Saat Kupu-Kupu Berubah Jadi Ular untuk Melawan Predator
BICARA LINGKUNGAN - Di hutan hujan Amerika Selatan, berbagai strategi pertahanan unik berkembang sebagai respons terhadap tekanan predator yang terus-menerus. Salah satu contohnya dapat ditemukan pada permukaan daun bromelia yang melekat di cabang pohon. Di sana, sering terlihat sosok yang sekilas tampak seperti kepala ular dengan mata gelap menonjol dan posisi siaga yang mengintimidasi. Penampakan ini cukup untuk membuat banyak hewan kecil berhenti mendekat atau segera menjauh.
Meski terlihat menyeramkan, sosok tersebut bukanlah reptil berbisa. Wujud itu sebenarnya merupakan kepompong kupu-kupu bernama Dynastor dariius dariius, spesies yang dikenal karena kemampuan penyamaran luar biasa pada fase metamorfosis. Dengan bentuk dan pola warna yang menyerupai kepala ular, kepompong ini memanfaatkan ketakutan naluriah predator demi meningkatkan peluang bertahan hidup sampai masa dewasa.

Strategi Mimikri yang Menipu Predator
Fenomena ini dikenal sebagai mimikri Batesian, sebuah strategi pertahanan di mana hewan yang tidak berbahaya meniru penampilan spesies berbahaya demi mengusir predator. Dalam kasus Dynastor, penampilan saja ternyata belum cukup. Saat ulat Dynastor siap bermetamorfosis, ia membuat kepompong panjang berwarna cokelat keemasan, lengkap dengan dua bercak hitam besar yang tampak seperti mata ular. Ilusi ini semakin kuat karena bagian depannya menonjol, menciptakan kesan moncong reptil yang siap menyerang. Menariknya, pengamatan terbaru yang dibagikan dalam video tahun 2021 di Why Evolution Is True menunjukkan bahwa kepompong ini bukan hanya menyerupai ular secara visual, tetapi juga bergerak cepat saat disentuh. Gerakan menggeliat ini membuatnya terlihat seolah-olah ular itu hidup dan bersiap menggigit, menciptakan efek kejutan yang sangat efektif bagi predator yang mendekat.
Ulat Dynastor memulai kehidupannya di sela-sela daun bromelia, tanaman epifit yang menyimpan air hujan di pangkal daunnya. Di tempat inilah mereka makan, tumbuh, dan akhirnya berubah menjadi kepompong yang luar biasa dramatis. Selama sekitar 13 hari, kepompong ini akan menggantung terbalik, menunggu saat yang tepat untuk menetas menjadi kupu-kupu dewasa. Bagi burung atau mamalia kecil, ilusi kepala ular itu sudah cukup untuk membuat mereka ragu, sehingga memberi Dynastor peluang bertahan hidup yang jauh lebih takhinggi. Para ahli serangga pertama kali mendokumentasikan keunikan kepompong Dynastor pada akhir 1970-an dalam studi klasik karya Aiello dan Silberglied. Meski hingga kini belum ada penelitian eksperimental berskala besar yang secara khusus menguji efektivitas taktik ini, banyak pengamat meyakini bahwa kombinasi bentuk, warna, dan gerakan menjadikannya salah satu peniru ular paling sukses di alam liar.
Dari Kepompong Teatrikal ke Kupu-Kupu Pemalu
Menariknya, strategi pertahanan Dynastor tidak hanya terjadi pada fase kepompong. Sebelum metamorfosis, ulatnya memiliki jurus lain yang tak kalah cerdik. Saat merasa terancam, ulat ini dapat menggembungkan bagian toraks (dada) untuk menciptakan ilusi ukuran lebih besar. Taktik sederhana ini cukup efektif membuat predator kecil berpikir dua kali sebelum menyerang. Strategi pertahanan bertingkat ini menunjukkan betapa pentingnya inovasi evolusi dalam kehidupan serangga tropis yang penuh kompetisi.
Setelah 13 hari menggantung dalam kepompong penuh drama, Dynastor dariius dariius akhirnya menetas menjadi kupu-kupu dewasa yang lebih sederhana. Sayapnya berwarna cokelat kusam dengan bintik mata samar yang membantu kamuflase di antara dedaunan. Berbeda dengan fase kepompongnya yang teatrikal, kupu-kupu dewasa justru pemalu dan jarang terlihat di ruang terbuka. Banyak peneliti menduga energi pertahanan utama mereka difokuskan pada masa kepompong yang rentan, ketika mobilitas terbatas dan penyamaran menjadi satu-satunya senjata.

Meski unik, Dynastor bukan satu-satunya serangga yang memanfaatkan ilusi ular. Ulat hawkmoth (Hemeroplanes triptolemus), misalnya, juga terkenal karena kemampuannya menggembungkan kepala dan leher saat terancam, menciptakan pola menyerupai ular lengkap dengan “mata” palsu. Namun, bedanya, hawkmoth menggunakan taktik ini dalam fase ulat aktif, sedangkan Dynastor mempertahankan ilusi tersebut dalam keadaan kepompong pasif. Inilah yang membuat Dynastor begitu istimewa: kombinasi penampilan statis dan gerakan menggeliat pada fase kepompong menjadi senjata pertahanan yang jarang ditemukan di dunia serangga.
Sebagai tambahan, banyak informasi yang beredar juga menekankan keunikan strategi pertahanan ini, yang sering membuat peneliti dan pengamat alam terpesona.

Mimikri Batesian menjadi salah satu tema paling memikat dalam biologi evolusi. Penelitian di berbagai spesies menunjukkan bahwa predator memiliki naluri menghindari pola tertentu yang diasosiasikan dengan bahaya, seperti kepala segitiga atau mata gelap. Meski belum ada studi formal yang mengukur efektivitas penyamaran kepompong Dynastor dalam menurunkan risiko dimangsa, banyak ahli percaya efek psikologis dari ilusi ini cukup kuat untuk menjadi pembeda antara hidup dan mati.
Kisah kupu-kupu peniru ular ini juga mengajarkan kita betapa kompleksnya interaksi antar makhluk hidup di alam liar. Dalam ekosistem hutan Amerika Selatan, setiap spesies harus berjuang dengan caranya sendiri—mulai dari racun, kamuflase, hingga ilusi optik yang cerdik. Evolusi bukan sekadar proses adaptasi, melainkan juga panggung drama yang mempertemukan kecerdikan dan ketakutan, dengan pemeran utama sekecil kepompong yang mampu membuat predator mundur ketakutan.
Sumber: mongabay.co.id
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom