Energi Interogasi dari Saji Skenografi Pertunjukan Nata Sukma
Oleh: Ady Santoso
Setelah satu pekan berjalan sejak
dipentaskannya pertunjukan teater dengan lakon “Nata Sukma” Karya/ Sutradara
dari Tatang R Macan oleh Studio Teater Institut Seni Indonesia Padang Panjang
pada Sabtu & Ahad, 26 & 27 April 2025 di Teater Arena Taman Budaya
Jambi, masihlah kuat di dalam ingatan tentang energi magis yang disajikan dari
pertunjukan. Energi baik itu stamina, hingga sukma begitu kental terjaga juga terasa
dari hampir seluruh elemen aspek pendukung pertunjukan, mulai dari keaktoran, penyutradaraan,
pola pembagian ruang, narasi diksi, hingga skenografi. Magis karena sebagai
penonton, saya melihat pertunjukan Nata Sukma bukan hanya sekedar sajian
teks-teks atau peristiwa yang berlatar belakang dari peristiwa sejarah tanam
paksa kopi di tanah Priangan yang terjadi pada tahun 1833, namun magis karena
penyiasatan tingkatan pembagian ruang pertunjukan, musik pengiring dari setiap
pengadeganan, lengkingan suara para aktornya dan pola-pola gerak yang
dituangkan, bunyi lonceng-lonceng yang bedencing pada properti yang ditambatkan
ditongkat sapu lidi dan juga tiang bambu dari bendera berada, menjadikan setiap
pergerakan dan pergantian adegan per adegan pertunjukan terkesan magis dan
penuh energi serta sarat akan makna filosofi.
Pertunjukan dibuka dengan bunyi raungan
sirine yang menjadi penanda dimulainya suguhan peristiwa. Raungan yang langsung
meninggi keras bak memecah kesunyian dari ruangan pertunjukan, yang kemudian
selang sebentar diiringi dengan suara-suara distrorsi saling tumpang tindih
dengan suara-suara lain, mulai dari suara alat musik tiup, suara lengkingan
jerit manusia, namun raungan sirine tetap menjadi bunyi yang mendominasi. Beriringan
dengan raungan sirine yang terus mengumandang, sorot lampu kemudian menerangi
sebuah kursi yang menggelantung tinggi di bagian atas dengan latar kain putih
yang menjuntai hingga ke lantai. Kursi berwarna emas yang diberikan sorot
khusus guna menguatkan penekanan atau bisa juga ruang dari kekuasaan. Hingga
kemudian para pemain pun memasuki arena panggung dengan disertai suara
lonceng-lonceng bedencing berbunyi saling silang antar bunyi yang bersumber
dari satu properti tongkat sapu lidi dengan tongkat sapu lidi yang lain.
Empat pemain memasuki arena pertunjukan,
mereka masuk dari empat sudut sisi panggung pertunjukan, para pemain membawa
properti tongkat sapu lidi, mereka mengendap, membungkuk, mengintai, mencari,
namun menurut saya lebih seperti sikap sigap mempertahankan diri. Beberapa
lontaran dialog diucapkan, namun tidak jelas apa yang diutarakan. Hal tersebut
lantaran keempat para pemain menggunakan topeng masker sebagai pelindung diri,
sehingga dapatlah saya cerna, bahwa barangkali lontaran-lontaran dialog itu adalah
dialog yang masih terkait dengan upaya mempertahankan diri. Para pemain
selanjutnya saling silang berganti posisi, dari kanan ke kiri, dari belakang ke
depan, yang selanjutnya juga saling silang bergantian menaiki bangunan
berbentuk segi empat dengan lingkaran batu-batu putih yang mengelilingi
dibawahnya Pemain menaiki bangunan seraya seperti menara pengintai, lagi-lagi dengan
pergerakan yang disuguhkan semakin menguatkan akan upaya dari mempertahankan
diri.
Selang kemudian, para pemain menuju ke
kain putih yang dimana pada bagian atasnya tergelantung sebuah kursi berwarna
emas. Kursi emas yang menguatkan akan tanda dari sebuah kekayaan, kejayaan,
kekuasaan, hingga bisa juga penindasan. Para pemain kemudian memukul mukul kain
putih tersebut, kain putih bergoyang-goyang bergelombang, yang dengan
sendirinya juga membuat kursi yang tergelantung diatasnya pun ikut bergoyang.
Sebuah upaya tanda akan adanya serangan perlawanan dari apa yang mereka lakukan
sebelumnya dengan pertahanan. Kemudian yang menjadi pertanyaan muka saya adalah
hal sebab apa yang menjadi awalan dari pembuka pertunjukan dengan pergerakan
yang ditunjukkan melalui sikap sigap mempertahankan dan perlawanan. Pertahanan
dan perlawanan yang kemudian diwakilkan dari properti tongkat sapu lidi yang
diposisikan bak sebuah senjata. Pertanyaan yang menggiring saya kepada selaman
selaman kenikmatan dari tanda-tanda dalam pertunjukan yang selanjutnya disajikan.
