'Perang Besar' Diantara Pesta dan (atau) Teater Dalam Rangka
Oleh Hendry Nursal*
"Mohon penonton agar tidak berlalu Lalang sat
pertujukan sedang berlangsung, baiklah...Inilah peserta selanjutnya, Festival
Monolog Tahun 2025 di Taman Budaya Jambi, Selamat Menyaksikan!" Begitulah
seruan IcaLago selaku pemandu acara yang diikuti dengan padamnya pencahayaan
ruang Gedung Teater Arena.
Perlahan pencahayaan Kembali menyala beriringan dengan
alunan lembut musik, tampak seorang aktris duduk sembari menutup kepala
diantara dua lutut kakinya. Sementara seisi Gedung sangat sunyi tapi masih
terlihat samar-samar penonton yang berada disisi kiri dan kanan panggung, juga
depan termasuk diantaranya tiga dewan juri yaitu: Didin Siroz, Ikhsan Satria
Irianto, dan Ady Santoso.
Penonton yang telah bersiap menyaksikan pertunjukan lumayan
memadati Gedung berkapasitas lebih kurang 300 orang tersebut, namun tetap
terlihat penonton masih berdatangan dari pintu di sisi kiri maupun kanan.
Begitu besar animo dan respon, terlepas karena faktor kenal atau berasal dari
Institusi yang sama dengan peserta maupun tidak.
Diambil dari berbagai sumber Teater adalah bentuk seni
pertunjukan yang melibatkan aktor langsung yang menyajikan cerita di hadapan
penonton, seringkali di atas panggung. Secara etimologis, kata
"teater" berasal dari bahasa Yunani "theatron" yang berarti
"tempat untuk menonton". Selain itu, "teater" juga dapat
merujuk pada gedung atau tempat di mana pertunjukan berlangsung, serta seni itu
sendiri sebagai profesi atau disiplin ilmu.
Beberapa makna dan konsep teater, yaitu Seni pertunjukan:
Teater adalah seni kolaboratif di mana aktor menyampaikan pengalaman nyata atau
imajiner melalui kombinasi gerakan, dialog, lagu, musik, dan tarian; Fungsi
teater: sebagai sarana hiburan, penyampaian pesan moral, serta untuk
menyampaikan pengetahuan tentang sejarah, budaya, atau nilai-nilai kehidupan.
Teater (Inggris: theater atau theatre; Prancis théâtre;
bahasa Yunani theatron (θέατρον) adalah salah satu seni bermain peran (drama)
yang menyajikan cerita kehidupan nyata di atas pentas. Jalan cerita yang
disajikan biasanya mengandung pesan moral yang tersirat dan bisa dijadikan
pelajaran kehidupan oleh para penonton.
Teater adalah cabang kesenian yang lahir pada masa Yunani
klasik. Pada masa itu, sekitar 500 tahun SM dimainkan di atas altar oleh
pendeta-pendeta dan salah satu adegannya adalah upacara memberi kurban pada
dewa. Hingga kemudian bentuk itu berubah pada masa Athena, kurban diganti oleh
peran antagonis yang dihukum atas dasar kehendak masyarakat dan mati bagi semua
orang.
Dalam makna tersebut teater modern Indonesia dipahami secara
konseptual (teater realis) dimulai sejak Usmar Ismail dan Asrul Sani mendirikan
ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) pada 10 September 1955 di Jakarta.
Sejak itu bentuk teater di Indonesia mengalami perubahan yang cukup mendasar
dibandingkan dengan bentuk-bentuk tradisionalnya, seperti Randai, Ludruk,
Mahyong, Ketoprak, dan Ledhek.
Seni teater adalah jenis kesenian pertunjukan drama yang
dipentaskan di atas panggung. Secara spesifik, seni teater merupakan sebuah
seni drama yang menampilkan perilaku manusia dengan gerak, tari, dan nyanyian
yang disajikan lengkap dengan dialog dan akting.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teater
mempunyai tiga pengertian, yakni gedung atau ruangan tempat pertunjukan film,
sandiwara, dan sebagainya. Selanjutnya, pengertian kedua adalah ruangan besar
dengan deretan kursi-kursi ke samping dan ke belakang untuk mengikuti kuliah
atau untuk peragaan ilmiah. Pengertian terakhir ialah pementasan drama sebagai
suatu seni atau profesi, seni drama, sandiwara, dan drama.
Secara etimologis, kata teater dapat diartikan sebagai
tempat atau gedung pertunjukan, sedangkan kata teater secara istilah diartikan
sebagai segala hal yang dipertunjukkan di atas panggung untuk konsumsi
penikmatnya.
Sedangkan Monolog atau swacakap adalah istilah keilmuan yang
diambil dari kata mono yang artinya satu dan log dari kata logos yang artinya
ilmu. Secara harfiah, monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan
tentang seni peran, di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk
melakukan adegan atau sketsa. Meski begitu, monolog dapat dikategorikan dalam
drama. Perbedaan monolog dengan drama terletak pada jumlah aktor atau pemain.
Pada monolog, aktor dituntut untuk menafsirkan sendiri naskah melalui gerakan
dan dialog agar dapat tersampaikan kepada penonton.
Secara sederhana, monolog bisa dijelaskan sebagai cara untuk
menyampaikan pesan dengan satu pembicara dalam gerakan yang sesuai dengan isi
pernyataan. Ini sejalan dengan definisi monolog dalam KBBI, yang menggambarkan
monolog sebagai adegan di mana hanya ada satu pelaku yang membawakan percakapan
seorang diri.
Monolog sudah diperkenalkan sejak tahun 1960-an. Pada saat
itu, pertelevisian tidak mengenal pengisian suara sehingga monolog banyak
dipraktikkan untuk membuat film komedi atau horor.
Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood sekitar
tahun 1964, kemudian berkembang menjadi sarana seni dan teater yang sudah
menjadi salah satu teori atau pembelajaran dari karya seni teater. Salah satu
penggagas monolog yang terkenal adalah Charlie Chaplin.
Dalam teater Yunani kuno, asal mula drama barat, aturan tiga
aktor konvensional didahului oleh aturan dua aktor, yang didahului oleh
konvensi di mana hanya seorang aktor tunggal yang akan muncul di panggung,
bersama dengan paduan suara. Oleh karena itu, asal mula monolog sebagai
perangkat dramatis tidak berakar pada dialog. Sebaliknya, justru sebaliknya;
dialog berevolusi dari monolog.
Teater Romawi kuno menampilkan monolog secara ekstensif,
lebih umum daripada teater Yunani Kuno atau teater modern. Salah satu tujuan
utama monolog ini adalah untuk menunjukkan berlalunya sejumlah waktu yang
signifikan (yang akan membosankan untuk benar-benar dimainkan secara real time)
dalam suatu adegan. Jenis monolog ini disebut sebagai monolog penghubung. Jenis
monolog lainnya termasuk "monolog pembuka" dan monolog penutup.Dalam
setiap kasus ini, fungsi utamanya adalah menunjukkan berlalunya waktu.
Sejak teater Renaisans, monolog umumnya berfokus pada
karakter yang menggunakan pidato panjang untuk memenuhi kebutuhan dramatis
mereka. Di sisi lain, teater postmodern sering kali merangkul aspek performatif
dari monolog, bahkan sampai menantang batas antara penggambaran karakter
(misalnya akting) dan pidato autobiografi.
Festival Teater Remaja berupa monolog yang digelar Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jambi melalui UPTD Taman Budaya Jambi (TBJ),
pada 5-7 November 2025 sepertinya memang sudah ditunggu-tunggu oleh peserta.
Apalagi dengan adanya kategori terpisah antara pelajar dan umum, menambah
tinggi daya tariknya bagi calon peserta.
Terbukti jika menilik ke tiga tahun belakangan, pada tahun
2022 masih satu kategori yaitu Remaja, 14 Komunitas. Tahun 2023 juga satu
kategori, peserta berjumlah 30 Komunitas. Tahun 2024 dengan dua kategori,
peserta berjumlah 32 Komunitas; 19 berasal dari pelajar dan 13 peserta umum.
Luar biasanya di tahun 2025 peserta melonjak tinggi berjumlah 74 Komunitas; 49
Pelajar dan 24 umum.
