Tikus Raksasa Misterius Ini Akhirnya Terekam Kamera untuk Pertama Kalinya
BICARA LINGKUNGAN - Pegunungan berkabut di Pulau Nugini kembali menyimpan kejutan. Lewat ekspedisi selama enam bulan ke kawasan pegunungan tropis ini, seorang kandidat doktor muda dari Republik Ceko berhasil mencatatkan penemuan luar biasa. František Vejmělka, peneliti dari Biology Centre of the Czech Academy of Sciences dan University of South Bohemia, menjadi orang pertama yang secara ilmiah mendokumentasikan secara langsung Mallomys istapantap, spesies tikus terbesar di Australia dan Oseania, yang selama puluhan tahun hanya dikenal lewat fosil museum.
Untuk pertama kalinya, dunia kini bisa melihat foto dan rekaman video hewan nokturnal misterius ini di habitat aslinya, hutan dan padang rumput pegunungan yang lembap dan dingin di ketinggian sekitar 3.700 meter di atas permukaan laut. Penemuan ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah Mammalia.
Tikus raksasa yang selama ini hanya hidup dalam mitos
Tikus Wol Berbulu Tebal atau Mallomys istapantap adalah salah satu hewan paling misterius di kawasan pegunungan Pulau Nugini. Spesies ini baru dideskripsikan secara ilmiah pada tahun 1989, berdasarkan beberapa spesimen tengkorak dan tulang yang telah lama tersimpan di museum, sebagian besar dikumpulkan oleh peneliti Eropa puluhan tahun sebelumnya. Saat itu, ilmuwan hanya bisa menebak wujud, perilaku, dan ekologi hewan ini berdasarkan potongan-potongan bukti yang sangat terbatas.
Sejak penemuan awal tersebut, Mallomys istapantap nyaris menghilang dari radar penelitian ilmiah. Tidak ada pengamatan langsung yang terdokumentasi, dan habitat aslinya di hutan dan padang rumput pegunungan yang curam serta terpencil semakin memperkuat aura misteriusnya. Rekaman terakhir dari spesimen yang diketahui bahkan berusia lebih dari 30 tahun—tanpa satu pun foto atau video yang pernah dipublikasikan secara ilmiah.
Di kalangan masyarakat adat, keberadaan hewan ini tetap hidup dalam cerita lisan. Penduduk pegunungan Nugini mengenalnya sebagai hewan malam yang jarang terlihat, yang kadang meninggalkan jejak kaki besar atau sisa-sisa buah yang tergigit. Namun bagi dunia sains modern, keberadaannya hampir seperti legenda yang belum terkonfirmasi.
Kini, berkat kerja keras dan kegigihan František Vejmělka, untuk pertama kalinya publik dapat melihat seperti apa rupa hewan ini. Foto-foto dan rekaman video yang diambil di ketinggian 3.700 meter memperlihatkan bagaimana tikus berbulu tebal ini menjelajahi lanskap pegunungan yang diselimuti kabut—muncul bagaikan sosok dari mitos yang mendadak menjadi nyata.
“Sungguh mencengangkan bahwa hewan sebesar dan seunik ini bisa begitu luput dari perhatian sains. Ini membuat saya bertanya-tanya—berapa banyak lagi kekayaan hayati di pegunungan tropis yang masih tersembunyi?” ujar Vejmělka.
Tak hanya menghadirkan visual pertama dari Mallomys istapantap, ekspedisi ini juga berhasil mengungkap informasi baru yang sangat berharga. Vejmělka mencatat pengukuran biometrik jantan pertama, merekam pola makan berdasarkan sisa pencernaan, mengidentifikasi parasit yang ditemukan pada tubuh hewan, mendokumentasikan pola aktivitas malam hari, serta memetakan jalur pergerakan di lanskap pegunungan. Data ini membantu mengisi kekosongan pengetahuan tentang spesies yang sebelumnya hanya dikenal lewat dugaan dan cerita rakyat.
Raksasa berbulu di pegunungan terjal
Tikus-tikus berbulu lebat di Nugini (Mallomys) bersama dengan tikus awan raksasa Filipina merupakan kelompok hewan pengerat (rodensia) terbesar di dunia dari kelompok murine. Mereka hanya ditemukan di pegunungan curam Pulau Nugini, yang masih ditutupi hutan hujan perawan.
Di kawasan ini, karena tidak adanya mamalia plasental pesaing seperti yang ada di benua lain, tikus-tikus ini berevolusi selama sekitar lima juta tahun menjadi berbagai bentuk dan spesies yang luar biasa. Mereka mengisi berbagai relung ekologi yang di benua lain biasanya diisi oleh tupai, kelinci, atau bahkan herbivora kecil.
Mallomys istapantap hidup tersembunyi di wilayah yang sangat sulit diakses. Hewan ini aktif di malam hari, memanjat pohon untuk mencari makan, dan bersembunyi di liang bawah tanah atau tajuk pohon di siang hari. Mereka adalah herbivora murni, memakan berbagai bagian tumbuhan.
Dengan panjang tubuh total 85 cm (termasuk ekor), berat hingga 2 kg, cakar sepanjang 8 cm, bulu tebal seperti wol, dan gigi seri yang kuat, hewan ini tampak gagah sekaligus misterius. Namun, perilaku nokturnal dan medan habitat yang sulit membuat pengamatan langsung sangat jarang dilakukan.
“Jika bukan karena pemburu adat yang mendampingi saya di pegunungan dan membantu saya menemukan jejak hewan ini, saya tak akan mungkin bisa mengumpulkan data ini,” ungkap Vejmělka.
Dalam ekspedisi selama enam bulan, ia bekerja erat dengan beberapa komunitas adat setempat saat melakukan survei keanekaragaman mamalia di Gunung Wilhelm (4.509 m), puncak tertinggi di Papua Nugini. Dari kaki hingga puncak gunung, ia mendokumentasikan dan mengidentifikasi secara genetik sebanyak 61 spesies mamalia non-terbang (termasuk rodensia dan marsupial).
Penelitian ini memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman tentang keanekaragaman hayati pegunungan tropis Papua Nugini, wilayah yang selama ini jauh lebih sedikit dipelajari dibandingkan pegunungan tropis di Amerika, Afrika, atau Asia Tenggara.

Yang tak kalah penting adalah kolaborasi erat dengan komunitas lokal. Lewat penelitian seperti ini, penduduk adat juga mendapatkan pengetahuan baru tentang warisan alam yang unik di tanah mereka, serta tentang pentingnya melindungi habitat tersebut dari ancaman yang kian meningkat, misalnya dari ekspansi pertambangan.
Meski telah ada dokumentasi baru tentang Mallomys istapantap, masih banyak misteri yang tersisa. Dibandingkan dengan spesimen museum, peneliti menduga ada lebih dari satu spesies Mallomys yang belum teridentifikasi secara resmi, perbedaan morfologi tengkorak dan warna bulu di berbagai wilayah pegunungan mengisyaratkan potensi keanekaragaman tersembunyi.
Namun, para ahli konservasi khawatir bahwa banyak kerabat yang belum terdeskripsi ini bisa lenyap sebelum mereka sempat diberi nama. Perubahan iklim telah mendorong batas suhu ke ketinggian yang lebih tinggi, menyusutkan habitat dingin yang dibutuhkan oleh spesialis subalpine seperti Mallomys.
Sementara itu, izin eksplorasi tambang kian merangsek ke hutan-hutan perawan yang dulu terlindungi oleh keterpencilannya.
Data lapangan yang dikumpulkan tahun 2024 ini memperkuat argumen bahwa kawasan-kawasan di atas 3.000 meter harus diprioritaskan sebagai suaka alam—tempat garis keturunan kuno seperti Mallomys istapantap terus bertahan.
Sumber: mongabay.co.id
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom