunggu lama dan tak perlu bergesekan langsung secara fisik dengan oknum aparat, gerakan itu nyatanya telah diperkuat oleh algoritma platform media sosial dan membuat isu berdengung kemana-mana.


Secara ideal fenomena ini tentunya dapat kita artikan sebagai kenyataan bahwa aktivisme tidak mati, tapi ia sedang bertransformasi dan berganti wajah. Harus kita sadari, anak muda Jambi kini tidak lagi menjadi konsumen dari informasi. Sebagian dari mereka sedang aktif memproduksi gagasan, mendorong isu tertentu, maupun menolak sesuatu lewat kampanye di media sosial.


Dengan bermodalkan kuota internet, kreativitas dalam desain visual maupun editing video, pada akhirnya mereka dapat menjangkau ribuan audiens. Hal itu pastinya lebih efektif, lebih cepat, dan lebih partisipatif ketimbang aksi yang dilakukan dalam ruang di lapangan terbuka ataupun melalui leaflet/selebaran.


Media sosial kini menjadi ruang tanpa sekat, lebih bebas, dan menjadi tempat yang dapat langsung menyuarakan aspirasi langsung ke pihak yang bersangkutan melalui akun-akun official mereka dan disaksikan oleh banyak orang dalam rupa sebagai netizen.


Mereka tak perlu mengajukan izin ataupun mengirimkan surat pemberitahuan untuk mengadakan aksi di lapangan. Gerakan aktivisme digital bisa langsung dilakukan secara instan dan mampu menarik atensi banyak orang.


Bahkan, bagi pihak-pihak yang sebelumnya tidak berani menyampaikan aspirasi secara langsung, lewat media sosial bisa mereka lakukan. Baik secara terang-terangan ataupun melalui praktik anonimitas.



Waspada Penumpang Gelap dan Trial By Social Media


Namun, perlu diingat bahwa aktivisme digital tetap membutuhkan literasi digital yang kuat. Publik harus tetap aware, lebih bijak, tahu beda hoaks dan mana yang fakta.


Publik juga harus cermat dan penting untuk tahu apakah suatu isu yang muncul karena viral benar adanya karena fakta dan demi kepentingan publik. Bukan justru viral karena adanya settingan tertentu ataupun ada praktik desain propaganda demi kepentingan segelintir orang.


Sesungguhnya aktivisme digital mengandung paradoks: ketika semangat menyuarakan kebenaran justru berpotensi melahirkan kebisingan tanpa arah, bahkan persekusi sosial yang menyalahi prinsip-prinsip keadilan. Hal itulah mestilah jadi perhatian kita bersama.


Di titik inilah edukasi kepada masyarakat dan peran jurnalisme menjadi krusial agar informasi yang diterima oleh masyarakat memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Di era ini, peran tersebut sangat krusial demi membangun ekosistem ruang publik digital yang sehat.


Kita harus tahu bahwa kampanye yang dilakukan secara digital tak bisa langsung dibaca secara simplisitis. Ada konsekuensi bentuk aktivisme tersebut cenderung mengalami simplifikasi isu ataupun personalisasi dalam konflik.


Apalagi bila materi konten berupa masalah yang kompleks tapi disuguhkan secara ringkas, dibarengi kalimat provokatif, dan ditambah dengan gambar atau video emosional yang menggantikan argumentasi rasional, alih-alih publik teredukasi, yang ada malah publik menjadi menjadi terpancing emosinya, perdebatan menjadi datar, reaktif, dan justu kehilangan kedalaman analisis.


Gejala yang perlu diantisipasi kita bersama juga berkaitan dengan kemunculan trial by social media. Fenomena itu muncul tatkala individu maupun institusi dihukum secara sosial oleh banyak netizen. Dia diframing bersalah setelah peristiwa itu viral, tanpa proses klarifikasi yang utuh, tanpa verifikasi berlapis, maupun tanpa menempuh proses peradilan yang adil.


Bila kita menelusuri ke belakang, di Provinsi Jambi beberapa kali ditemukan unggahan video pendek ataupun potongan percakapan yang viral dan memicu kemarahan publik. Tak jarang ada video berujung pada doxing, perburuan identitas, dan serbuan komentar negatif penuh caci maki.


Tak semua video bisa kita langsung pastikan benar. Semuanya harus jelas terlebih dahulu duduk perkaranya. Bisa saja belakangan diketahui justru terbukti merupakan kesalahan konteks ataupun hasil dari manipulasi narasi.


Jika itu terjadi, ruang publik media sosial menjadi pengadilan maya. Individu ataupun kelompok dihukum justru karena persepsi kolektif yang viral dan subjektif, tanpa prosedur hukum yang jelas.


Dalam konteks digital, keadilan tanpa prosedur adalah bentuk kekerasan baru yang kerap luput dari perhatian hukum formal.


Isu yang ditunggangi aksi penumpang gelap juga penting diwaspadai. Aktor yang menyusupkan agenda tersembunyi demi kepentingan politik, ekonomi, dan bahkan polarisasi sosial adalah suatu hal yang rentan.


Kondisi saat ini, dengan mudah isu sosial dimanipulasi menjadi alat propaganda. Celakanya, algoritma media sosial justru memperkuat konten yang paling emosional, paling marah, atau paling menyentuh sisi sentimental pengguna.


Bukan konten yang paling benar yang paling banyak disebar, tetapi yang paling menggugah emosi tanpa jaminan bahwa emosi itu berpijak pada fakta.


Ini menegaskan bahwa tantangan dan problematikanya dalam kegiatan aktivisme digital adalah kegiatan itu bukan ruang netral. Ia adalah medan perang persepsi yang dipenuhi bias, framing, dan potensi manipulasi.


Seorang aktivis digital yang tidak memiliki literasi informasi dan etika komunikasi yang memadai akan mudah terseret menjadi bagian dari problem, bukan solusi.


Di tengah kondisi ini, tantangan utama aktivisme digital bukan hanya tentang keberanian bersuara, tetapi tentang kebijaksanaan dalam menyuarakan.


Literasi digital menjadi kunci utama. Warga, khususnya anak muda, perlu dibekali kemampuan untuk membaca informasi secara kritis, mengecek sumber data, dan memahami konteks isu.


Lebih dari itu, perlu ditegaskan pentingnya etika komunikasi digital dengan nilai yang selama ini sering diabaikan. Hak untuk menyuarakan tidak berarti hak untuk mencaci. Kebebasan berbicara tidak sama dengan kebebasan untuk menuduh tanpa dasar.


Aktivisme digital adalah keniscayaan. Ia bisa menjadi jembatan menuju keadilan sosial, atau justru menjadi jebakan kegaduhan yang membelah masyarakat.


Generasi muda Jambi saat ini sedang memainkan peran penting dalam dinamika perubahan sosial. Tetapi mereka perlu menyadari satu hal: keberanian harus diimbangi dengan ketepatan, dan semangat harus disertai dengan kewarasan.


Sebab jika tidak, ruang digital yang semestinya menjadi ladang subur bagi gagasan progresif, justru berubah menjadi padang gersang. Di sisi lain, jurnalisme haruslah terus hadir dengan menjalankan perannya dengan sesungguh-sungguhnya.


*) Herri Novealdi adalah Dosen UIN STS Jambi dan mantan jurnalis. Saat ini aktif mencermati isu perkembangan media massa, jurnalisme, dan transformasi sosial di era digital.



Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com