AKSI ENERGI INTEROGASI
Pertahanan dan
perlawanan, itulah yang kemudian dapatlah saya tarik kesimpulan dari
sajian-sajian tampilan visual yang disuguhkan. Pertahanan dan perlawanan yang
diwakilkan oleh sekelompok orang dari kalangan yang disebut dengan Marhaen,
yang kemudian menjadi penyambung jalan cerita peristiwa selama pertunjukan. Mereka
mengenakan sarung yang dililitkan menyilang di tubuhnya, sebuah tanda dari
penolakan atau perlawanan. Sedangkan pada bagian alas kaki, keempat pemain itu
mengenakan sepatu bot, yang bilamana kita merujuk dari fungsi sepatu bot
sebagai sepatu perlindungan dan keamanan. Secara keseluruhan tampilan visual
yang dikenakan oleh keempat pemain, yang mengatasnamakan mereka sebagai Marhaen
adalah tampilan dari sebuah pertahanan yang sekaligus juga dalam posisi sewaktu
waktu siap untuk menyerang.
Pertanyaan-pertanyaan
kemudian tak luput dapat diwakilkan dari elemen-elemen visual lainnya.
Pertanyaan yang tanpa harus diutarakan atau dilontarkan atau dibunyikan namun
mengena dari visual yang dituangkan. Sebut saja pada sebuah tiang bambu yang diposisikan
menjorok miring ke depan, yang pada bagian ujungnya terikat bendera merah putih
dengan tak lupa lonceng-lonceng kecil yang terikat pada ujung bambunya.
Tiang bambu yang tatkala digoyangkan
maka dencingan lonceng pun terdengar, seraya ingin memberikan pesan tentang
pertanyaan bagaimana kondisi kini dari negara Indonesia. Kecil masih terdengar
bunyinya namun masih berbunyi, tapi tanpa aksi, tanpa kibaran, terdiam menunduk
ke bawah. Dia hanya bisa digoyangkan, tanpa bisa dimanfaatkan untuk digerakkan,
dibesarkan pengunaannya, ataupun dampak yang diberikannya. Bendera itu masih
terikat diujungnya, tanpa kibaran, tanpa kegagahan, hanya bunyi kecil dari
dencingan lonceng kecil.
Pertimbangan akan nilai-nilai yang nantinya akan diterima dan diwakilkan dari setiap elemen-elemen visual, bahkan elemen-elemen bunyi yang dihasilkan. Pertunjukan ini memang sangat terasa sangat matang telah dipersiapkan oleh para pendukung pertunjukan, baik oleh sang sutradara, penata artistik, ataupun penata kostum. Sehingga dalam catatan saya, jangan sampai ada yang terlewat, berlalu, tersaji begitu saja tanpa adanya makna ataupun pesan yang menyertainya. Hal itu tentunya perlulah energi yang prima, baik pada tahapan perancangan dan penentuan, hingga pembuatan, dan yang lebih penting lagi adalah saat dipergunakan dalam pementasan, karena tanpa kepiawaian sutradara ataupun aktornya, ke semua elemen-elemen visual itu akan kering berlalu dan tanpa memberikan dampak kesan yang kuat mengena dari setiap penggunaannya.
Elemen-elemen visual,
mulai dari kostum, properti, artistik, lampu, serta elemen-elemen bunyi baik
yang dihasilkan melalui musik pengiring, ataupun bunyi yang dihasilkan dari
properti ataupun pemain, telah menghadirkan aksi-aksi energi yang memang telah matang
penuh dengan pertimbangan. Penguatan akan interogasi dari penuhnya
pertanyaan-pertanyaan pertunjukan dijalin dengan energi yang memadai dan hidup,
yang kemudian saling dukung serta mengisi dari ruang-ruang pertunjukan. Karena
dalam menghadirkan aksi energi interogasi dalam sebuah pertunjukan teater,
setidaknya di dalam pendukung pertunjukan tersebut adalah perpaduan bakat-bakat
yang terbaik, perpaduan antara idealisme teater, serta perpaduan dengan
penontonya. Namun yang tak kalah penting adalah peran dari sutradara yang
kemudian bertanggung jawab dalam membina pemainnya dalam hal mencapai apa yang
ingin dikomunikasikan dari makna-makna yang tertuang di dalam pertunjukan.
SAJI FILOSOFI SKENOGRAFI
Seperti
sihir yang kemudian ditiupkan ke dalam Teater Arena Taman Budaya Jambi pada
malam pertunjukan Nata Sukma. Tetiba tatanan setting yang memang sudah terlihat
sebelum pertunjukan dimulai, seketika berubah dengan berisi pelbagai interogasi
interogasi dari tatanan elemen visual yang disuguhkan manakala pertunjukan
kemudian sudah dimulai. Tatatan skenografi yang disajikan berkesan apik penuh
akan pertimbangan nilai makna dan simbol-simbol darinya. Proyeksi dari
pembagian titik beban set pertunjukan telah diperhitungkan dengan matang, tidak
terlalu di tengah/sentral, namun juga tidak terlalu di sudut pinggir panggung. Skenografi yang
tertuang melalui elemen dekorasi, properti, pencahayaan, kostum telah
menciptakan suasana dan set yang mampu menembus ruang dan waktu, yang kemudian
dapat terjadi di daerah mana saja, waktu kapan saja, dan peristiwa apa saja.