Mengutip dari tulisan Ady Santoso berjudul Getaran
Kegairahan; Hantaran Persiapan Pengalaman Berkesenian dalam Festival Monolog
Taman Budaya Jambi 2025 "pesan kegembiraan menjadi penekanan, yang mana
agar seluruh para peserta menjalankan festival ini dengan penuh kegembiraan.
Pesan yang singkat namun mampu memberikan penyemangat kepada peserta agar
mempersiapkan pertunjukan terbaiknya dengan penuh kegembiraan. Kegembiraan yang
memang mestinya tampak jelas bahwa festival ini bukan hanya ajang tampil,
melainkan juga menjadi ruang penyatuan energi seni, ruang pertemuan berbagai
kreasi, ruang pertumbuhan dari para penyangga seni yang terdapat di Provinsi
Jambi. Oleh karenanya, perlu kemudian agar setiap peserta mengetahui, bahwa
bukan hanya tampil pentas monolog saja, namun juga sikap hormat terhadap sesama
pelaku seni dan terjalinnya sarana silahturahmi"
Tentunya ini menjadi catatan penting, kita bisa sebut
sebagai prestasi tinggi dan berkembangnya pembinaan talenta muda di kota Jambi
khususnya. Apakah karena berbentuk monolog menjadi meledaknya jumlah peserta?
mengingat di tahun 2022 dan 2023 bersifat pertunjukan teater lengkap (full
play) bukan monolog, frasa atau fragmen dari pertunjukan/ naskah tertentu,
sedangkan 2024 dan 2025 berupa monolog.
Ini adalah pesta besar, pesta kebahagiaan bagi penggiat
teater di Taman Budaya Jambi. 74 Komunitas bukan jumlah yang kecil, mereka
datang menggunakan baju komunitas bukan personal, meskipun aktor tampil monolog
di panggung, tetap saja melibatkan beberapa orang lainnya (diluar tenaga
teknis) dalam persiapan artistik, pemusik, dan lainnya.
Penulis tidak sedang membahas kualitas tampilan peserta,
tidak juga mencurigai kuantitasnya. Sangat yakin seluruh peserta memegang kata
dalam dirinya, bahwa festival ini ajang kreativitas, ajang mengasah diri. Dan
akhirnya berharap bisa menjadi pemikiran bersama, menyatukan kecintaan terhadap
tumbuh kembangnya dunia teater di Jambi.
Jika ini menjadi pertanda kebangkitan, maka 'perang besar'
yang sedang menanti. Perang dalam artian harus disambut dengan cepat, dikejar
dengan tepat pula agar mendapat pembinaan, pelatihan dan pendampingan dari para
penggiat teater di kota Jambi khususnya. Sehingga talenta muda yang datang ke
panggung Monolog di Taman Budaya Jambi, tetap terjaga, tetap terbina, dan yang
paling penting ialah tetap Ada!
Tetap ada? Tentu bisa dibilang menjadi poin terpenting,
sebab sangat disayangkan kalau komunitas itu bermunculan hanya pada saat
festival saja, lebih kocaknya lagi jika nama komunitas malah berganti di tahun
berikutnya. Jadi teringat kata "Teater dalam Rangka" dari Ide Bagus
Putra, Seniman teater yang saat ini lebih konsen di dunia sastra yaitu puisi.
Hanya dalam rangka lomba, festival, kegiatan-kegiatan
seremonial dan banyak lagi. Sangat tidak diharapkan, kalau berpikir pembinaan
untuk jangka Panjang, untuk masa depan, untuk generasi penerus seni Teater di
Jambi. Sangat jelas hanya dikejar gengsinya saja, atau hadiah saja, bisa jadi
sebagai cara mendapatkan pengakuan? kalau di kategori pelajar, preseden buruk
jika peserta datang dan berkompetisi karena terpaksa, karena sebagai bentuk
kepatuhan pada gurunya bahkan di lain sisi ada juga hanya bentuk pembuktian.
Pembuktian atas apa, untuk apa? itu malah menjerumuskan pada
kesombongan, yang ingin menunjukan kalau 'AKU' bisa, mampu, terpandang hebat di
panggung. Bukan disini tempatnya, bukan di suatu kompetisi. Kita berharap
peserta yang datang di festival adalah mereka-mereka yang berbahagia, berpesta bersama
di panggung teater merayakan silaturahmi besar, merayakan indahnya kreativitas
talenta muda.
