Jelang Jambi Cultural Festival 2025, Mari Kita Intip Karya 4 Koreografer Muda di Pulau Sumatera
BICARA PANGGUNG - Jambi Cultural Festival (JCF) 2025 bertema 'Suku Pedalaman Harmoni Alam' akan berlangsung pada 3-4-5 Oktober 2025 di Taman Budaya Jambi.
Bagaimana tentunya sudah tidak sabar lagi untuk menyaksikan karya koreografer muda yang berasal dari 4 provinsi di pulau Sumatera.
Nah, sebelum kita melihat aksinya di panggung, mari kita intip sedikit jelang Jambi Cultural Festival 2025.
Koreografer: Bade Arrasyid
Asal Provinsi Aceh
Berjudul "Remedy"
Remedy hadir sebagai suatu wadah untuk membincangkan persoalan rusaknya keseimbangan ekologi yang terjadi di Danau Laut Tawar. Berbentuk karya eksperimental, pengkarya dengan pengalaman tubuh tradisional mengajak audiens untuk mempertanyakan kembali sepenting apa sebuah ekosistem itu dijaga.
Koreografer: Ahmad Ghozali
Asal Mentawai-Provinsi Sumatera Barat
Berjudul " Bit-bit"
Bit – bit sebagai interpretasi harapan dan doa. Karya ini sebagai bentuk respon terhadap keresahan melihat kondisi alam saat ini. Kalau tidak ada hutan dimana kita cari roh, dimana kita cari obat, dimana kita cari makan, dimana kita cari kehidupan. Setiap ranting adalah hikmah yang terukur, hutan bukan hanya sekedar pohon, tetapi nafas dan kehidupan kami.
Koreografer: Ahmad Susantri
Asal Provinsi Lampung
Berjudul "Terjerat"
Karya ini terinspirasi dari kedekatan masyarakat Lampung Barat dengan Harimau. Sebagai leluhur ia lah penjaga, namun kini hadirnya tak jarang menjadi petaka. Mengapa, kenapa, dan bagaimana kronologinya? Jika masa depan adalah jawaban hari ini dan masa lalu adalah pembelajaran yang berarti, maka apa yang harus kita perbuat kini?
Koreografer: Tiara
Asal Provinsi Jambi
Berjudul “AWO”
Awo adalah kami Suku Kubu, masyarakat asli yang hidup di tanah leluhur Jambi. Mereka menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam, pepohonan adalah rumah, daun-daun adalah selimut, dan akar-akarnya adalah penyembuh luka. ketika hutann sekarat, Awo menghadapi pilihan getir apakah akan berpegang pada aturan, atau menghancurkan batasan itu sendiri demi menyelamatkan nyawa yang tersisa. serpihan kayu bagai pusara kecil, menandai tempat di mana sisa harapan terakhir yang bisa kami perjuangkan."
Bagaimana bikin penasaran bukan? maka jangan terlewatkan untuk menyaksikan Jambi Cultural Festival (JCF) 2025 di Taman Budaya Jambi, Gratis!
Jambi Cultural Festival digagas oleh Asosiasi koreografer muda Jambi, merupakan Asosiasi yang terdiri dari koreografer profesional, produser, dan akademisi yang bersinergi membangun ekosistem seni yang mapan.
Kegiatan yang didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jambi melalui UPTD Taman Budaya Jambi ini akan diikuti oleh 4 Koreografer berbakat di pulau Sumatera, yaitu provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jambi dan Lampung.
Tim kerja JCF 2025, Selain IcaLago selaku Manager produksi, Mugi Ari Saputra selaku Direktur Festival, Sedangkan Mentor karya: Wulanjani dan Raflesia, pengawas: Herman, sekretaris: Zihan, Bendahara: Monic, dan Konsultan: Dr. Sri Purnama Syam, S. St., M. Sn (Kepala Taman Budaya Jambi)
Latar belakan JCF 2025 ialah Provinsi Jambi, dengan kekayaan alam dan budayanya yang melimpah, tidak luput dari tantangan ini. Hutan tropis dan sungai-sungai yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat kini menghadapi ancaman serius akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.
Deforestasi, kebakaran hutan, dan polusi sungai telah menjadi masalah akut di Jambi. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Jambi kehilangan ribuan hektar hutan setiap tahun akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kebakaran hutan dan lahan, terutama selama musim kemarau, tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat akibat kabut asap. Sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera, juga mengalami pencemaran berat akibat limbah industri dan sampah domestik, mengancam ekosistem perairan dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya.
Di sisi budaya, suku-suku pedalaman Jambi, seperti Suku Anak Dalam (Orang Rimba), memiliki kearifan lokal yang luar biasa dalam menjaga alam. Namun, budaya mereka terancam punah akibat modernisasi dan minimnya upaya pelestarian. Generasi muda semakin terpisah dari akar budaya mereka karena kurangnya edukasi dan ruang untuk mempelajari warisan leluhur. Aktivitas perkebunan dan pertambangan yang seringkali mengabaikan hak-hak adat suku pedalaman juga menyebabkan konflik sosial dan hilangnya kearifan lokal dalam menjaga alam.
Dalam konteks inilah, “Jambi Cultural Fest 2025” hadir sebagai sebuah gerakan kolektif yang menggabungkan upaya pelestarian lingkungan dan budaya. Festival ini dirancang untuk menjadi platform solutif yang tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan dan perairan, tetapi juga memberikan ruang bagi suku pedalaman untuk mempromosikan dan melestarikan budaya mereka. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perusahaan, LSM, dan masyarakat, festival ini diharapkan dapat menciptakan sinergi yang kuat untuk bersama-sama menciptakan solusi berkelanjutan. (*/HN)
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom