Masa Gema; Membaca Kita dari Festival Teater Remaja Taman Budaya Jambi 2025
Oleh Ady Santoso
Penyelenggaraan
Festival Teater Remaja Taman Budaya Jambi tahun 2025 telah berakhir dan menghadirkan
pengalaman artistik yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pemilihan format
teater tunggal atau monolog sebagai bentuk penyajian pertunjukan teater telah
membuka kesempatan bagi para peserta untuk menguji kemampuan individual mereka
dalam membangun karakter, menghidupkan cerita, dan menghadirkan dunia dramatik
melalui kekuatan tubuh, suara, dan imajinasi.
Monolog,
sejak awal memang genre teater yang meminta dan menuntut lebih banyak dari
kemampuan aktor. Ia menuntut tidak hanya kecakapan, tetapi juga keberanian
untuk berdiri sendirian, memikul keseluruhan dunia dramatik di atas bahu
individu. Ia memaksa aktor untuk mengenali dirinya sebagai pusat gravitasi,
sebagai sumber tunggal energi panggung.
Sehingga
ketika format ini dtetapkan kemudian diberikan kepada para remaja, yang
sebagian besar mungkin para pesertanya baru mengenal disiplin teater secara
lebih serius, maka format bentuk festival teater tahun ini sesungguhnya sedang
membuka ujian yang tidak main-main. Itulah yang kemudian secara artistik,
format monolog membuka peluang besar untuk menyelami kedalaman karakter dan
kemampuan akting individual.
Dari
situlah monolog yang baik semestinya menghadirkan dinamika internal, bukan
sekadar menumpuk narasi, atau melontarkan teks teks naskah kepada penonton
semata, dimana aktor bukan hanya “menceritakan” namun juga menghadirkan
perubahan ritme, emosi, dan gestur tubuh secara efisien. Karena secara
artistik, format monolog membuka peluang besar untuk menyelami kedalaman
karakter dan kemampuan akting individual. Aktor berdiri sendirian di panggung,
tanpa lawan main yang bisa menjadi tumpuan energi.
Namun
format penyajian teater yang berbeda tahun ini menjadi nilai pengalaman
artistik yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Festival tahun ini ini layak
dibaca lebih jauh: apakah ia menjadi ruang yang mendampingi remaja menghadapi
ujian itu, atau justru membiarkan mereka memasuki panggung tanpa bekal yang memadai?
Membaca gema dari Festival Teater Remaja Taman Budaya Jambi tahun 2025 menjadi
awal pembuka refleksi yang coba saya tuangkan, berdasarkan apa yang saya
rasakan terhadap atmosfer pelaksaan festival tahun ini.
Gema
Para Remaja
Tahun
ini, panggung Teater Arena Taman Budaya Jambi dipenuhi oleh energi-energi muda
yang ingin menyampaikan sesuatu. Banyak aktor\aktris remaja yang datang dan
berupaya membawa kegelisahan dari apa yang coba mereka tawarkan dari
ketentuan-ketentuan petunjuk teknis perlombaan. Mereka juga datang dengan kisah-kisah
lokal yang mereka coba hidupkan ulang, luka yang diwariskan keluarga, keresahan
sosial yang mereka serap dari sekitar, hingga mencoba menbangun atas masa depan
Melihat
para remaja itu berdiri di panggung, menghafal luka, membangun dunia dari
kata-kata, dan saya menyadari bahwa mereka tidaklah kekurangan keberanian.,
namun yang mereka butuhkan adalah keberlanjutan pemberdayaan kesenian. Mereka
membutuhkan festival yang bukan hanya memberi panggung, tetapi juga memberi
arah, memberi bekal, dan memberikan apresiasi selebar-lebarnya dari upaya yang
telah mereka coba tawarkan.
Gelaran festival
tahun ini telah menampilkan 65 peserta, yang terbagi menjadi dua kategori,
yakni kategori pelajar dan kategori umum/mahasiswa. Dimana dari ketagori
pelajar sebanyak dari 25 sekolah baik tingkat Sekolah Menengah Atas se-derajat
(SMA, SMK, MA) dan Sekolah Menengah Pertama se-derajat (SMP, MTS) terdaftar
sebagai peserta festival teater monolog tahun ini. Sedangkan untuk kategori
umum terdapat 24 peserta, yang terdiri dari sanggar seni teater umum, dan
sanggar seni yang terdapat di perguruan tinggi.
Para
peserta tersebut nampak telah berupaya untuk menyajikan suguhan terbaiknya,
dimana hal tersebut nampak terlihat dalam aspek artistik, bahwa banyak peserta
berani mengeksplorasi naskah-naskah yang telah ditetapkan untuk didekatkan
dengan kehidupan mereka. Beberapa penampilan menunjukkan penguasaan vokal yang
baik serta kemampuan menghadirkan atmosfer hanya dengan perubahan intensitas
dan ritme suara. Namun demikian, masih terlihat kecenderungan peserta untuk
bergantung pada narasi yang terlalu banyak menceritakan ketimbang
memperlihatkan kedalaman.
Struktur
dramaturgi monolog, seharusnya bergerak mengikuti dinamika konflik,
pengembangan karakter, hingga puncak dramatik. Dan hal tersebjt masih minim sepenuhnya
dikuasai secara merata dari para peserta. Hal ini menandakan bahwa pendampingan
dramaturgis sangat dibutuhkan sebelum festival berlangsung. Dan di dalam
ketidakmerataan itulah, kita menemukan kesempatan untuk memperbaiki gema
ekosistem teater remaja di Provinsi Jambi.
Kita
Membaca Masa
Festival
Teater Remaja Taman Budaya Jambi 2025 telah memberikan banyak hal, gemanya
telah mencatat yang tak terucap. Namun bukan berarti tidak meninggalkan
catatan, justru tinggalan catatan itulah yang menjadi upaya untuk perbaikan
kedepan. Karena di setiap festival seni, selalu ada dua panggung yang bekerja
bersamaan, panggung yang dilihat publik, dan panggung yang hanya bisa ditangkap
oleh mata yang bersedia menunggu.
Panggung
yang pertama menampilkan aktor, setting, lampu, dan tepuk tangan. Sementara panggung
yang kedua memperlihatkan kerja dalam kesiapan organisasi, seperti lubang-lubang
teknis, ritme komunikasi, serta segala hal yang tertinggal di balik tirai
festival seni. Kedua panggung tersebut begitu nampak dalam penyelenggaran
festival tahun ini, yang tampak, dan yang tak terucap, yang gemerlap, dan yang
terabaikan.
Memang
tak bisa dipungkiri, bahwa kehadiran Festival Teater Remaja Taman Budaya Jambi
tahun 2025 telah memberikan ruang kreatif yang penting bagi para remaja untuk
mengekspresikan diri melalui seni monolog. Namun, pelaksanaan tahun ini juga
menegaskan bahwa peningkatan kualitas tidak hanya bergantung pada peserta,
tetapi juga pada sistem pendampingan, dukungan teknis, manajemen organisasi,
serta keberlanjutan program.
Dengan
perbaikan pada aspek-aspek tersebutlah, kita hendaknya mulai mempersiapkan
dengan strategi dini untuk pelaksaan tahun depan, mulai dari adanya pelatihan
pra-festival, penataan teknis, penyempurnaan mekanisme penjurian, hingga
penguatan kerja sama eksternal. Sehingga festival ini berpotensi berkembang
menjadi ruang inkubasi talenta muda yang lebih kokoh dan berpengaruh, yang
diharapkan bukan hanya di berprestasi di tingkat Provinsi Jambi, tetapi dapat
berlanjut di tingkat nasional.
Kemudian
kitalah yang harus membaca, bahwa dari festival tahun ini, telah tercatat dapat
menghadirkan ribuan penonton yang setiap pertunjukannya selalu ramai dihadiri
para apresiator. Namun kita juga harus melihat, bahwa secara kualitas hubungan
antara festival dan publik masih lemah. Kita perlu untuk membuka pintu untuk
menjalin kerjasama dengan pihak terkait seperti pihak Dinas Pendidikan Tingkat
Provinsi ataupun tingkat Kabupaten\Kota.
Selain
hal memperkuat kerjasama, kiranya kita perlu untuk menghadirkan program
pendukung festival seperti diskusi karya, edukasi penonton, atau sesi pertemuan
dengan para aktor, sehingga membuat festival terasa bukan hanya sekadar
pertunjukan, melainkan peristiwa pembangunan kesenian yang berkelanjutan. Hal
ini penting, karena melihat potensi itu ada, sangat besar, dan mendesak untuk segera
dirumuskan dan dimanfaatkan pada masa depan.
Pada
akhirnya,kita membaca masa, adalah upaya untuk mengemakan budaya teater di
Provinsi Jambi. Sehingga melalui festival ini, yang tumbuh inilah ekosistem
budaya teater, yang dengan keseriusan yang konsisten, maka festival ini bisa
menjadi salah satu motor kebudayaan paling penting di Provinsi Jambi. Pada
akhirnya adalah mereka (baca; masa) menunggu kita, dan kita menunggu keseriusan
kita sendiri.
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
