Puisi yang Menari: Antara Alih Wahana dan Pembunuhan Makna
Gagasan tentang tarikalisasi puisi ini disajikan di teater Arena Taman Budaya Jambi melalui eksperimentasi komunitas Rasiklopedia, sebagaimana dicatat Oky Akbar dalam tulisannya “Tarikalisasi Puisi: Eksperimen yang Baru Dimulai.” Ia menempatkan tarikalisasi bukan sebagai bentuk baru, melainkan perpaduan antara dua ranah ekspresi kata dan tubuh yang saling menafsir. Dalam pandangannya, puisi tetap menjadi sumber ide, sementara tari berfungsi sebagai medium tafsir. Keduanya berdiri sejajar, saling menegaskan.
Oky menolak gagasan bahwa puisi dan tari harus “kawin”, karena penyatuan total justru berisiko meniadakan salah satu unsur. Ia lebih memilih istilah “perpaduan”, di mana puisi tidak hilang, melainkan berpindah ke ruang tafsir yang lain. Dalam tradisi Jambi sendiri, bentuk serupa sudah lama hidup: pada pembacaan mantra adat, tubuh penutur sering bergerak spontan. Gerak itu bukan sekadar estetika, tetapi juga simbolik dan sakral. Dari sinilah, tarikalisasi puisi menemukan akarnya sebagai warisan tubuh dan bunyi tradisional yang kini diolah dalam bahasa estetik kontemporer.
Namun, setiap eksperimen menyimpan risiko. Jika musikalisasi puisi menekankan bunyi dan ritme, maka tarikalisasi puisi menekankan resonansi tubuh. Di sinilah bahaya mengintai: ketika gerak hanya menjadi terjemahan literal dari kata-kata. Jika setiap larik puisi diterjemahkan begitu saja menjadi gestur, hasilnya bukan tafsir melainkan “ilustrasi gerak”. Puisi kehilangan misteri, tubuh kehilangan kedalaman. Kata menjadi penjara, bukan inspirasi. Dalam konteks inilah, tarikalisasi bisa berubah dari penghormatan menjadi pembunuhan terhadap bahan bakunya sendiri yakni puisi.
Puisi memiliki daya hidup karena kelenturannya. Ia bisa menampung emosi, simbol, dan tafsir yang tak terbatas. Begitu ia dijebak dalam sistem tanda yang terlalu visual, daya hidup itu bisa lenyap. Tubuh menari, tapi kata membisu. Maka, tarikalisasi hanya bermakna sejauh ia menjaga keseimbangan: antara bunyi dan gerak, antara emosi dan refleksi.
Meski demikian, menolak alih wahana sama saja menolak perkembangan estetika. Dunia seni terus bergerak, dan puisi pun harus berani keluar dari halaman buku. Di zaman media sosial dan pertunjukan visual, puisi tak bisa hanya menjadi teks yang sunyi. Ia perlu menemukan bentuk baru agar tetap hidup dan relevan. Alih wahana baik ke musik, film, maupun tari bisa menjadi jalan untuk memperluas napas puisi.
Namun, yang paling penting adalah kesadaran etik dan estetik dalam proses alih wahana itu. Tubuh tidak boleh menelan kata; kata tidak boleh memenjarakan tubuh. Hubungan keduanya harus dialogis, bukan hierarkis. Ketika tari hanya menjadi pelengkap, atau puisi hanya menjadi latar suara, keduanya gagal berjumpa di ruang interpretasi sejati.
Dalam Malam Apresiasi Tarikalisasi Puisi: Bait Menari, Tubuh Bicara di Taman Budaya Jambi (28/10/’25), Oky mencatat bagaimana banyak pembacaan puisi terasa datar, kehilangan dinamika dan emosi. Akibatnya, gerak tubuh menjadi mekanis tubuh menari tanpa jiwa. Hanya ilustrasi musik yang akhirnya menyelamatkan emosi pertunjukan. Dari sini, kita belajar bahwa tarikalisasi puisi bukan sekadar soal gerak atau irama, tetapi soal penghayatan terhadap bahasa, tempo, dan bunyi.
Puisi yang menari bukan sekadar bentuk, melainkan sikap artistik. Ia menolak diam, tetapi juga menolak kehilangan makna. Tarikalisasi yang benar bukan pemindahan literal dari teks ke tubuh, melainkan penciptaan dialog baru antara dua bahasa: bahasa kata dan bahasa tubuh.
Jadi, apakah puisi perlu dialihwahanakan? Ya, sejauh alih wahana itu tidak membunuh maknanya. Alih wahana yang sadar dan konseptual justru menghidupkan puisi di ruang-ruang baru, memperluas cakrawala tafsirnya. Tetapi jika dilakukan tanpa kesadaran, ia bisa menjadi pembunuhan yang elegan, sebuah tari yang indah namun tanpa ruh, sementara puisi, yang seharusnya menjadi jantungnya, dibiarkan membeku di atas kertas.
Selama para penyair dan seniman terus bertanya, “sejauh mana kata bisa menari dan tubuh bisa berbicara tanpa kehilangan makna?”, selama itu pula puisi akan tetap hidup bergerak, berpindah, dan bereksperimen. Sebab di situlah letak keindahan sejati puisi: ia tumbuh dalam perubahan, tetapi tidak pernah selesai.
*Ide Bagus Putra, Owner dan Founder Anjungan Puisi Jambi.
Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN
Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com
Tag:
Opini
