Makan Ngabis Nyincang Putus: Sebuah Catatan & Kritikan Juri Festival Tunas Bahasa Ibu Provinsi Jambi 2025
Oleh: Putra Agung*
Pertengahan bulan lalu, (18/11/2025), saya didapuk menjadi salah satu juri Lomba Deklamasi Puisi Berbahasa Melayu Jambi, bersama Ide Bagus Putra (Sastrawan/Penyair) dan Nafri Dwi Boy (Penulis). Perlombaan merupakan rangkaian kegiatan dari Festival Tunas Bahasa Ibu tahun 2025 yang dilaksanakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jambi.
Selama perlombaan, saya menikmati, mencatat, mencermati, mengkritisi dan menilai ketiga puluh peserta tingkat SD dan SMP yang berasal dari sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Jambi dengan empat poin utama penilaian. Mulai dari, 1) Kreativitas dan Ekspresi, 2) Aspek Kebahasaan, 3) Penguasaan Puisi serta 4) Penampilan.
Proses yang saya sebutkan diatas dilakukan demi menemukan para pemenang yang betul-betul layak menang dengan penilaian secara profesional, proposional, objektif, adil dan bertanggung jawab serta menjauhi konflik kepentingan (conflict of interest) sekaligus menjaga marwah seorang juri yang sudah cukup lama saya lakoni.
Profesionalitas seorang juri saya berikan penekanan khusus, mengingat lebih dari separuh orang tua dari para peserta merupakan teman, sahabat, kolega bahkan adik tingkat semasa kuliah. Oleh karenanya, catatan beserta kritikan saya selaku juri dibeberkan secara umum melalui tulisan ini semoga bermanfaat dan mencerahkan serta menghindari praduga yang salah dari orang tua para peserta, seniman dan masyarakat seni, sastra dan budaya di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Selain itu, menulis catatan pun masukan merupakan kebiasaan yang saya lakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban apabila dipercaya menjadi seorang juri.
Pada bagian akhir, saya juga memberikan kritikan terbuka kepada Balai Bahasa Provinsi Jambi sebagai bentuk profisiat kepada sejumlah kolega yang merupakan teman seperjuangan semasa kuliah dan tanda hormat terhadap institusi yang saya pandang konsisten melakukan pembinaan di wilayah seni, sastra pun budaya.
Semoga catatan dan kritikan ini bisa bermanfaat untuk perbaikan kuantitas dan kualitas di masa mendatang. Bak kato seloko Jambi, “Rumah sudah pahat idak berbunyi, api padam puntung tidak berasap. Yang terjatuh biarlah tinggal, yang terpijak biarlah luluh”.
CATATAN:
Kreativitas & Ekspresi
Seorang deklamator yang baik tidak sebatas membacakan barisan teks puisi. Lebih jauh dari itu, seorang deklamator sebelum naik panggung seharusnya menyelami, memahami dan mencoba melakukan interpretasi terhadap isi puisi tersebut. Ini penting dilakukan agar mengetahui pesan moral yang ingin disampaikan sehingga mendorong muncul dan ditemukannya penjiwaan ekspresi dan emosional puisi yang tulus serta meyakinkan.
Sayangnya, hampir semua peserta membacakan puisi tanpa mengetahui emosional puisi tersebut, apakah marah, bersedih atau gembira. Alhasil, nyaris semua peserta berdeklamasi dengan berteriak tak jelas serta selama lebih dari dua jam saya “dipaksa” mendengar anak muda marah-marah bukannya berdeklamasi dengan indah.
Tak hanya itu, ketiga puluh peserta pun masih tergolong miskin dalam hal menghidupkan teks-teks puisi ke atas panggung. Kata-kata seperti “sungai”, “burung”, “langit” bahkan kata “centeng” sebenarnya bisa hidup dengan menggunakan permainan jari, tangan, wajah bahkan kaki sekalipun.
Seandainya peserta mampu menghidupkan kata-kata didalam puisi maka akan muncul penampilan visual yang hebat dengan penghayatan yang dahsyat. Deklamator yang baik tidak sebatas menjerit atau berteriak tetapi dituntut menghadirkan kekuatan puisi sehingga ketika ia membawakan puisi “centeng” maka penonton TAHU ia seorang “centeng” tapi HARUS MEYAKINKAN sebagai “centeng” (knowing and believing).
Kreativitas dalam menginterpretasi puisi juga bisa muncul dengan membawa atau menggunakan properti saat berdeklamasi. Hal ini juga diperkenankan sebagaimana tertera didalam juknis namun sayangnya, masih sangat sedikit peserta yang mau menggali, serta membuat terobosan kreativitas melalui properti baik dalam bentuk barang yang dibawa atau kostum yang dikenakan.
Memang ada peserta yang membawa piring dan bel saat berdeklamasi. Lagi- lagi, sayangnya properti itu menjadi sebatas tempelan tanpa eksplorasi lanjutan sesuai dengan isi dan makna puisi yang dibacakan. Tempelan-tempelan ini malah mengganggu sebab tidak memiliki otentisitas yang segar dan unik bahkan ada yang justru merusak keindahan teks puisi yang dibawakan.
Aspek Kebahasaan
Balai Bahasa Provinsi Jambi jelas dan tegas menyatakan bahwa ini merupakan Lomba Deklamasi Puisi Berbahasa Melayu Jambi. Hal ini bertujuan memunculkan kecintaan generasi muda terhada bahasa daerah sekaligus upaya pelindungan bahasa Melayu Jambi ditengah-tengah gempita zaman digital; di mana aksen kebarat-baratan bercampur dengan kosakata skena serta bahasa Jaksel yang cenderung menyeragamkan lidah anak muda.
Memiliki pemahaman mengenai esensi lomba menjadi agar peserta dan orang tua atau guru pembina mau untuk berusaha mencari serta menggali mengenai sejarah akar bahasa, sintaksis, morfologi dan fonologi bahasa Melayu Jambi.
Secara linguistik, bahasa Melayu Jambi menonjol karena karakteristiknya yang disebut vokalisasi terbuka. Ciri paling kentara adalah perubahan vokal akhir /a/ pada bahasa Melayu umum menjadi vokal /o/. Seperti kata “kemana” menjadi “kemano” atau “kita” menjadi “kito” dan “terasa” menjadi “teraso” BUKAN “taraso”. Selain itu, bahasa Melayu Jambi mempunyai ciri khas fonologis dan leksikal yang membedakannya dengan bahasa Melayu Riau atau Melayu lainnya. Seperti penggunaan vokal [e] pepet di akhir kata dengan pola intonasi yang unik.
Nahasnya, kebanyakan peserta masih terjebak dengan pola deklamasi umum dan melupakan pemahaman tentang penggunaan dialek, cara ucap dan teknik fonologi bahasa Melayu Jambi.
Hal ini terlihat jelas dalam ketidaktepatan penggunaan dialek bahasa Melayu Jambi. Sebagian peserta lalai dalam penggunaan fonologi (bunyi bahasa), khususnya vokal rangkap (/o/, /e/ ) yang ada di akhir kata dengan intonasi khas bahasa Melayu Jambi.
Kejelasan artikulasi diksi dari para peserta juga harus diperbaiki dikarenakan sebagian besar peserta terpeleset saat harus melafalkan kata bahasa Melayu Jambi yang ada didalam puisi. Mereka terlihat gagap, tidak terbiasa dan terkesan memaksakan diri untuk mengucapkan bahasa Melayu Jambi sehingga leksikal kedaerahan menjadi tipis, bias serta kurang pas.
Minimnya penggalian tata bahasa ini membuat sintaksis (struktur kalimat), morfologi (bentuk kata), intonasi dan ritme ucap khas Jambi didalam puisi menjadi hilang serta tak natural.
Penguasaan Puisi
Ketika seseorang hendak membacakan puisi maka mau tidak mau harus menguasai puisi tersebut secara utuh. Artinya, puisi tersebut tidak hanya dibaca tetapi dipahami, dihayati dan dinikmati agar deklamator tidak sekedar menjadi “tukang baca” melainkan mempunyai dan menghadirkan pengalaman imajinatik-artistik tentang puisi tersebut.
Kenapa hal ini penting ? Dikarenakan deklamator oleh tokoh tunggal yang mampu mengubah kata-kata menjadi realita ke atas panggung.
Penguasaan puisi yang baik akan mendorong deklamator bisa memainkan rima dan irama, mengerti pilihan makna konotatif dan denotatif didalam puisi, dan mengenali tipografi (bentuk visual) puisi seperti koma, tanda seru, atau tanda baca yang unik.
Ini juga berimbas pada kepandaian deklamator untuk mengatur nafas, volume vokal agar jelas dan stabil, bisa memainkan dinamika suara, tempo, dan penekanan suara (stressing phrase) untuk menonjolkan bagian-bagian penting puisi sekaligus menghadirkan efek dramatik yang terstruktur.
Penguasaan puisi juga menghindari deklamator lupa atau salah urutan bait-bait puisi sehingga akhirnya salah kaprah dengan berimproviasi secara liar. Ketidakhafalan ini juga turut berpengaruh terhadap makna puisi dan mengganggu alur pengisahan puisi di atas panggung.
Dari ketiga puluh peserta, setidaknya ada lima peserta yang lupa, terbata-bata dan salah membacakan urutan bait-bait puisi. Tak sebatas itu, ada pula peserta yang berimprovisasi liar dengan menambah sendiri bait-bait puisi diluar dari yang telah dituliskan si penyair atau pemilik puisi.
Hal ini sangat disayangkan mengingat salah satu keindahan puisi terletak pada estetika dan empati puisi, keindahan bunyi dan susunan teks yang menjadi kata mengalun sebagai bahasa yang melahirkan makna.
Selaku manusia yang juga penuh kelalaian, saya sangat mengerti dengan faktor X seperti; gugup ditonton orang ramai, jam terbang hingga kecemasan berlebihan. Disisi lain, tidak ada pemakluman dalam konteks sebuah perlombaan sehingga persiapan yang sungguh-sungguh, penguasaan dan pemahaman materi, dukungan orang tua serta ketenangan di atas panggung adalah sebuah keharusan.
Penampilan
Penampilan terbaik adalah penampilan yang paling “jujur”. Adagium diatas menekankan pentingnya kata “jujur” yang merujuk pada kemampuan deklamator untuk memahami teks puisi secara utuh dan "mengawinkannya" dalam bentuk interpretasi dan eksekusi panggung.
“Perkawinan” itu terjadi jika seorang deklamator menggali makna teks puisi, dengan interteks (hubungan antar kata puisi) dan konteks (latar belakang puisi).
Penampilan yang jujur itu akan mendorong munculnya kontak mata dan ekspresi wajah yang sesuai dengan puisi yang dibawakan. Kemampuan memainkan kontak mata dengan penonton diiringi ekspresi wajah yang relevan dan tidak berlebihan (overacting) dapat memperkuat emosi puisi.
Sayangnya, tidak banyak peserta lomba memberikan ekspresi wajah (mimik) yang kuat, kerutan dahi yang pas serta tatapan mata yang dinamis sesuai dengan alur emosi puisi.
Jangan lupakan juga pentingnya penggunaan gerak tubuh (gestur) yang dapat menghidupkan substansi puisi. Selama berdeklamasi, gerak tubuh tidak hanya harus efektif tetapi juga estetis serta menghindari gerak repetitif (mengulangi gerakan tangan yang sama terus menerus).
Selama perlombaan, alih-alih menghidupkan kata-kata di dalam teks puisi dengan gestur, para peserta kerap melakukan gerak repetitif khususnya bagian tangan dengan melambaikan ke samping serta ke depan. Gestur yang seharusnya mempertegas kata menjadi hiasan semata.
Penempatan diri di panggung (blocking) yang fungsional pun mampu mendukung menghidupkan substansi puisi. Seorang deklamator idealnya tidak mematung di satu titik saja, namun bisa memanfaatkan ruang yang disediakan panitia serta mengetahui tujuan kenapa ia bergerak berpindah-pindah. Blocking yang mumpuni akan menghadirkan persona tersendiri yang menjadi magnet yang kuat.
Terakhir, penampilan yang baik harus dilengkapi dengan kepercayaan diri, kostum yang mendukung (rapi, sopan atau tematik), serta adab di atas panggung (memberi salam dan cara memberi hormat).
KRITIKAN:
Menjaring Juri yang Berintegritas
Kredibilitas sebuah lomba atau festival sangat bergantung pada integritas dan profesionalisme jurinya. Juri tidak hanya harus memahami seluk-beluk juknis, kriteria penilaian saja tetapi yang terpenting, mereka harus mampu menilai tanpa bias serta mau dan mampu menjauhi konflik kepentingan (conflict of interest) meskipun -seperti yang saya sampaikan diawal tulisan- sebagian peserta adalah anak dari kolega, teman atau sahabat dari seorang juri.
Di masa yang akan datang, Balai Bahasa harus lebih dalam menggali latar belakang juri yang hendak ditunjuk dan mampu mengidentifikasi latar belakang juri agar mengetahui jika juri dan peserta lomba, memiliki hubungan darah/keluarga, hubungan guru-murid, afiliasi organisasi/komunitas.
Apakah salah jika seorang juri memiliki hubungan tertentu dengan peserta? Tentu saja tidak apa-apa, tetapi seorang juri yang berintegritas harus
memastikan dapat menjaga diri dari konflik kepentingan (conflict of interest). Hal ini penting untuk memastikan keadilan dan kepercayaan publik terhadap hasil yang diputuskan dalam lomba. Tak sebatas itu, integritas, profesionalitas, kualitas dan objektivitas para jurinya tidak hanya menentukan pemenang, tetapi juga membentuk standar estetika dan etika dalam dunia seni, sastra dan pertunjukan.
Untuk perlombaan atau festival selanjutnya, Balai Bahasa sebaiknya membuat sejumlah protokol pelindung. Mulai dari, mewajibkan setiap calon juri mengisi dan menandatangani Surat Pernyataan Bebas Konflik Kepentingan sebelum ditunjuk.
Surat ini mampu menjadi alarm bagi juri agar tidak memberikan penilaian yang berlebihan atau tak beralasan terhadap peserta lomba. Bisa pula, dimasukan poin di dalam surat pernyataan bahwa juri bersedia mengundurkan diri jika ia ketahuan melakukan praktik konflik kepentingan setelah penunjukan.
Balai Bahasa juga bisa menerapkan protokol lanjutan dengan mewajibkan juri memberikan catatan penilaian secara tertulis dan bukan sekedar angka sebagai bentuk pertanggungjawaban profesionalitas.
Dari catatan penilaian secara tertulis tersebut, maka akan gampang terlihat jika seorang juri bertindak tanpa menjunjung tinggi etika penjurian dan mengesampingkan obyektivitas yang terukur untuk semua peserta.
Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, panitia dapat membangun panel juri yang tidak hanya kompeten secara keahlian, tetapi juga kuat secara integritas moral, sehingga menjamin lomba berjalan adil dan profesional, bebas dari bayang-bayang konflik kepentingan sekaligus menaikkan reputasi lomba di mata masyarakat luas.
Semoga, kritikan yang saya tuliskan ini hanya menjadi ketakutan dan tidak berbuah kenyataan. Secara personal, saya siap bertanggung jawab atas setiap nilai saya berikan dalam Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Provinsi Jambi tahun 2025 dan semua kritikan yang saya dedahkan dalam tulisan pendek ini.
//Salam Ngopi/
Putra Agung*
*Putra Agung merupakan aktor, penulis, sutradara dan juri seni pertunjukan bersertifikasi resmi dari Badan Sertifikasi Profesi Kebudayaan RI. Saat ini menjabat sebagai direktur program & artistik di kelompok seni DianArza Arts Laboratory (DAAL).
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom

