Friday, November 21, 2025

Setan Tergusur, Manusia Tertawa: Catatan dari Diskusi Setan


Oleh: Oky Akbar


Belakangan ini ruang publik kita dipenuhi oleh isu mengenai tanah kosong yang tidak kunjung dikelola pemiliknya. Tanah-tanah yang dibiarkan tidur puluhan tahun tiba-tiba disorot sebagai aset "menganggur" yang dapat disita negara atas nama produktivitas dan kepentingan umum. Narasinya sederhana, tanah pribadi yang tidak produktif adalah lahan basah yang terbengkalai. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan pertanyaan lebih dalam. Tanah itu sebenarnya milik siapa dan siapa pula yang memiliki legitimasi untuk mengolahnya?


Jika tanah kosong menjadi perdebatan serius karena tidak dimanfaatkan, maka ‘rumah’, meskipun sama-sama tidak berpenghuni, posisinya berbeda. Sebuah rumah tetaplah rumah, tempat yang selalu diasosiasikan dengan kehadiran pemiliknya, sekalipun fisiknya telah lama ditinggalkan. Kenyataannya, rumah-rumah kosong juga kerap menemukan "penghuni baru". Penguni baru memanfaatkannya sebagai tempat bernaung. Rumah-rumah itu seolah hidup kembali dan menghadirkan jejak aktivitas. Penghuni baru bertahan bukan sehari dua hari, melainkan bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun sampai identitas ruang berubah mengikuti mereka.


Di titik inilah, persoalan menjadi rumit. Ketika pemilik asli, suatu hari kembali menuntut haknya, lalu siapa sebenarnya pemiliknya? Rumah yang ditinggalkan belasan tahun dan kemudian dihuni komunitas tertentu sesungguhnya mengalami alih kuasa yang tidak diakui secara hukum, tetapi kuat secara sosial. Bukankah pola semacam ini serupa dengan lahan kosong yang digarap masyarakat puluhan tahun dan justru kemudian diambil kembali dengan dalih penertiban aset? Dalam kasus-kasus seperti itu, muncul tudingan perampasan atau penguasaan aset oleh pihak yang lebih berkuasa, sedangkan mereka yang menghidupkan ruang itu justru dipinggirkan dan dianggap korban.


Pertanyaan-pertanyaan di muka membuka ruang renungan tentang relasi manusia dan tempat tinggal, tentang siapa yang berhak atas ruang yang diam, tetapi hidup oleh jejak penghuninya. Isu-isu semacam ini, yang tampak sederhana, tetapi sesunggunnya memuat konflik sosial yang rumit.


Rasa-rasanya, Teater AiR Jambi cukup jeli membaca konteks sosial yang tengah panas. Dengan kecerdikan, polemik tanah dan rumah kosong itu justru dihadirkan melalui logika yang konyol, absurd, dan sengaja dilebih-lebihkan. Aldi Muheldi, yang dikenal sebagai salah satu penulis naskah paling kuat dari komunitas ini menjawab fenomena tersebut lewat naskah berjudul Diskusi Setan. Sebuah karya absurd yang memindahkan persoalan sangat manusiawi ke meja perdebatan para makhluk gaib.


Dalam naskah Diskusi Setan, ruang diskusi dibuka oleh para setan yang tengah panik. Mereka bukan sedang merencanakan kejahatan, melainkan mencari cara mempertahankan rumah kosong yang selama ratusan tahun telah menjadi tempat tinggalnya. Rumah itu segera diambil alih oleh pemilik aslinya dan akan diubah menjadi hotel bintang lima. Di sinilah absurditas mulai bekerja.


Bagaimana mungkin, setan, makhluk yang diyakini dapat berpindah tempat sesuka hati, tiba-tiba kebingungan mencari rumah baru? Pertanyaan satir ini justru menjadi kunci kritik naskah. Mengapa para setan dibuat gelisah oleh ancaman penggusuran? Mengapa mereka begitu bersusah payah mempertahankan rumah yang sejatinya bukan milik mereka? Lalu, mengapa rumah kosong yang selama ratusan tahun mereka huni tiba-tiba berubah menjadi aset berharga? Absurd memang, tetapi absurd itu menjadi jendela kritik yang lebih luas.


Dari sini, titik ironi naskah bekerja dengan paling tajam. Jika benar rumah itu hendak dijadikan hotel bintang lima, bukankah secara satir hotel justru menjadi ruang yang ideal bagi “para setan”? Hotel, dalam imajinasi populer kita, seringkali lekat dengan ruang liminal, tempat segala hal yang samar dan remang. Oleh sebab itu, menjadi lucu sekaligus menggelitik ketika para setan dalam naskah ini justru kehilangan tempat tinggalnya, yang secara simbolis lebih “dunia mereka” daripada rumah kosong yang selama ini mereka tempati.




Satir hotel bukan sekadar humor. Ini pukulan halus terhadap cara masyarakat memaknai ruang. Rumah kosong dianggap tidak produktif, tetapi hotel dianggap sebagai pembangunan. Kehadiran setan dianggap gangguan, tetapi praktik-praktik yang secara moral lebih gelap justru dilegalisasi dalam ruang komersial. Dengan memutar logika ini, naskah Diskusi Setan membuka celah untuk melihat kembali bagaimana kekuasaan menentukan siapa yang memiliki hak tinggal, siapa yang harus pergi, dan ruang mana yang dianggap layak atau tidak untuk dihuni.


Diskusi Setan kemudian diwujudkan dalam pertunjukan berdurasi sekitar lima puluh menit. Sutradara, Rani Iswari memilih cara yang cerdas untuk merepresentasikan rumah kosong dengan visualisasi teknologi digital. Sebuah proyeksi rumah besar, megah yang terbengkalai, dan auranya menyiratkan ruang yang telah lama ditinggalkan. Pada bagian depan panggung, dua pohon besar berdiri kokoh di sisi kiri dan kanan. Pohon-pohon itu berlubang di bagian bawahnya, membentuk celah yang sengaja dirancang untuk menjadi pintu masuk para aktor. Dari lubang-lubang inilah para “setan” bermunculan, menciptakan kesan bahwa mereka benar-benar berasal dari kedalaman tanah atau ruang-ruang tidak terlihat yang selama ini dianggap sebagai dunia mereka. Pemanfaatan elemen pohon ini sangat efektif dalam membangun atmosfer mistis sekaligus lucu yang bergerak di antara horor dan humor.


Penampilan para setan dibuat jauh dari impresi glamor makhluk gaib dalam film-film komersial. Tata busana mereka disusun dari bahan karung goni dan robek di beberapa bagian, yang memberikan kesan kumuh dan tidak terurus, seolah-olah mereka benar-benar penghuni lama rumah tua yang tidak pernah tersentuh peradaban modern. Rias wajahnya mempertegas karakter. Luka-luka artifisial, garis-garis kotor di pipi, dan mata yang dipasangi eye set berwarna merah membuat para aktor tampil sebagai sosok yang menakutkan dalam kejanggalan penampilan mereka.


Secara visual, pertunjukan menawarkan daya tarik artistik yang kuat. Proyeksi rumah tua, kehadiran dua pohon raksasa, dan tata busana berbahan karung goni membentuk lanskap panggung yang memikat mata. Namun, di balik kekuatan visual tersebut, terdapat celah yang terasa jelas dalam komposisi penempatan pemain dan pola panggungnya. Banyak adegan memperlihatkan para aktor berada dalam satu garis kesejajaran yang sama, seolah menumpuk dalam satu dimensi panggung. Penataan ini membuat dinamika pergerakan terasa datar dan ruang panggung yang sesungguhnya luas menjadi tampak sempit.


Keseragaman warna kostum semakin menguatkan kesan “penumpukan”. Ketika para pemain berdiri berdekatan dalam satu level, warna yang seragam membuat tubuh mereka menyatu secara visual, kehilangan kedalaman, dan menimbulkan efek blok besar yang menonjol. Alih-alih menegaskan keberagaman karakter setan, komposisi yang homogen ini justru membuat mereka tampak seperti satu massa yang bergerak tanpa diferensiasi. Padahal, dengan sedikit variasi level, jarak, atau arah pandang, para setan dalam naskah ini sebenarnya bisa diberi identitas visual yang berbeda dan lebih kaya.


Dalam permainan, muncul kesan kuat bahwa para aktor seperti berlomba-lomba ingin menyampaikan dialognya masing-masing. Ritme tutur dialog terasa datar karena mengikuti pola yang hampir sama di sepanjang pertunjukan, tenang, lalu memuncak, kemudian dipatahkan, dan kembali tenang. Pola ini berulang begitu saja. Akibatnya, intensitas dramatik yang seharusnya tumbuh secara organik justru menjadi repetitif. Alih-alih membangun dinamika yang mengalir, dialog para aktor terdengar seperti pembagian porsi yang dibuat merata, seolah semua aktor harus mendapatkan jumlah kata dan momentum emosi yang sama.


Masalahnya, bukan semata pada repetisi, melainkan juga pada cara pematahan dialog yang tidak didukung oleh gestur, vokal atau tanda-tanda dramatik lain yang bisa memberikan tekanan emosional. Setiap kali dialog mencapai titik puncak, pematahannya tidak dibarengi penguatan aksi. Tidak ada perubahan posisi panggung, tidak ada penekanan suara, tidak ada gestur yang memperjelas konflik. Momen pematahan itu terasa seperti proses administratif, sekadar menyelesaikan giliran berbicara, bukan menyelesaikan ketegangan dramatik.


Ketiadaan “penanda kekuatan” membuat konflik yang sebenarnya potensial menjadi tidak bertaji. Padahal, dalam naskah absurd seperti Diskusi Setan, permainan ritme, memuncak lalu runtuh, bisa menjadi alat humor yang sangat efektif. Tanpa pendalaman gestur dan vokal, ritme itu tidak pernah benar-benar hidup. Setiap aktor tampil seperti memikul tanggung jawabnya masing-masing untuk menyampaikan bagian dialog, bukan sebagai satu kesatuan yang membangun konflik bersama.


Setiap aktor dalam pementasan ini pada dasarnya dirancang untuk mewakili ragam sosok setan dengan karakter yang berbeda-beda. Namun, diferensiasi itu kemudian tertutup oleh pemilihan kostum yang seragam. Semua setan hadir dengan warna dan tekstur yang sama membuat identitas masing-masing karakter seolah dibatalkan sejak awal. Satu-satunya pengecualian adalah sosok setan berwarna merah yang tampil mencolok dan langsung menjadi pusat perhatian. Penonjolan karakter ini menegaskan ketimpangan visual.




Selain persoalan visual, pemilihan dialek dalam dialog juga menambah lapisan tafsir yang kompleks. Beberapa aktor menggunakan dialek daerah, terutama dialek Jawa yang terdengar sangat kentara. Tokoh manusia—seorang dukun yang menyamar sebagai setan—justru menggunakan dialek Jawa secara konsisten. Kehadiran dialek ini memberi warna komedi, tetapi sekaligus menggeser makna ke arah yang mungkin tidak disengaja. Dukun tersebut, yang dikirim oleh seorang kontraktor untuk mengusir para setan, menjadi representasi “manusia penyelundup” dalam dunia para makhluk gaib. Namun, dengan pilihan dialek Jawa, muncul pertanyaan kritis. Apakah konteks Jawa dimaksudkan mewakili kepentingan tertentu? Apakah dialek itu dipakai sebagai simbol kuasa budaya tertentu atau sekadar pilihan estetis tanpa pertimbangan konteks?


Dalam ruang pertunjukan, penggunaan dialek Jawa sebagai identitas tokoh membawa lapis sosial budaya yang tidak sepenuhnya netral. Alih-alih memperkaya gagasan, pemilihan dialek ini justru menghadirkan penafsiran baru yang mungkin tidak diantisipasi. Seolah-olah “yang mengusir” dan “yang berkuasa” dilokalisasi pada identitas tertentu. Pertanyaannya kemudian, apakah dialek Jawa dapat menjadi representasi universal dalam konteks cerita yang berbicara tentang perebutan ruang? Atau justru menghadirkan bias tafsir yang membuat karakter tersebut tampak lebih karikatural daripada fungsional? Pilihan ini tentu bukan kesalahan. Ini menjadi titik penting untuk dievaluasi. Dalam pertunjukan yang bertumpu pada satir dan absurditas, setiap elemen, termasuk bahasa, berpotensi membentuk makna yang jauh lebih besar daripada yang tampak di permukaan.


Pada akhirnya, pertunjukan “setan-setanan” ini menghadirkan warna baru dalam lanskap teater Jambi. Ia mematahkan paradigma umum penonton bahwa setan selalu identik dengan kengerian, kegelapan atau sosok yang menakutkan. Kawan-kawan Teater AiR justru memanfaatkan figur setan sebagai medium tafsir, sebagai cara untuk membalikkan logika moral yang selama ini kita anggap mapan. Dengan cerdas, mereka menempatkan setan sebagai makhluk yang bingung, terpojok bahkan mengalami penggusuran. Narasi ini menghadirkan perbandingan yang tipis. Manusia pun sering berperilaku lebih “setan” daripada setan itu sendiri.


Melalui absurditas naskah dan permainan satir, Diskusi Setan menegaskan bahwa kelicikan manusia dapat melampaui batas-batas yang selama ini dilekatkan pada sosok setan. Manusia tidak hanya mampu menipu sesamanya bahkan dapat memperdaya makhluk yang dikenal lihai dan penuh tipu muslihat. Manusia sanggup masuk ke wilayah para setan, mengatur pergerakan mereka hingga membuat para setan tidak menyadari bahwa di antara mereka ada penyusup. Pada titik ini, membuat kita bertanya, siapakah sebenarnya yang lebih setan? Ini pertunjukan yang akan selalu saya ingat sambil berpikir tentang siapa sebenarnya yang sedang ditertawakan.





Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!

Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com