Adakah yang Peduli Penderitaan Warga di Sekitar Industri Nikel?
BICARA LINGKUNGAN - Agus Salim, warga Desa Molino, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, kaget bukan kepalang saat pohon besar menabrak belakang rumahnya, dini hari, 21 Agustus lalu.
Kala itu, banjir bandang melanda pukul 00.45 WITA karena hujan deras mengguyur sejak 19.00 WITA, malam sebelumnya. Padamnya lampu menambah horor waktu itu.
Dia pun langsung terbangun dan berusaha membuka pintu gerbang, tetapi terhalang pohon besar. Satu-satunya jalan, memanfaatkan celah lubang tembok yang roboh.
Belum aman, pria 62 tahun itu terus berguling-guling di luar rumah. Dia kena hantam kayu-kayu besar lain yang terbawa arus banjir. Dia sempat merasa ajalnya tiba, karena seluruh area malam itu penuh lumpur dan gelap gulita.
Rumahnya yang terbuat dari papan pun hanyut terbawa arus. Beruntung, keluarganya tidak ada di rumah saat kejadian.
Salim pun berhasil selamat karena berpegangan pada ban mobilnya yang terdampar. Arus air sangat deras.
“Suara kayu dan pohon besar yang saling bertubrukan terdengar seperti suara senjata di tengah malam,” katanya.
Selama 10 tahun terakhir, setelah banyak perusahaan tambang nikel beroperasi dekat kampung, banjir bandang jadi bencana rutin. Longsor, buaya, dan krisis air menambah suram kehidupan warga.
Dewi, warga desa lainnya, menyebut banjir malam itu yang terparah sejak 4 tahun tinggal di Molino. Dia heran, banjir selalu terjadi di tengah malam.
“Selama empat tahun saya tinggal di sini, sudah tujuh kali banjir. Ini yang paling parah,” katanya.
Hampir semua warga desa meratap. Korban selamat mengalami syok berat. Tidak ada harta benda mereka yang selamat selain pakaian di badan. Desa Molino pun penuh material lumpur dan banjir.

Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Tidak ada yang peduli?
Kondisi di Molino merupakan potret kecil dampak industri nikel di Morowali Utara. Gambaran tak jauh beda terjadi di berbagai daerah tempat pengerukan dan proses pengolahan nikel di Indonesia.
Hampir dua dekade sektor sumber daya alam mineral nikel berjalan di Pulau Sulawesi sebagai wilayah dengan deposit nikel terbesar berada di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) mengalami rentetan masalah.
Masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan industri itu merasakan masa kelam. Deforestasi hutan untuk pembukaan lahan galian pertambangan nikel terus meluas di sepanjang wilayah timur Sulawesi; membentang dari Kabupaten Konawe Utara di Sultra hingga di ujung Kabupaten Morowali Utara di Sulteng.
Di sepanjang koridor timur Sulawesi itu itu, masyarakat hidup dengan banjir bandang, tanah longsor, krisis air bersih, gagal panen, gizi buruk (stunting), anak putus sekolah, dan konflik antara manusia dengan buaya. Makin parah lagi, bejibun pembangkit listrik batubara sebagai penyokong gerak industri ini menyebabkan polusi dari air sampai udara yang berujung pada kesehatan masyarakat jadi taruhan.
Belum lagi bicara lepas emisi karbon yang makin memperburuk krisis iklim dalam proses industri ini dari hulu ke hilir.
Dari tahun ke tahun petaka itu terus mengalami peningkatan seiring permintaan nikel dunia terus merangkak naik. Nikel jadi bahan baku penting untuk pembuatan baterai kendaraan listrik yang dapat label sebagai alat transportasi ‘rendah karbon.’
Label ‘transisi energi’ di tataran elit berwujud derita masyarakat dan lingkungan hidup dampak kehadiran industri penyokong ‘transisi energi’ ini.
Riset terbaru Climate Rights International memperkuat itu. Laporan ini menyuarakan kembali pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia industri ini. Buah dari pembiaran dan alpanya ketidakpedulian untuk mengub situasi.
Riset itu merupakan hasil observasi dan wawancara 93 masyarakat yang tinggal di sekitar tambang termasuk pekerja tambang di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Penggundulan hutan, kerusakan lingkungan, parahnya polusi udara dan air yang berdampak pada kesehatan, mata pencaharian masyarakat serta menimbulkan bencana tergambar dalam laporan tersebut. Lalu, perampasan lahan, tersingkirnya masyarakat adat, konflik antar manusia-satwa liar dan intimidasi hingga kriminalisasi oleh aparat.
Krista Shennum, peneliti CRI, menyebut, transisi energi global yang menjadi pemicu eksploitasi nikel, seharusnya tidak mendukung praktik-praktik merusak lingkungan yang selama ini terjadi di industri ekstraktif.
“Hak-hak masyarakat adat dan komunitas lain yang berada di garis depan penambangan mineral harus sepenuhnya dihormati,” katanya dalam peluncuran laporan, di Jakarta, 15 Oktober lalu.
Sejak 2016, katanya, pabrik peleburan nikel di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, dari dua jadi 60, meninggalkan jejak kerusakan di sepanjang perjalanannya. Indonesia memasok lebih dari setengah produksi nikel dunia.
Laporan lain menyatakan, ekspor produk turunan nikel mencapai US$38-40 miliar pada 2024.
CRI juga menyoroti pembangkit listrik batubara captive di smelter yang mencemari udara di tiga provinsi itu. Narasumber yang mereka temui mengaku khawatir terhadap risiko penyakit seperti gangguan pernapasan dan stunting karena debu dari PLTU captive dan aktivitas peleburan nikel.
Krista bilang, total kapasitas pembangkit listrik tenaga batubara yang terkait dengan proyek nikel di Indonesia 11,6 GigaWatt, dengan tambahan 5,5 GigaWatt dalam proses pembangunan dan 1,5 GigaWatt dalam tahap pra-izin.
PLTU dalam industri nikel, katanya, mencoreng ambisi transisi energi dan tak sejalan dengan Perjanjian Paris.
Nikel sebagai bahan baku kendaraan listrik yang dalihnya untuk mendukung transisi nergi justru berkontribusi pada emisi dalam jumlah besar dan memperparah krisis iklim.
“Jika sepenuhnya dikembangkan, kapasitas seluruh pembangkit ini akan setara dengan kapasitas semua pembangkit batu bara di Thailand dan Filipina yang digabungkan.”
Para pekerja tambang juga tak lepas dari persoalan HAM. Temuan CRI, para pekerja peleburan nikel di Sulawesi berhadapan dengan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang sistematis, termasuk risiko kesehatan dan keselamatan kerja.
Kalangan pekerja perempuan menghadapi risiko tambahan, termasuk diskriminasi berbasis gender, pelecehan seksual, risiko kesehatan reproduksi akibat paparan bahan beracun, dan fasilitas yang tak memadai.
“Pada proyek-proyek industri bernilai miliaran dolar di seluruh Indonesia, secara de facto masyarakat lokal kini berada di zona pengorbanan, di mana ekstraksi nikel mengorbankan kesehatan, mata pencarian, dan hak-hak mereka.”

