Sunday, May 4, 2025

Energi Interogasi dari Saji Skenografi Pertunjukan Nata Sukma


Oleh: Ady Santoso


Setelah satu pekan berjalan sejak dipentaskannya pertunjukan teater dengan lakon “Nata Sukma” Karya/ Sutradara dari Tatang R Macan oleh Studio Teater Institut Seni Indonesia Padang Panjang pada Sabtu & Ahad, 26 & 27 April 2025 di Teater Arena Taman Budaya Jambi, masihlah kuat di dalam ingatan tentang energi magis yang disajikan dari pertunjukan. Energi baik itu stamina, hingga sukma begitu kental terjaga juga terasa dari hampir seluruh elemen aspek pendukung pertunjukan, mulai dari keaktoran, penyutradaraan, pola pembagian ruang, narasi diksi, hingga skenografi. Magis karena sebagai penonton, saya melihat pertunjukan Nata Sukma bukan hanya sekedar sajian teks-teks atau peristiwa yang berlatar belakang dari peristiwa sejarah tanam paksa kopi di tanah Priangan yang terjadi pada tahun 1833, namun magis karena penyiasatan tingkatan pembagian ruang pertunjukan, musik pengiring dari setiap pengadeganan, lengkingan suara para aktornya dan pola-pola gerak yang dituangkan, bunyi lonceng-lonceng yang bedencing pada properti yang ditambatkan ditongkat sapu lidi dan juga tiang bambu dari bendera berada, menjadikan setiap pergerakan dan pergantian adegan per adegan pertunjukan terkesan magis dan penuh energi serta sarat akan makna filosofi.


Pertunjukan dibuka dengan bunyi raungan sirine yang menjadi penanda dimulainya suguhan peristiwa. Raungan yang langsung meninggi keras bak memecah kesunyian dari ruangan pertunjukan, yang kemudian selang sebentar diiringi dengan suara-suara distrorsi saling tumpang tindih dengan suara-suara lain, mulai dari suara alat musik tiup, suara lengkingan jerit manusia, namun raungan sirine tetap menjadi bunyi yang mendominasi. Beriringan dengan raungan sirine yang terus mengumandang, sorot lampu kemudian menerangi sebuah kursi yang menggelantung tinggi di bagian atas dengan latar kain putih yang menjuntai hingga ke lantai. Kursi berwarna emas yang diberikan sorot khusus guna menguatkan penekanan atau bisa juga ruang dari kekuasaan. Hingga kemudian para pemain pun memasuki arena panggung dengan disertai suara lonceng-lonceng bedencing berbunyi saling silang antar bunyi yang bersumber dari satu properti tongkat sapu lidi dengan tongkat sapu lidi yang lain.


Empat pemain memasuki arena pertunjukan, mereka masuk dari empat sudut sisi panggung pertunjukan, para pemain membawa properti tongkat sapu lidi, mereka mengendap, membungkuk, mengintai, mencari, namun menurut saya lebih seperti sikap sigap mempertahankan diri. Beberapa lontaran dialog diucapkan, namun tidak jelas apa yang diutarakan. Hal tersebut lantaran keempat para pemain menggunakan topeng masker sebagai pelindung diri, sehingga dapatlah saya cerna, bahwa barangkali lontaran-lontaran dialog itu adalah dialog yang masih terkait dengan upaya mempertahankan diri. Para pemain selanjutnya saling silang berganti posisi, dari kanan ke kiri, dari belakang ke depan, yang selanjutnya juga saling silang bergantian menaiki bangunan berbentuk segi empat dengan lingkaran batu-batu putih yang mengelilingi dibawahnya Pemain menaiki bangunan seraya seperti menara pengintai, lagi-lagi dengan pergerakan yang disuguhkan semakin menguatkan akan upaya dari mempertahankan diri.


Selang kemudian, para pemain menuju ke kain putih yang dimana pada bagian atasnya tergelantung sebuah kursi berwarna emas. Kursi emas yang menguatkan akan tanda dari sebuah kekayaan, kejayaan, kekuasaan, hingga bisa juga penindasan. Para pemain kemudian memukul mukul kain putih tersebut, kain putih bergoyang-goyang bergelombang, yang dengan sendirinya juga membuat kursi yang tergelantung diatasnya pun ikut bergoyang. Sebuah upaya tanda akan adanya serangan perlawanan dari apa yang mereka lakukan sebelumnya dengan pertahanan. Kemudian yang menjadi pertanyaan muka saya adalah hal sebab apa yang menjadi awalan dari pembuka pertunjukan dengan pergerakan yang ditunjukkan melalui sikap sigap mempertahankan dan perlawanan. Pertahanan dan perlawanan yang kemudian diwakilkan dari properti tongkat sapu lidi yang diposisikan bak sebuah senjata. Pertanyaan yang menggiring saya kepada selaman selaman kenikmatan dari tanda-tanda dalam pertunjukan yang selanjutnya disajikan.

 

AKSI ENERGI INTEROGASI

Pertahanan dan perlawanan, itulah yang kemudian dapatlah saya tarik kesimpulan dari sajian-sajian tampilan visual yang disuguhkan. Pertahanan dan perlawanan yang diwakilkan oleh sekelompok orang dari kalangan yang disebut dengan Marhaen, yang kemudian menjadi penyambung jalan cerita peristiwa selama pertunjukan. Mereka mengenakan sarung yang dililitkan menyilang di tubuhnya, sebuah tanda dari penolakan atau perlawanan. Sedangkan pada bagian alas kaki, keempat pemain itu mengenakan sepatu bot, yang bilamana kita merujuk dari fungsi sepatu bot sebagai sepatu perlindungan dan keamanan. Secara keseluruhan tampilan visual yang dikenakan oleh keempat pemain, yang mengatasnamakan mereka sebagai Marhaen adalah tampilan dari sebuah pertahanan yang sekaligus juga dalam posisi sewaktu waktu siap untuk menyerang.


Pertanyaan-pertanyaan kemudian tak luput dapat diwakilkan dari elemen-elemen visual lainnya. Pertanyaan yang tanpa harus diutarakan atau dilontarkan atau dibunyikan namun mengena dari visual yang dituangkan. Sebut saja pada sebuah tiang bambu yang diposisikan menjorok miring ke depan, yang pada bagian ujungnya terikat bendera merah putih dengan tak lupa lonceng-lonceng kecil yang terikat pada ujung bambunya. Tiang  bambu yang tatkala digoyangkan maka dencingan lonceng pun terdengar, seraya ingin memberikan pesan tentang pertanyaan bagaimana kondisi kini dari negara Indonesia. Kecil masih terdengar bunyinya namun masih berbunyi, tapi tanpa aksi, tanpa kibaran, terdiam menunduk ke bawah. Dia hanya bisa digoyangkan, tanpa bisa dimanfaatkan untuk digerakkan, dibesarkan pengunaannya, ataupun dampak yang diberikannya. Bendera itu masih terikat diujungnya, tanpa kibaran, tanpa kegagahan, hanya bunyi kecil dari dencingan lonceng kecil.


Pertimbangan akan nilai-nilai yang nantinya akan diterima dan diwakilkan dari setiap elemen-elemen visual, bahkan elemen-elemen bunyi yang dihasilkan. Pertunjukan ini memang sangat terasa sangat matang telah dipersiapkan oleh para pendukung pertunjukan, baik oleh sang sutradara, penata artistik, ataupun penata kostum. Sehingga dalam catatan saya, jangan sampai ada yang terlewat, berlalu, tersaji begitu saja tanpa adanya makna ataupun pesan yang menyertainya. Hal itu tentunya perlulah energi yang prima, baik pada tahapan perancangan dan penentuan, hingga pembuatan, dan yang lebih penting lagi adalah saat dipergunakan dalam pementasan, karena tanpa kepiawaian sutradara ataupun aktornya, ke semua elemen-elemen visual itu akan kering berlalu dan tanpa memberikan dampak kesan yang kuat mengena dari setiap penggunaannya.


Elemen-elemen visual, mulai dari kostum, properti, artistik, lampu, serta elemen-elemen bunyi baik yang dihasilkan melalui musik pengiring, ataupun bunyi yang dihasilkan dari properti ataupun pemain, telah menghadirkan aksi-aksi energi yang memang telah matang penuh dengan pertimbangan. Penguatan akan interogasi dari penuhnya pertanyaan-pertanyaan pertunjukan dijalin dengan energi yang memadai dan hidup, yang kemudian saling dukung serta mengisi dari ruang-ruang pertunjukan. Karena dalam menghadirkan aksi energi interogasi dalam sebuah pertunjukan teater, setidaknya di dalam pendukung pertunjukan tersebut adalah perpaduan bakat-bakat yang terbaik, perpaduan antara idealisme teater, serta perpaduan dengan penontonya. Namun yang tak kalah penting adalah peran dari sutradara yang kemudian bertanggung jawab dalam membina pemainnya dalam hal mencapai apa yang ingin dikomunikasikan dari makna-makna yang tertuang di dalam pertunjukan.

 


SAJI FILOSOFI SKENOGRAFI

Seperti sihir yang kemudian ditiupkan ke dalam Teater Arena Taman Budaya Jambi pada malam pertunjukan Nata Sukma. Tetiba tatanan setting yang memang sudah terlihat sebelum pertunjukan dimulai, seketika berubah dengan berisi pelbagai interogasi interogasi dari tatanan elemen visual yang disuguhkan manakala pertunjukan kemudian sudah dimulai. Tatatan skenografi yang disajikan berkesan apik penuh akan pertimbangan nilai makna dan simbol-simbol darinya. Proyeksi dari pembagian titik beban set pertunjukan telah diperhitungkan dengan matang, tidak terlalu di tengah/sentral, namun juga tidak terlalu di sudut pinggir panggung. Skenografi yang tertuang melalui elemen dekorasi, properti, pencahayaan, kostum telah menciptakan suasana dan set yang mampu menembus ruang dan waktu, yang kemudian dapat terjadi di daerah mana saja, waktu kapan saja, dan peristiwa apa saja.


Layar putih yang membentang menjuntai pada bagian layar belakang, namun tidak menutupi keseluruhan layar, telah menjadi sebuah tanda akan daerah/wilayah ataupun jalan kekuasaan, yang mana di bagian atas layar putih tersebut telah tergelantung sebuah kursi berwarna emas. Sebuah filosofi dari jalan suci kekuasaan nan jauh, yang tak dapat disentuh atau dijangkau oleh rakyat kelas bawah. Kursi di atas layar putih adalah cerminan dari sebuah kedudukan kekuasaan yang bertahta di atas semesta, yang kemudian diam/tenang/damai dengan tak peduli apa yang kemudian terjadi pada rakyat dibawah. Cerminan itu saya lihat dari ketenangan layar putih, dimana layar tersebut tidak bergerak apabila tidak ada yang menggerakkan, tidak ada yang memukulnya atau tidak ada yang menggoyangkannya. Layar putih sebagai filosofi dari bentangan kekuasaan.


Sebuah bangunan sedikit meninggi berada di bagian tengah kanan panggung, bangunan yang bilamana pada konteks pertunjukan dapat berarti juga sebagai bangunan di huma atau rumah di ladang. Bangunan di huma itu bukan hanya sekedar pemanfaatan sebagai bangunan semata, namun pada beberapa peristiwa menjadi tempat bersimpuh doa, menjadi tempat pemantau keadaan, hingga menjadi tempat dari pelbagai lontaran lontaran harapan serta pertanyaan dari tokoh Nata Sukma. Bangunan yang menjadi multi fungsi, karena pada bangunan tersebut terdapat tiang bambu bendera serta tempat menaruhnya properti tongkat sapu lidi, yang manakala ditempatkan pada bangunan di huma tersebut, seolah olah kemudian menjadi seperti orang-orangan sawah yang merupakan replika dari manusia yang ditempatkan sawah/ ladang guna menakut-nakuti burung atau binatang lainnya.


Tatanan rancangan visual skenografi ini sekilas terbagi menjadi tiga bagian tingkatan, dengan bagian atas adalah sang kursi, bagian tengah adalah bangunan di huma, dan bagian bawah adalah batu batu putih yang juga sekaligus tempat para pemain lainnya melakukan aksi peristiwa. Tiga bagian tingkatan ini menjadi penanda akan nilai filosofi dari konsep tiga bagian dunia, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah, yang mana dalam bagian bagian ruang visual saling memiliki keterhubungan antar kursi (dunia atas), bagunan di huma (dunia tengah), dan batu putih melingkar (dunia bawah). Struktur tiga bagian dunia tersebut, sebagaimana yang dituliskan Prof. Jakob Sumardjo dalam bukunya Estetika Paradoks, adalah hubungan antara tunggal (kursi) dan plural (rakyat/pemain/para Marhaen) dimana selalu ada perlawanan antara rakyat dan penguasa.


Sementara bangunan di huma adalah perantara (dunia tengah) sebagai penjaga, sebagaimana penjaga yang bertugas untuk mengawasi dan menghantarkan titipan salam bagi orang yang di dalam. Begitupun pada bangunan di huma, dimana hanya tokoh Nata Sukma lah yang menempati dan melakukan dialog disepanjang pertunjukan. Hal itu semakin menguatkan akan keistimewaan dari tokoh Nata Sukma, akan terpilihnya dia, kekuatan kebatinan dan juga bisa mistisme pada dirinya. Nata Sukma sebagai tokoh perantara dari derita rakyat yang sedang dijalani, dengan harapan untuk segera disirnakannya segala bentuk kesusahan, kegelapan, dan pelbagain penderitaan yang hinggi kini masih dialami oleh rakyat kelas bawah. Nata Sukma terpilih menjadi perantara penyampai dari kondisi masyarakat kini yang sejatinya masih terjajah, terbelenggu, terkekang dari berbagai serbuan-serbuan ideologi yang ujung-ujungnya hanya mementingkan kekuasaan. Nata Sukma adalah simbol dari belum matinya doa-doa dan perjuangan perjalanan dari apa yang disebut dengan kemakmuran. Nata Sukma sebuah suguhan pertunjukan yang mengajak kita kembali untuk mendekat kepada Sang Gusti.



Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!

Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com