Layar
putih yang membentang menjuntai pada bagian layar belakang, namun tidak
menutupi keseluruhan layar, telah menjadi sebuah tanda akan daerah/wilayah
ataupun jalan kekuasaan, yang mana di bagian atas layar putih tersebut telah
tergelantung sebuah kursi berwarna emas. Sebuah filosofi dari jalan suci
kekuasaan nan jauh, yang tak dapat disentuh atau dijangkau oleh rakyat kelas
bawah. Kursi di atas layar putih adalah cerminan dari sebuah kedudukan
kekuasaan yang bertahta di atas semesta, yang kemudian diam/tenang/damai dengan
tak peduli apa yang kemudian terjadi pada rakyat dibawah. Cerminan itu saya
lihat dari ketenangan layar putih, dimana layar tersebut tidak bergerak apabila
tidak ada yang menggerakkan, tidak ada yang memukulnya atau tidak ada yang
menggoyangkannya. Layar putih sebagai filosofi dari bentangan kekuasaan.
Sebuah
bangunan sedikit meninggi berada di bagian tengah kanan panggung, bangunan yang
bilamana pada konteks pertunjukan dapat berarti juga sebagai bangunan di huma
atau rumah di ladang. Bangunan di huma itu bukan hanya sekedar pemanfaatan
sebagai bangunan semata, namun pada beberapa peristiwa menjadi tempat bersimpuh
doa, menjadi tempat pemantau keadaan, hingga menjadi tempat dari pelbagai
lontaran lontaran harapan serta pertanyaan dari tokoh Nata Sukma. Bangunan yang
menjadi multi fungsi, karena pada bangunan tersebut terdapat tiang bambu
bendera serta tempat menaruhnya properti tongkat sapu lidi, yang manakala
ditempatkan pada bangunan di huma tersebut, seolah olah kemudian menjadi
seperti orang-orangan sawah yang merupakan replika dari manusia yang
ditempatkan sawah/ ladang guna menakut-nakuti burung atau binatang lainnya.
Tatanan
rancangan visual skenografi ini sekilas terbagi menjadi tiga bagian tingkatan,
dengan bagian atas adalah sang kursi, bagian tengah adalah bangunan di huma,
dan bagian bawah adalah batu batu putih yang juga sekaligus tempat para pemain
lainnya melakukan aksi peristiwa. Tiga bagian tingkatan ini menjadi penanda
akan nilai filosofi dari konsep tiga bagian dunia, yaitu dunia atas, dunia
tengah, dan dunia bawah, yang mana dalam bagian bagian ruang visual saling
memiliki keterhubungan antar kursi (dunia atas), bagunan di huma (dunia tengah),
dan batu putih melingkar (dunia bawah). Struktur tiga bagian dunia tersebut,
sebagaimana yang dituliskan Prof. Jakob Sumardjo dalam bukunya Estetika
Paradoks, adalah hubungan antara tunggal (kursi) dan plural (rakyat/pemain/para
Marhaen) dimana selalu ada perlawanan antara rakyat dan penguasa.
Sementara
bangunan di huma adalah perantara (dunia tengah) sebagai penjaga, sebagaimana
penjaga yang bertugas untuk mengawasi dan menghantarkan titipan salam bagi
orang yang di dalam. Begitupun pada bangunan di huma, dimana hanya tokoh Nata
Sukma lah yang menempati dan melakukan dialog disepanjang pertunjukan. Hal itu
semakin menguatkan akan keistimewaan dari tokoh Nata Sukma, akan terpilihnya
dia, kekuatan kebatinan dan juga bisa mistisme pada dirinya. Nata Sukma sebagai
tokoh perantara dari derita rakyat yang sedang dijalani, dengan harapan untuk
segera disirnakannya segala bentuk kesusahan, kegelapan, dan pelbagain
penderitaan yang hinggi kini masih dialami oleh rakyat kelas bawah. Nata Sukma terpilih
menjadi perantara penyampai dari kondisi masyarakat kini yang sejatinya masih
terjajah, terbelenggu, terkekang dari berbagai serbuan-serbuan ideologi yang
ujung-ujungnya hanya mementingkan kekuasaan. Nata Sukma adalah simbol dari
belum matinya doa-doa dan perjuangan perjalanan dari apa yang disebut dengan
kemakmuran. Nata Sukma sebuah suguhan pertunjukan yang mengajak kita kembali
untuk mendekat kepada Sang Gusti.
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom