Bagaimana Nasib Kopi di Tengah Krisis Iklim?
BICARA LINGKUNGAN - Kopi tengah naik daun. Tanaman berbunga dalam famili Rubiaceae ini jadi komunitas andalan di pasar lokal maupun internasional. Namun krisis iklim berdampak pada kopi termasuk di Indonesia, sebagai negara dengan produksi terbesar keempat dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Petani kopi hadapi berbagai tantangan.
Intan Diani Fardinatri, Manager Tim Kopi Rainforest Alliance Indonesia mengatakan, krisis iklim berdampak pada kualitas dan produktivitas kopi petani.
Pola budidaya petani kopi di Indonesia, katanya, sangat tergantung cuaca hujan untuk pengairan dan kering untuk pembungaan. Perubahan pola cuaca yang panjang pun, katanya, sangat mempengaruhi produktivitas kopi di Indonesia.
Pada musim penghujan berkepanjangan dengan intensitas tinggi, menyebabkan bunga dan buah muda gugur. Sedangkan saat kemarau panjang, tidak ada asupan air berpengaruh terhadap bobot buah, dan kesehatan tanaman.
“Tidak jarang kemarau membuat tanaman kering bahkan mati. Petani di Indonesia itu sangat tergantung sama hujan dan panas ,” katanya kepada Mongabay dalam ajang World of Coffee di Jakarta 17 Mei lalu.
Kondisi ini, katanya, menyebabkan produktivitas kopi di Indonesia lebih rendah dengan tiga negara penghasil kopi terbesar lainnya. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik BPS 2023, produktivitas kopi di Indonesia hanya berkisar di antara 600-800 kilogram per hektar.
“Walaupun tidak sedikit petani kopi Indonesia yang bisa menghasilkan hingga 1,000-1,500kg oer hektar. Jika dibandingkan dengan Vietnam itu bisa sampai 2-4 ton per hektar. Di Brazil bisa sampai 4-7 ton per hektar.”
Selain itu, usia tanaman yang sudah tua juga jadi penyebab rendahnya produktivitas kopi di Indonesia. Intan bilang, banyak petani kopi belum peremajaan pohon tua.
“Ada yang sampai 50 tahun (pohon kopi) belum peremajaan. Padahal peremajaan itu penting, supaya produktivitas tinggi,” katanya.

Kopi dan deforestasi
Dalam penelitian berjudul A bitter cup: climate change profile of global production of Arabica and Robusta coffee oleh Christian Bunn, Peter Läderach, Oriana Ovalle Rivera dan Dieter Kirschke menunjukkan, krisis iklim menyebabkan area global yang cocok tanam kopi akan menyempit hingga 50% pada 2050.
Penelitian Christian Bunn dan kawan-kawan juga memprediksi migrasi produksi kopi ke wilayah lebih tinggi lantaran produktivitas menurun karena krisis iklim. Kawasan Asia dianggap cocok menjadi lokasi migrasi produksi kopi karena masih ada tutupan hutan.
Migrasi terpicu iklim ini justru dapat menghasilkan emisi lebih lanjut dari alih fungsi lahan. Satu sisi, konversi dari hutan alami ke kopi berdampak negatif terhadap lingkungan, tetapi konversi dari lahan terbuka ke perkebunan kopi berefek positif.
Intan bilang, kopi tumbuh nyaman di dataran tinggi berhutan. Di Indonesia, kopi bukan termasuk tanaman yang menyebabkan deforestasi. Sebab, aktivitas pertanian kopi di Indonesia dari penanaman hingga panen masih dengan cara tradisional.
Kopi, katanya, cocok dan biasa ditanam di dataran tinggi yang identik dekat dengan kawasan hutan.
Penelitian Rainforest Alliance bersama Universitas Syiah Kuala Aceh, terdapat potensi area kopi yang teridentifikasi melampaui batas deforestasi dari EUDR sebesar 14% untuk Aceh Tengah dan 6% untuk Tanggamus.
Saat ini, luas perkebunan kopi di Indonesia sekitar 1,2 juta hektar. Jumlah ini berbanding terbalik dengan sektor lain seperti sawit seluas sampai 17 juta hektar.
Kopi secara alami dapat ditanam dengan pola agroforestri hingga kebun seharusnya tidak mempengaruhi kelestarian ekosistem hutan kalau dibudidayakan berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Miguel Gamboa, Kepala Devisi Kopi Rainforest Alliance, mengatakan, EUDR untuk mengurangi deforestasi di seluruh dunia. EUDR, kata Miguel, tak menjadi masalah besar untuk rantai pasok kopi.
Meski demikian, regulasi ini akan menjadi tantangan terhadap produsen mikro yang tidak memiliki rantai pasok spesifik dan pelaku impor/ekspor yang menjual dan membeli produk pertanian lewat perantara. Mereka akan kesulitan melacak produk itu dalam memenuhi persyaratan di pasar Eropa.
“Bagaimana menunjukkan, mereka juga berhubungan dengan setiap keadilan yang diminta oleh EUDR?”
EUDR, katanya, memiliki kesamaan dengan program sertifikasi Rainforest Alliance terhadap produk pertanian, seperti coklat dan kopi. Ketika membeli produk sertifikasi Rainforest Alliance berarti konsumen menghormati hak sosial dan lingkungan.
“Program kami memiliki cut-off date dan lebih ketat daripada EUDR,” katanya.
Lewat program ini, pelaku usaha yang ingin mengajukan sertifikasi kepada Rainforest Alliance akan melakukan demonstrasi bahwa mereka sudah menyelesaikan uji tuntas deforestasi yang EUDR wajibkan.
“Dengan begitu, produsen dapat menghormati keadaan alam dan sosial sehingga mengurangi deforestasi,” ucap Miguel.
Putra Agung Direktur Indonesia dari Rainforest Alliance mengatakan, deforestasi bisa terjadi ketika pelaku usaha melakukan ekstensifikasi perkebunan kopi. Sebaliknya, deforestasi tidak akan terjadi kalau lakukan intensifikasi.
Intensifikasi, kata Putra, dengan memaksimalkan produksi kopi di lahan yang ada dengan praktik pertanian yang baik.
“Kalau bicara apakah ada deforestasi di sektor kopi, kami melihat memang ada risiko deforestasi dari penanaman kopi, meskipun tidak sebesar komoditas lain,” kata Agung.
Saat ini, katanya, pemerintah sudah memberikan kebijakan bagi petani yang terlanjur menanam kopi di kawasan hutan melalui perhutanan sosial. Kebijakan ini memberikan keleluasaan masyarakat mengelola hutan tanpa mengubah fungsi kawasan hutan atau merusak tanaman endemik di dalamnya.

Regenerasi petani kopi
Tantangan keberlanjutan kopi selanjutnya soal regenerasi petani. Banyak petani kopi sudah lanjut usia, sedang orang muda justru apatis. Mereka lebih memilih bekerja di sektor lain ketimbang melanjutkan usaha perkebunan kopi di kampung halaman.
“Saat ini pemuda itu lebih tertarik melihat pekerjaan-pekerjaan yang secara income bisa lebih besar, bisa lebih stabil,” ucap Siti Maryam , Program Manager Yayasan Tanah Air Semesta.
Dia mengatakan, regenerasi masih menjadi pekerjaan rumah. Namun, lewat upaya pendampingan petani bersama Rainforest Alliance di berbagai daerah, membuat regenerasi petani kopi perlahan tumbuh.
“Kita melakukan konservasi, reforestasi dan edukasi generasi petani serta pendampingan petaninya,” katanya.
Di Garut, misal, Yayasan Tanah Air Semesta an Rainforest mendampingi 200 petani kopi hingga membuat Sekolah Ilmu Lingkungan dan Kearifan Lokal (Siloka) bagi orang muda.Juga, di Kasepuhan Karang Banten hingga Gunung Kidul Salatiga.
“Sehingga mereka memiliki kepercayaan diri bahwa di kampung halaman pun mereka bisa memiliki pendapatan.”
Karni Hagus, asal Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur ini menjadi satu contoh regenerasi petani Kopi. Perempuan muda ini rutin membantu keluarga merawat kebun kopi.
“Kita punya dua jenis kopi, ada Arabica di ketinggian 1.500-1.700 MDPL dan Logosan di ketinggian 1.000,” ujar petani yang juga tergabung di Koperasi Asnikom binaan Rikolto ini.
Dia bilang, di kampungnya orang muda sudah tertarik dengan kebun kopi. Selain berasal dari keluarga petani, orang muda di Manggarai antusias terjun ke dunia kopi karena tren sedang naik. Biasanya, proses yang mereka lakukan dari perawatan, panen hingga pengolahan kopi sampai siap jual.
“Jadi pengen punya brand sendiri, brand lokal. Mereka start-nya biasa dari bubuk kopi. Itu mereka usahakan sendiri, setiap anak muda yang punya kebun kopi, pasti punya brand sendiri, brand kopinya.”
Tantangan petani kopi di Manggarai hampir sama dengan di daerah lain, seperti, hama, dan krisis iklim yang membuat cuaca sulit ditebak maupun pohon kopi tua. Hal itu, katanya, berdampak pada kualitas dan produktivitas kopi.
“Untuk replanting petani belum berani ambil risiko. Karena mungkin butuh waktu lama untuk hasilnya keluar. Sehingga produktivitas kopi tiap tahun juga benar-benar tidak ada perubahan.”
Begitu juga musim sulit ditebak jadi menghambat. “Hujan terus, jadi efeknya keterlambatan panen, harusnya bulan 5 (Mei) ini sudah panen.”
Karni bilang, masyarakat Flores dominan hidup dari kopi. Kopi membuat mereka sejahtera. Sekali panen, petani bisa hasilkan sampai satu ton di lahan sekitar dua hektar. Untuk pemasaran kopi, sudah ada koperasi dan pengepul yang menjual ke berbagai daerah hingga mancanegara.

Sumber: mongabay.co.id
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom