Kesantunan Berbahasa Jurnalis Wujudkan Perdamaian Dunia
Membahas berbahasa tentunya tidak hanya terpaku pada lisan, namun juga ada tulisan bahkan isyarat. Sebab di kehidupan selaku mahkluk sosial dibutuhkan interaksi dalam membangun komunikasi dua arah.
Kebutuhan ini, menjadi faktor penting pula untuk mewujudkan perdamaian dunia. Tidak dapat kita menampik, dengan berinteraksi melalui komunikasi yang baik mampu menciptakan rasa saling mengerti, memahami secara mendalam setiap perbedaan dari masing-masing individu.
Robin Lakoff (1973) wanita kelahiran tahun 1942 di Brooklyn, New York dan dia seorang profesor emerita linguistik di Universitas California, Berkeley, dalam bukunya berjudul The Logic of Politeness: Minding Your P's and Q's menyatakan kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi dalam interaksi pribadi". Menurutnya, ada tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan kesantunan, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie).
Lebih lanjut diuraikannya bahwa Formalitas berarti jangan terdengar memaksa atau angkuh; Ketidaktegasan berarti berbuatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan; dan Kesamaan atau kesekawanan berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan mitra tutur menjadi sama.
Dari pernyataan Robin Lakoff, dapat kita tarik benang merahnya, berbahasa bukan hanya sebatas meluapkan keinginan dan hasrat satu sisi saja, kesetaraan, saling menghormati satu sama lainnya adalah hal penting yang diperhatikan, maka kejiwaan seorang individu jangan dilupakan, tidak terlihat namun menimbulkan efek dahsyat. Penting dan besarnya pengaruh kejiwaan dalam berbahasa, melahirkan keilmuan khusus yang disebut Psikologi Berbahasa atau Psikolinguistik.
Sementara itu, Seorang psikiater dan ahli saraf Amerika Serikat bernama Larry R. Squire, yang juga profesor psikiatri, ilmu saraf, dan psikologi di Universitas California, San Diego, dan Ilmuwan Karir Penelitian Senior di Veterans Affairs Medical Center, San Diego.
Dalam bukunya berjudul 'Encyclopedia of neuroscience' terbitan tahun 2009, menjelaskan bahwa Psikolinguistik merupakan disiplin ilmu yang mempersoalkan dan mendeskripsikan proses psikologis yang menjadikan manusia dapat memahami dan menggunakan bahasa.
Bidang psikolinguistik juga mengandalkan ilmu neurologi, terutama bagi pakar psikolinguistik yang juga mempelajari perbedaan jenis kelamin, afasia, bahasa setelah cedera bawaan atau didapat pada otak yang belum matang, serta gangguan perkembangan bahasa (disfasia).
Besarnya peran Bahasa, menjadikannya salah satu simbol suatu negara. Tak terkecuali di Indonesia, Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai sarana pemersatu berbagai suku bangsa dan sebagai sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
Kedudukan ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36). Kedudukan bahasa Indonesia resmi ditetapkan dalam konstitusi pada tanggal 18 Agustus 1945.
Jauh sebelum itu, pada 28 Oktober 1928, para peserta Kongres Pemuda II bersepakat merumuskan tiga janji yang salah satunya menegaskan Bahasa Indonesia ialah Bahasa persatuan, kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda.
Adapun isi Sumpah Pemuda adalah sebagai berikut:
Pertama, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kesantunan Berbahasa, Media dan Peran Wartawan/Jurnalis
A. Kesantunan Berbahasa
Pengertian kesantunan berbahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan kesantunan atau santun adalah halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan. Jadi kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekadar menyampaikan ide yang kita pikirkan.
Sedangkan, Kridalaksana, H (2008), seorang pakar sastra berkebangsaan Indonesia yang dikenal sebagai kritikus sastra, penulis yang karya-karyanya telah diterbitkan di sejumlah buku.
Pemilik nama lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Hubert Emmanuel Harimurti Kridalaksana Martanegara, dalam karyanya di Kamus Linguistik, bahwa kesantunan berbahasa adalah "Hal memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain dalam berbahasa"
B. Media
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) media/me·dia/ /média/ n 1 alat; 2 alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; 3 yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya)
Saat ini media tidak lagi terbatas koran, majalah, radio, televisi namun juga terdapat media siber yang berada di dunia internet. Bahkan media sosial yang juga bisa menjadi kendaraan dalam menyebar informasi, contohnya tidak sedikit akun seperti Youtube menyajikan informasi positif, edukasi dan hiburan.
Dikutip dari laman Populix, Media sosial atau sering juga disebut sebagai sosial media adalah pelantar digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berinteraksi atau membagikan konten berupa tulisan, foto, video, dan merupakan pelantar digital yang menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial bagi setiap penggunanya.
Dapatlah kita pahami bahwa berbahasa dan pola interaksi antar individu manusia, tidak hanya terbatas lisan, dalam konteks media lisan berupa televisi dan radio. Tapi juga tulisan dari pemberitaan koran dan sejenisnya, termasuklah pemanfaatan transformasi teknologi moderen seperti media siber.
Dan tidak hanya terbatas lisan atau tulisan, jika penggunaan isyarat juga bagian dari berbahasa, maka foto atau gambar termasuk didalamnya. Sebab ada pesan yang disampaikan dari foto dan televisi atau akun media sosial pun terkadang tanpa adanya lisan dan tulisan hanya lewat rekaman video sudah cukup dipahami.
C. Peran Wartawan/Jurnalis
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.
Wartawan, pewarta atau jurnalis (bahasa Inggris: journalist) adalah orang yang melakukan pekerjaan kewartawanan dan atau tugas-tugas jurnalistik secara rutin, atau dalam definisi lain, wartawan dapat dikatakan sebagai orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, baik dalam media cetak, media elektronik, maupun media online.
Blogger dan Konten Kreator, Vanya Karunia Mulia dalam tulisannya di laman kompas.com, Dikutip dari buku Mahir Menulis Fakta dan Opini (2014) oleh Eko Sugiarto, “tugas wartawan yang paling utama adalah mencari serta menyusun berita. Sebelum ditulis atau disusun, wartawan wajib mencari informasi yang mengandung nilai berita, sekaligus mengumpulkan berbagai fakta”.
Kandungan nilai berita menjadi perhatian lebih, karena disini letak seorang wartawan harus jeli dalam penyampaian informasi. Maka kesantunan berbahasa dengan melibatkan ilmu psikolinguistik sangat berperan.
Kesantunan berbahasa menjadi benteng paling akhir karena sudah pada proses akan penyajian. Pemilihan kata sangat penting yang tentunya menghindari kalimat bermakna ganda, sehingga tidak menimbulkan multitafsir bagi pembaca. Jika terjadi pemahaman negatif maka akan berakibat buruk di tengah-tengah Masyarakat.
Di Indonesia, hal ini sesungguhnya telah diatur dengan baik dalam Kode Etik Jurnalistik, kumpulan etika profesi yang mengatur perilaku wartawan dan media massa dalam menjalankan tugas jurnalistik. Kode etik dibuat untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik dalam memperoleh informasi yang benar.
Terdapat aturan yang tersirat tentang penggunaan Bahasa dalam pemberitaan, dalam Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di BAB I Pasal 2, bahwa Wartawan wajib mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik berupa tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar dengan tolak ukur: a) Berpotensi memicu kerusuhan sosial; b) Berpotensi membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
BAB I, Pasal 3, Wartawan tidak beriktikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, melakukan plagiat, berita bohong/hoaks, fitnah, cabul, dan sadis.
BAB II, Pasal 5, Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan daripada kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi.
Dari beberapa pasal Kode Etik Jurnalistik diatas, tentunya sangat tergambar bahwa pemilihan kata sangat penting, kesantunan berbahasa menjadi kunci akhir. Jika itu tidak diperhatikan dengan baik oleh Wartawan, maka informasi yang disampaikan dapat menjadi pemantik sebuah peristiwa negatif, kegaduhan di publik, hingga timbulnya konflik horizontal.
Contohnya, Ketika terjadi peristiwa seorang pemuda telah terbunuh di desa A karena menjadi korban kekerasan warga dari desa B. Wartawan tidak bisa langsung menyajikan tanpa memperhatikan pemilihan kata yang baik, hal itu bisa menyebabkan adanya aksi pembalasan kepada warga desa A. Maka kesantunan berbahasa teramat penting, dan menjadi perhatian penuh agar tidak menimbulkan konflik horizontal yang lebih besar.
Perbedaan sudut pandang setiap manusia tentunya dipengaruhi berbagai elemen lainnya, misalkan adat istiadat, budaya, suku, agama dan lainnya. Ini diperhatikan dengan baik, sehingga wartawan melalui tulisannya dapat menjaga keharmonisan kehidupan di dunia, yang secara tidak langsung mampu turut membangun perdamaian dunia.
Tantangan Wartawan/Jurnalis Dalam Mewujudkan Perdamaian
A. Ujaran Kebencian dan Berita Bohong
Berita yang dengan sengaja dibuat karena memiliki misi memecah belah rasa persaudaraan dan jalinan kebersamaan, haruslah menjadi perhatian bersama. Efek yang ditimbulkan bukan permasalahan sepele, terburuk mampu menciptakan medan perang, mampu menghancurkan suatu negara.
Mungkin ada sebagian pihak menganggap tidak akan sebesar itu akibatnya, semua kembali kepada penerima informasi. Namun, ujaran kebencian dan berita bohong acap kali dibungkus dengan kondisi terkini. Sehingga menciptakan rasa percaya, lantas disebarkan berulang-ulang oleh individu yang meyakini kebenarannya.
Profesor kelahiran Jakarta dan seorang guru besar bidang ilmu hukum pidana Universitas Pancasila, Manthovani, Reda (2019), menyebut Dalam arti hukum, ujaran kebencian adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku, pernyataan tersebut, atau korban dari tindakan tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Hoaks mengandung makna informasi atau berita bohong, berita tidak bersumber.
Lalu Silverman, jurnalis Kanada dan reporter di ProPublica yang juga pernah sebagai editor media BuzzFeed dan kepala divisi BuzzFeed di Kanada, tegas mengatakan hoaks sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran.
B. Berita Positif Lewat Karya Jurnalistik
Wartawan terkenal di Amerika Serikat yaitu Bill Kovach seorang wartawan, editor dan kurator berkebangsaan Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai salah satu penggagas prinsip-prinsip jurnalisme dalam penulisan berita
dan Tom Rosenstiel seorang penulis, jurnalis, kritikus pers, peneliti dan akademisi Amerika. Dia adalah Profesor Tamu Eleanor Merrill tentang Masa Depan Jurnalisme di Philip Merrill College of Journalism di Universitas Maryland
Dua tokoh wartawan tersebut, Tahun 2001 dalam bukunya berjudul The Elements of Journalism “Dengan mengedepankan penyajian yang akurat dan kontekstual, Jurnalis berharap dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya perdamaian dan pemahaman yang lebih baik di Masyarakat”.
Media di Indonesia punya peran dalam hal ini untuk meminimalisir, dengan berpegang pada Kode Etik Jurnalistik, berpegang kuat pada UUD 1945 dan Dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila.
Setiap karya jurnalistik, memiliki tahapan-tahapan yang jelas hingga disajikan kepada pembaca, sebab ada efek jangka panjang menjadi pertimbangan besar. Misalkan berita pertikaian antar kampung, jika tidak teliti tentunya dapat pemicu semakin membesarnya permasalahan. Lantas menggali secara mendalam ketika menjumpai berita bohong, ujaran kebencian, isu-isu miring dan lainnya yang dapat menimbulkan keresahan di Masyarakat luas.
Dengan berpegang pada kode etik, harus mampu menghindari yang bisa menyebabkan gesekan horizontal yang menyentuh inti sensitif yaitu menyinggung perbedaan suku, ras, agama dan adat istiadat. Sangatlah berbahaya bagi Indonesia yang memiliki keberagaman, dapat menjadi sebab perpecahan di tengah masyarakat, terburuk memecahbelah persatuan dan kesatuan (Nursal, Hendry. 2023)
Tantangan ini menjadi berat bagi pers di era digital, berhadapan langsung dengan Era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan digitalisasi media komunikasi dan segala aktivitas sosial yang terpusat di masyarakat.
Jika membendung, sangatlah tidak mungkin maka satu-satunya cara ialah membanjiri dunia internet dengan berita positif, menjawab lewat karya jurnalistik peristiwa-peristiwa yang menghebohkan masyarakat luas di media sosial, dengan akurasi, fakta, lugas serta professional, agar benar-benar teruji fakta bukan berita bohong dan ujaran kebencian.
Shapiro, I., Brin, C., Bedard-Brule, I. And Mychajlowycz, K. "Verification as a Strategic Ritual, How journalists retrospectively describe processes for ensuring accuracy Journalism Practice” Jurnalisme merupakan suatu kegiatan meliput, mengolah dan menyebarluaskan informasi secara akurat terhadap suatu kejadian untuk disebarluaskan kepada publik.
A. Nilai Berita Dipagari Kode Etik Jurnalistik
Seorang wartawan dalam menulis berita harus memenuhi kriteria 5W+1H (What, Who, When, Where, Why + How), dan itu tidak ditemui di media sosial secara umum.
Oleh karena itu, karena di media sosial setiap orang yang memiliki akses dapat membuat tulisan semaunya. Tanpa ada peran seorang redaktur layaknya media cetak atau online terverifikasi, yang telah melalui sebuah proses editing dan dimoderasi.
Sosok jurnalis dan guru, yang pernah bekerja antara lain untuk Honolulu Star Bulletin, Detroit News, dan The American Boy, Bernama Mitchell V. Charnley dalam bukunya Reporting edisi III menyebut bahwa berita sebagai suatu laporan yang tepat waktu mengenai fakta serta opini yang memiliki daya tarik atau hal penting di antara kedua-duanya bagi masyarakat luas.
Berita memiliki pula jenis-jenis, yaitu Berita Langsung, Berita Mendalam, Berita Interpretatif, Berita Ivestigasi, Opini serta lainnya. Juga adanya gaya penulisan, seperti Berita Framing dan Berita Satire.
Berita Framing atau Analisis bingkai dikutip dari Sobur. Alex. dalam bukunya "Analisis Teks Media" (terkadang disebut juga analisis pembingkaian atau analisis framing) adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotika. Secara sederhana, pembingkaian (framing) adalah membingkai sebuah peristiwa, atau dengan kata lain pembingkaian digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan atau media massa ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Sementara itu, dikutip dari laman Wikipedia berita Satire disebut juga berita sindiran atau berita komedi adalah jenis parodi yang disajikan dalam format khas jurnalisme arus utama, dan disebut sindiran karena isinya. Berita sindiran telah ada hampir sejak jurnalisme itu sendiri, tetapi satire berita sangat populer di web, dengan situs web seperti The Onion dan The Babylon Bee, yang relatif mudah untuk meniru situs berita yang sah. Satir berita sangat bergantung pada ironi dan humor datar.
Penulis menyimpulkan semua jenis berita memiliki nilai bagi pembaca, baik itu informasi, edukasi, juga hiburan selama itu bukan berita palsu dan sengaja dibuat untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Bahkan gaya penulisan dapat memberikan pengalaman berbeda bagi pembaca dalam melihat situasi tertentu melalui tulisan. Framing dan Satire sering menjadi cara penulis dalam menyajikan informasi untuk meminimalisir pergolakan maupun perdebatan.
Nilai itu tak akan menjadi karya yang profesional dan dapat dipertanggungjawabkan jika tidak mentaati Kode Etik Jurnalistik. Walaupun tulisan berupa opini, tetap saja harus diperkaya dengan sumber serta referensi dari para ahli.
Penting diingat bagi seorang wartawan, tidak hanya terjebak menguasai nilai berita jurnalistik untuk dapat menghasilkan berita yang berkualitas baik untuk media cetak maupun media elektronik, seperti Aktualitas, Kedekatan, Keterkenalan, Dampak, Human Interest, Konflik, Seks, Pengaruh dan Penting. Tetapi mengedepankan Kode Etik Jurnalistik sehingga tersaji profesional.
Maka ada strategi setiap masing-masing wartawan tanpa menghilang gaya penulisannya dalam menyajikan peristiwa perundungan, berupa edukasi bagi semua elemen masyarakat agar dapat mencegah bukan hanya mejejerkan mukanya, atau memberikan panggung bagi pelaku.
B. Utamakan Nilai dan Menempatkan ‘RASA’ Dalam Berita
Nilai berita titik utama, sehingga menimbulkan bias atau ambigu pemahaman bagi pembaca. Penulis menyebut ‘Rasa’ dalam berita, ini menjadi bagian penting perjalanan karir selama menggeluti profesi sebagai wartawan.
Sebuah berita tidak bisa mengesampingkan rasa, seperti contoh diatas terkait berita pertikaian antar kampung. Tidak hanya bicara logika tetapi juga Melibatkan hati dan perasaan, melalui pemilihan kata dan penempatan kata sebagai bentuk kesantunan berbahasa seorang wartawan/jurnalis.
Mungkin umum disebut efek jangka panjang, padahal jangka pendek juga di depan mata. Kalau penulis menyebutnya rasa yang menempatkan diri pada posisi dua belah pihak. Dengan cara memperhatikan unsur-unsur eksternal, seperti Suku, Agama, Ras, dan Adat Istiadat. Perhatian itu juga menjadikan lebih jauh perhatian terhadap strategi penyajian berita.
Kebiasaan di suatu daerah atau suatu negara sangat berpengaruh, pola hidup dan standar kesantunan berbahasa turut menjadi pembeda. Inilah nilai serta rasa yang dimaksud penulis, sebagai cara dan benteng dalam mencegah berita bohong demi terwujudnya perdamaian dunia.
Pertama, berada di Tengah-tengah. Tentunya ada kemarahan, emosi, dendam dan dorongan ingin membalas dengan kondisi yang sama. Maka tulisan jangan tersirat kemurkaan, menyudutkan tanpa menggali lebih jauh.
Kedua, jauhi pihak berambisi pribadi. Maka akan menjadi pembenaran atas apa yang dilakukan.
Ketiga, disisi pribadi. Sangat manusiawi juga turut merasakan kepedihan, adanya timbul ketakutan jika korban adalah keluarga sendiri. Maka sentimentil sangat terasa pada karya yang dihasilkan.
Keempat, jangan kepentingan bisnis. Menyajikan berita semaksimal mungkin yang dapat segera dibaca, merayu pembaca, dan menyejukkan dengan Solusi-solusi.
Melepaskan itu bukan perkara mudah, tidak pula ada teori yang ditemukan penulis. Hanya saja penulis, mengasahnya dengan cara menanamkan rasa kemanusiaan, mengedepankan empati, memupuk pikiran setiap orang memiliki hak meskipun dia bersalah atau terbukti sah secara hukum bersalah.
Semua lebih pada menjaga supaya tidak cepatnya publik mengambil benang merah dari peristiwa. Bukankah praduga tak bersalah harus dikedepankan di mata hukum?
Sesungguhnya sadar ataupun tidak, banyak sekali tulisan atau berita menghancurkan kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang, dengan kata lain tidak memihak, berpegang pada tenggang rasa dan toleransi.
Inilah mengapa dibutuhkan Rasa Dalam Berita, sehingga tidak serta merta mengejar kecepatan. Penulis juga tidak mengesampingkan setiap media punya visi dan misi tersendiri dan wartawan memiliki pola khas masing-masing. Wartawan biasanya terikat dengan aturan dan ketentuan ditempatnya bekerja, bagian ini penulis tentu tak bisa berpendapat.
Persaudaraan Harus Terus Dipupuk Media
Kesantunan berbahasa harusnya menjadi perhatian penting bagi wartawan/jurnalis, mengingat kata-kata yang disajikan dan dibaca oleh Masyarakat luas memiliki kekuatan tersendiri.
Sesuai fokus makalah ini mengenai kesantunan berbahasa jurnalis wujudkan perdamaian dunia. Maka pribadi wartawan harus mampu menghadirkan berita positif dibalik peristiwa tragis bersamaan dengan derasnya informasi yang belum tentu benar dari media sosial.
Meskipun berat dan di rasa hampir mustahil, minimal berita positif dapat bersanding dan menjadi pembanding. Walaupun media sosial mennyajikan Audio Visual, berita di media massa tetap memiliki tempat dihati siapapun. Jika menilik media siber ataupun koran, penulis masih tetap meyakini bahwa teks atau tulisan memiliki kekuatan tersendiri untuk menggugah pikiran setiap manusia.
Paling tidak, Media tidak menjadi penyebat pertikaian horizontal di Masyarakat luas. Penulis berpikir Nilai berita dipagari Kode etik jurnalistik sudah cukup menjadi benteng yang besar, ditambah kedepankan nilai dan Rasa dalam Berita.
Rasa dalam segala hal, termasuk rasa persaudaraan harus terus dipupuk, dijaga agar bangunannya tetap kokoh melalui tulisan berita yang disajikan kepada masyarakat luas. (*/)
*Penulis: Pemimpin Redaksi bicarajambi.com dan Publicity Ambassador HWPL Of South Korea perwakilan Indonesia
.....
Referensi:
- Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.a
- Kamus versi online/daring (dalam jaringan) https://kbbi.web.id/media
- Kridalaksana, H. (2008), Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
- Larry R. Squire. “Encyclopedia of neuroscience “ [Amsterdam]: Elsevier. 2009.
- Nursal, Hendry. (2023), Makalah "Membangun Rasa Persaudaraan dan Kontribusi Jurnalis Perdamaian Mencegah Perundungan" https://www.magp.org/courses-1 Diakses tanggal 13 Juli 2024
- Manthovani, Reda (31 Mei 2019). "meluruskan istilah kritik fitnah dan ujaran kebencian". Hukum Online. Diakses tanggal 13 Juli 2024.
- Mitchell V. Charnley dalam bukunya Reporting edisi III (Holt-Rinehart & Winston, New York, 1975 halaman 44) https://www.gramedia.com/ Diakses tanggal 13 Juli 2024
- Populix (2021-09-18). "Media Sosial Adalah: Contoh hingga Manfaatnya bagi Pebisnis". Populix. https://www.info.populix.co/articles/media-sosial-adalah Diakses tanggal 13 Juli 2024
- Silverman, Craig. (2015).Journalism: A Tow/Knight Report."Lies, Damn Lies, and Viral Content". Columbia Journalism Review (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 13 Juli 2024.
- Schivinski, Bruno; Brzozowska-Woś, Magdalena; Stansbury, Ellena; Satel, Jason; Montag, Christian; Pontes, Halley M. (2020). "Exploring the Role of Social Media Use Motives, Psychological Well-Being, Self-Esteem, and Affect in Problematic Social Media Use.
- Sobur. Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya
- Shapiro, I., Brin, C., Bedard-Brule, I. And Mychajlowycz, K. Verification as a Strategic Ritual, How journalists retrospectively describe processes for ensuring accuracy. Journalism Practice, 7(6), 2013. 657–673. https://doi.org/10.1080/17512786.2013.765638.
- Vanya Karunia Mulia "Tugas dan Peran Wartawan", https://www.kompas.com/skola/read/2023/02/02/110000669/tugas-dan-peran-wartawan?page=all Diakses Tanggal 13 Juli 2024
- Wikipedia "News satire" https://en.wikipedia.org/wiki/News_satire diakses tanggal 13 Juli 2024
- Wijayanti, Sri. "Arti kata Hoax - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online". www.kbbionline.com Diakses tanggal 13 Juli 2024
...
Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN
Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com