Bukankah soal menang kalah itu biasa, soal juara hanyalah
bonus dari proses yang dipersiapkan, dari pencarian, penggalian serta penemuan
karakter tokoh dalam naskah dan membawa berlibur sejenak dari realita hidup ke
dalam cerita khayalan sang pengarang.
Semoga saja peserta datang bukan hanya mengejar gengsinya
apalagi hadiahnya, namun menjadi bagian dari proses mengasah kemampuan dirinya
berada di panggung festival umumnya dan teater khususnya. Sehingga menampilkan
yang terbaik dari hati dan jiwa terdalam, maksimal, dan menikmati buah dari
lelahnya Latihan menggali karakter tokoh dalam naskah.
Harapannya tujuan penyelenggaraan dari Taman Budaya Jambi
benar, benar-benar dan sebenarnya dapat diraih, yaitu Mendorong dan
mengembangkan potensi seni generasi muda di bidang seni, Menyalurkan bakat seni
generasi muda, Mengenalkan budaya melalui peningkatan apresiasi dan kreativitas
di bidang seni, Membangun ekosistem seni secara berkesinambungan.
Sehingga "Perang Besar" terwujud, tidak hanya
sebatas Teater Dalam Rangka, tidak hanya sebatas panggung festival ini saja,
maka generasi penerus Teater di Jambi berikutnya akan lahir mewarnai khasanah
seni teater di masa mendatang.
Selamat kepada seluruh peserta yang telah berpesta dan
merayakannya berbalut silaturahmi. Bagi para pemenang ini adalah awal bukan
akhir, jangan berkecil hati untuk yang belum beruntung. Terus berkarya, maju
terus seni dan budaya Jambi, terima kasih Taman Budaya Jambi!
*Penulis adalah Wartawan dan Penggiat Seni, tinggal di
Jambi
Referensi:
Niswan, Muhamad; Bilada, Hirar; Sukarelawati,
Sukarelawati (2018-10-18). "Hubungan Pertunjukan Teater dengan Perilaku
Penonton". JURNAL SOSIAL HUMANIORA (dalam bahasa Inggris). 9 (2): 139.
doi:10.30997/jsh.v9i2.1381. ISSN 2550-0236. Diarsipkan dari asli tanggal
2020-10-22. Diakses tanggal 2021-01-17.
Sahrul (2017). Teater dalam Kritik. Padangpanjang: ISI
Padangpanjang. hlm. 3. ISBN 978-602-60147-9-5. Diarsipkan dari versi aslinya
tanggal 2023-04-16. Diakses tanggal 2021-01-18.
"Arti kata swacakap". Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. KBBI Daring. Diakses tanggal 15 Oktober 2020.
"Monolog: Pengertian, Aspek, Ciri, Jenis, dan Buku
Rekomendasi". Gramedia Blog. Diakses tanggal 07 Juni 2024.
Csapo, Eric; Miller, Margaret C. (2007-01-15). The
Origins of Theater in Ancient Greece and Beyond: From Ritual to Drama (dalam
bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-83682-1.
Kuritz, Paul (1988). The Making of Theatre History (dalam
bahasa Inggris). PAUL KURITZ. ISBN 978-0-13-547861-5.
Prescott, Henry W. (1939-01). "Link Monologues in
Roman Comedy". Classical Philology. 34 (1): 1–23. doi:10.1086/362195. ISSN
0009-837X.
Prescott, Henry W. (1939-04). "Link Monologues in
Roman Comedy". Classical Philology. 34 (2): 116–126. doi:10.1086/362225.
ISSN 0009-837X.
Prescott, Henry W. (1942-01). "Exit Monologues in
Roman Comedy". Classical Philology. 37 (1): 1–21. doi:10.1086/362568. ISSN
0009-837X.
Geis, Deborah R. (1993). Postmodern theatric(k)s:
monologue in contemporary American drama. Theatre--theory/text/performance. Ann
Arbor: University of Michigan Press. ISBN 978-0-472-10467-3.
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom

.jpeg)

.jpeg)
.jpeg)

.jpeg)

