Tuesday, August 5, 2025

Membaca Antologi Cerpen "Jubah Bapak" Karya Yanto Bule dengan Pendekatan Psikologi Ketidaksadaran Carl Gustav Jung


Pendahuluan


Antologi cerpen Jubah Bapak karya Yanto Bule bukan hanya kumpulan cerita pendek tentang kehidupan rakyat kecil di Jambi, melainkan sebuah konstruksi batiniah yang menggambarkan perjalanan psikologis yang kompleks. Latar belakang penulis sebagai anak seorang Babinsa di lingkungan transmigrasi, serta pengalamannya sebagai wartawan di daerah dengan intensitas sosial dan militer yang tinggi, menjadikan karya ini kaya akan simbol, trauma, dan pencarian identitas. Melalui pendekatan Psikologi Analitik Carl Gustav Jung—khususnya teori arketipe dan gejala neurotik—kita dapat menelusuri dinamika kejiwaan yang beroperasi dalam karya ini: mulai dari bayangan figur ayah, luka masa kecil, hingga transformasi batiniah yang perlahan mengarah pada proses individuasi.


Pembahasan


Latar Psikobiografis Pengarang dan Relevansi Jungian


Yanto Bule dibesarkan di kawasan transmigrasi yang keras di pedalaman Jambi, sebuah ruang liminal yang menjadi tempat benturan antara impian dan kenyataan. Ayahnya, seorang Babinsa (Bintara Pembina Desa), adalah representasi dari institusi militer Orde Baru yang kuat, terstruktur, dan penuh disiplin. Figur ayah dalam kehidupan penulis merupakan simbol dominasi sistem dan nilai-nilai kolektif. Sebaliknya, kehidupan masyarakat yang ia saksikan sebagai wartawan—rakyat miskin, manipulasi politik, trauma kolektif—memberinya jarak kritis terhadap struktur kekuasaan yang pernah membentuknya. Konstelasi inilah yang menjadikan pendekatan Jungian sangat relevan: pengalaman masa kecil dan lingkungan sosial membentuk cetakan psikis yang terus muncul sebagai simbol dan konflik dalam teks.


Pemetaan simbol purba (Arkhetipe secara umum) dalam Antologi


Setiap cerpen dalam Jubah Bapak mengandung struktur simbolik dan ketegangan batin yang merefleksikan konflik antara kesadaran dan ketidaksadaran. Simbol-simbol seperti jubah, pikulan, jimat, dan aroma kembang menjadi pintu menuju lapisan arketipal dan menyimpan gejala-gejala psikis yang belum terselesaikan.


Sertu Turut


Arketipe: Father-Commander, Gejala Neurotik: Ego tunduk total pada sistem, menghapus dilema etis Analisis Mendalam meliputi, Tokoh Sertu Turut mewakili internalisasi mutlak terhadap otoritas ayah-militer. Ini adalah manifestasi dari persona yang terbentuk dalam tekanan, mengorbankan otonomi demi ketertiban. Ketegangan batin muncul saat perintah tak sejalan dengan nurani, namun tetap dituruti.


Sembako Pemilu


Arketipe: Trickster Politik Gejala Neurotik: Kecemasan rakyat atas kepalsuan dan pengkhianatan Analisis Mendalam: Manipulasi sembako adalah bentuk relasi eksploitatif. Dalam pendekatan Jung, ini bisa dibaca sebagai bayangan (shadow) dari sistem demokrasi yang kehilangan spiritualitas dan kejujuran.


Lantak Seribu


Arketipe: Hero dan Pencipta Dunia Baru, Gejala Neurotik: Alienasi dan kehilangan akar Analisis Mendalam: Transmigran dalam cerita ini menghadapi kekosongan identitas. Hutan yang dibuka adalah simbol ketidaksadaran yang dijinakkan. Tapi jiwa mereka masih terombang dalam pencarian makna.


Ublik Ari-Ari


Arketipe: Mother Earth dan Sacred Bond Gejala Neurotik: Ketegangan antara rasionalitas dan spiritualitas Analisis Mendalam: Ari-ari sebagai objek mistik mengandung nilai psikis dari ikatan primal. Konflik muncul saat nalar modern mempertanyakan mitos, padahal ketenangan jiwa lahir dari penerimaan akan asal-usul.


Jimat Ki Jarot


Arketipe: Wise Old Man dan Transformator Gejala Neurotik: Kebutuhan akan kekuatan eksternal untuk memperoleh rasa percaya diri Analisis Mendalam: Jimat adalah jembatan simbolik antara kepercayaan dan tindakan etis. Sukma bukan berubah karena kekuatan gaib, melainkan karena ia mulai menjalani syarat-syarat moral yang mengaktifkan kekuatan batinnya sendiri.


Lik Jiem


Arketipe: Guardian Father Gejala Neurotik: Kekosongan paternal yang empatik Analisis Mendalam: Kehadiran Lik Jiem adalah respons atas luka batin dari figur ayah yang dingin dan otoritatif. Ia menjadi proyeksi penyembuhan.


Kembang Telon


Arketipe: Nurturing Mother Gejala Neurotik: Trauma kehilangan dan nostalgia masa kecil Analisis Mendalam: Aroma kembang menjadi pemantik bawah sadar untuk mengenang kenyamanan dan kedamaian. Ia menjadi simbol regresi yang sehat untuk mengobati luka kehilangan.


Jubah Bapak


Arketipe: Legacy Persona Gejala Neurotik: Identifikasi ekstrem terhadap figur ayah Analisis Mendalam: Jubah menjadi simbol beban dan harga diri. Ketika tokoh tak mampu melepasnya, ia belum menyelesaikan proses individuasi. Ia masih dalam bayang-bayang persona ayahnya.


Pikulan Kaji Sirad


Arketipe: The Burden Bearer Gejala Neurotik: Rasa takut gagal meneruskan nilai orang tua


Analisis Mendalam: Pikulan bukan sekadar alat, tapi lambang pengabdian dan nilai hidup. Beban itu kini ada di pundak generasi baru yang tengah mencari jalannya sendiri.


Pulanglah Ibu 


Arketipe: Anima dan Rumah Rohani Gejala Neurotik: Duka eksistensial dan kesepian


Analisis Mendalam: Pulang adalah simbol integrasi. Ibu adalah sisi feminin jiwa laki-laki yang sering ditekan dalam kultur militeristik. Tokoh dalam cerpen ini tengah berusaha menyatu dengan anima-nya.


Cinta dalam Semangkuk Seblak


Arketipe: Innocent Love dan Gateway to Individuation Gejala Neurotik: Ambivalensi cinta dan rasa takut ditinggalkan.Analisis Mendalam: Cinta remaja adalah wilayah eksperimen psikis. Makanan (seblak) menjadi lambang sensualitas dan keintiman awal yang membentuk pemahaman akan diri dan relasi.


Feanomena Sastra sebagai Peta Psikis dan Proses Individuasi 

Kental sekali reprentasi tentang pengalaman kerinduan yang secara ak sadar bangkit. 


Jubah Bapak adalah narasi kejiwaan yang menggambarkan bagaimana trauma, figur orang tua ketergantunga psikis, dan cinta membentuk kompleksitas batin manusia. Dalam kerangka psikologi Jungian, cerpen-cerpen ini adalah peta proses individuasi Yanto Bule sebagai pribadi yang lahir dari kultur militer dan sosial rakyat kecil. Ia mengalami pertarungan internal antara disiplin dan empati, antara struktur dan kelembutan, antara persona dan shadow, antara dunia lama dan dunia yang sedang tumbuh dalam dirinya.


Melalui simbo-simbol ketidaksadaran atau  arketipe, Yanto Bule  tidak hanya menulis dunia luar, tetapi menyuratkan peta batin yang menghubungkan trauma personal, dan spiritualitas lokal. Ia mengajak pembaca menyelam ke dalam diri mereka masing-masing—melihat jubah ayah dalam diri mereka, memikul warisan, mencium wangi ibu, dan pada akhirnya, menemukan cinta yang mengubah segalanya.


Inilah kekuatan karya sastra yang lahir dari pengalaman psikis yang mendalam: ia menyembuhkan, bukan hanya menceritakan. Ia mempresentasikan diri sebagai inspirasi bagi orang lain untuk bangkit dari keruntuhan seperti dirinya yang telah  berhasil melewati masa yag ia ceritakan dalam novel-novelnya.


Tentang C.G. Jung dan Karya-Karya Yanto Bule


Bicara tentag Carl Gustav Jung,ia adalah  seorang psikolog Swiss, mengembangkan teori bahwa jiwa manusia terbentuk dari kesadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif. Dalam ketidaksadaran kolektif ini terdapat arketipe, yaitu pola-pola dasar universal yang hadir dalam mimpi, mitos, dan karya sastra. Bila dicermati lebih dalam Karya Yanto Bule, khususnya dalam cerpen-cerpen Jubah Bapak, dapat dibaca sebagai cerminan dari pergulatan jiwa manusia melalui simbol-simbol khas yang merepresentasikan trauma, relasi kuasa, dan pencarian spiritualitas.


Ini dapat dilihat pada Simbol purba atau arkhetipe yang hadir. Paling jelas ada pada idiom Jubah Bapak. Disini terlihat  Simbol Persona dan Bayangan (Shadow) Jubah ayah dalam cerpen menjadi simbol persona, yaitu "topeng sosial" yang diwariskan dari ayah sebagai institusi patriarki dan kemasyrakatan yang kental sebuah symbol ketergantungan pikis tak disadari,Jubah ini juga menyimpan bayangan (shadow): sisi gelap dari dari ketertekanan seorang anak yang didik dengan disiplin dan ketat., represi, bahkan kekerasan simbolik. Sebagai anak dari seorang Babinsa—bagian dari sistem militer Orde Baru—tokoh-tokoh dalam cerpen mewarisi bukan hanya status, tetapi juga luka dan ketakutan kolektif.


Prespektif Analisis Jungian terlihat pada Persona yang  adalah bentuk adaptasi terhadap dunia luar, namun jika terlalu kaku, akan menindas kepribadian sejati. Jubah dalam hal ini adalah simbol dual: perlindungan sekaligus beban psikis.


Selanjutnya Arkhetpie atas kehilanga jelas pada penggambaran Wangi Ibu di cerpen Yanto Bule yang lain, disini muncul Simbol Anima dan Kebutuhan Reintegrasi Jiwa. Wangi ibu yang kerap muncul dalam beberapa cerpen Yanyo Bule  adalah bentuk manifestasi dari anima, yakni unsur feminin dalam jiwa laki-laki. Anima membawa perasaan, intuisi, dan penghubung dengan kedalaman spiritual. Wangi ini sering hadir dalam momen sunyi atau keterasingan, sebagai tanda panggilan untuk menyatu kembali dengan aspek jiwa yang hilang atau terluka.


Prespektif Analisis Jungian terhadap keyataan ini diwujudkan dalam penggambaran  Ketidakhadiran ibu secara fisik digantikan oleh kehadiran simboliknya melalui aroma, menunjukkan kerinduan bawah sadar akan kasih, pengasuhan, dan pemulihan. 


Di dalam beberapa cerpen di antologi ini tampak jelas unsur Trauma Psikis dan Relasi Kuasa Cerpen-cerpen Yanto Bule sering menampilkan tokoh yang hidup di bawah bayang-bayang trauma sejarah dan kekuasaan militer. Trauma ini tidak hanya personal, tetapi bersifat struktural dan transgenerasional. 


Dalam kerangka Jung, trauma itu terpendam dalam ketidaksadaran personal dan bisa menjadi neurotik bila tak tersadari.


Contohnya adalah tokoh anak Babinsa yang merasa harus menjadi kuat dan disiplin namun merasa terasing dari perasaannya sendiri. Ini adalah konflik antara ego dan bayangan, antara tuntutan sistem dan keutuhan pribadi. 


Selanjutnya ada Spiritualitas Lokal dan Proses Individuasi. Yanto Bule memperlihatkan bagaimana tokoh-tokohnya mengalami transformasi saat bersentuhan dengan alam, ritual lokal, atau pengalaman spiritual yang tidak rasional. Dalam konsep Jung, ini adalah bagian dari proses individuasi, yaitu perjalanan menuju penyatuan seluruh aspek jiwa—baik sadar maupun tak sadar.


Dalam beberapa cerita, kesadaran baru tokoh tidak datang dari kota atau sistem pendidikan formal, tetapi dari kebijaksanaan lokal: cerita rakyat, mimpi, atau pengalaman mistik. Hal ini menunjukkan pertemuan antara archetypal Self dan jiwa kolektif budaya.


Ini adalah sebuah Cermin Psikis pengarang,  dalam antolologinya Yanto Bule tidak sekadar mencatat realitas sosial-politik, tetapi menghidupkannya kembali sebagai peta batin melalui simbol-simbol yang penuh makna. Ia membawa pembaca menelusuri ketidaksadaran mereka sendiri—menghadapi bayangan mereka, menerima warisan simbolik orang tua, dan pada akhirnya menyentuh spiritualitas sebagai bagian dari penyembuhan dan integrasi diri.


Kesimpulan

Melalui simbol dan arketipe, karya sastra Yanto Bule khususnya dalam Jubah Bapak dan cerpen-cerpen lainnya memperlihatkan bagaimana teks sastra tidak hanya merekam realitas luar (politik, militerisme, sosial), tetapi juga menyingkap peta batin manusia. Simbol seperti jubah ayah dan wangi ibu memancarkan dinamika ketidaksadaran dalam diri tokoh, yang mencerminkan relasi antara trauma personal dan struktur sosial yang lebih luas.


Pendekatan psikologi analitis Carl Gustav Jung memungkinkan pembacaan yang lebih dalam, di mana persona, bayangan (shadow), anima, dan proses individuasi hadir sebagai alat analisis untuk menjelaskan gejala-gejala psikis tokoh-tokohnya. Dalam dunia simbolik itu, spiritualitas lokal menjadi wahana penting menuju penyembuhan jiwa yang terpecah, menawarkan jalan keluar dari luka sejarah dan tekanan kekuasaan struktural.


Implikasi


Bagi Kajian Sastra:

Analisis ini menunjukkan pentingnya pendekatan psikologi dalam memahami karya sastra yang tidak eksplisit berbicara soal psikologi, tetapi menyimpan dinamika batin yang kompleks. Jung memberi kerangka bagi pembacaan simbolis atas trauma dan pencarian jati diri dalam konteks pasca-Orde Baru.


Bagi Dunia Pendidikan dan Psikologi Budaya:


Karya Yanto Bule memberi sumbangan pada pemahaman bagaimana struktur kekuasaan (seperti militer dan negara) berpengaruh terhadap pembentukan psikologis generasi muda dalam keluarga dan masyarakat. Ini memberi peluang bagi pendekatan interdisipliner antara pendidikan, sastra, dan psikologi budaya.


Bagi Proses Terapi dan Kesadaran Psikososial:


Simbol-simbol dalam cerita menunjukkan bahwa penyembuhan trauma bisa dimulai dari kesadaran akan bayangan diri dan rekonsiliasi dengan sisi feminim (anima), serta keterbukaan terhadap spiritualitas lokal. Ini bisa menjadi model metaforis bagi praktik penyembuhan trauma sosial dan personal.


Saran


Perluasan Kajian Psikoanalitik Sastra Lokal:

Peneliti dan akademisi perlu memperluas penggunaan pendekatan Jungian dalam menganalisis sastra-sastra daerah yang sering memuat spiritualitas, mitos, dan simbolisme lokal sebagai ekspresi bawah sadar kolektif.


Pengembangan Modul Pendidikan Sastra dengan Pendekatan Psikologi:

Institusi pendidikan dapat merancang kurikulum yang mempertemukan kajian sastra dengan psikologi Jung, khususnya untuk memahami dinamika jiwa kolektif, trauma sejarah, dan proses penyembuhan dalam konteks budaya lokal Indonesia.


Dialog antara Sastrawan dan Psikolog:

Diperlukan ruang kolaboratif antara penulis sastra dan psikolog untuk menggali potensi sastra sebagai media terapi, khususnya dalam konteks masyarakat pasca-konflik atau yang menghadapi represi sejarah berkepanjangan.


Referensi

Jung, C. G. (1964). Man and His Symbols. New York: Dell Publishing.

Jung, C. G. (1953). Psychology and Alchemy. Princeton University Press.

Hall, Calvin S., & Nordby, Vernon J. (1973). A Primer of Jungian Psychology. New American Library.




Penulis Wiko Antoni 

Penggiat dan pemerhati sastra , teater dan pendidik di universitas Merangin kini tinggal di Merangin




Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com