Di lapangan, CRI menemukan masyarakat yang tidak lelah bercerita sekalipun sudah banyak pemberitaaan terhadap kesengsaraan yang mereka alami sejak munculnya industri nikel. Harapan mereka, ada perubahan dari setiap publikasi dampak nikel bagi lingkungan dan masyarakat.
Lotte Leicht, Advocacy Director CRI, tidak menampik banyaknya pemberitaan dan publikasi serupa yang mereka lakukan. Bahkan, CRI sudah pernah dua kali menerbitkan riset terkait industri nikel di Indonesia Weda Industrial Park (IWIP). Yang pertama soal dampak industri nikel terhadap manusia dan iklim.
Dari dua riset ini, dia temukan ada kesamaan pola pembiaran terhadap kerusakan yang industri nikel sebabkan.
“Karena itu kami ambil tema ‘Does Anyone Care?’ karena kami lihat, ini semua karena pembiaran,” katanya.
Pemerintah, dan semua pihak terkait, katanya, seharusnya bisa melakukan perubahan jika mereka melihat pemberitaan yang begitu masif ihwal dampak industri nikel yang berjalan di Indonesia.
Menurut dia, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan, tapi harus berjalan dengan meminimalisasi dampak terhadap lingkungan dan manusia.
“Di sini lah peran pemerintah menjadi penting. Kalau regulasi ketat, maka semua akan berjalan baik.”
Arman Marunduh, Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Morowali Utara, menyampaikan hal serupa saat mendatangi lokasi banjir Desa Molino. Dia sempat menuding kolam sedimen pertambangan nikel yang beroperasi di kawasan bukit setempat jebol dan jadi biang kerok banjir bandang parah.
Berkali-kali, dia mempersoalkan buruknya tata kelola pertambangan nikel di Morowali Utara ke Pemerintah Sulteng.
“Dinas Lingkungan Hidup Provinsi mengatakan tidak ada pencemaran dan tidak kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.”
Pemerintah, katanya, tidak bisa menyelesaikan masalah tata kelola pertambangan yang buruk karena kendala kebijakan di pemerintah pusat.
Daerah pun tidak memiliki kewenangan untuk mengatur pengelolaan lingkungan dan Rencana Tata Ruang mereka di sektor pertambangan energi dan sumber daya mineral.

Desakan untuk pemerintah dan korporasi
Industri nikel akan terus jadi andalan pemerintah Indonesia. Presiden Prabowo bahkan berkomitmen melanjutkan hilirisasi nikel, alih-alih mencapai kesejahteraan, kemakmuran, dan menambah kekuatan ekonomi.
Dalam rekomendasinya, CRI meminta pemerintah seharusnya memperkuat dan menegakkan hukum dan peraturan nasional untuk minimalkan dampak penambangan dan pengolahan nikel terhadap masyarakat.
Kemudian mematuhi hukum HAM internasional, hukum lingkungan dan iklim, termasuk hukum kebiasaan internasional.
Namun, kebijakan dan undang-undang untuk prioritaskan pertumbuhan industri nikel yang pemerintah sahkan justru melemahkan perlindungan lingkungan dan hak-hak komunitas adat, serta memperkuat peran militer yang mengancam ruang hidup masyarakat.
CRI juga mendesak pemerintah segera hentikan pemberian izin untuk semua pembangkit listrik tenaga batubara, serta memasukkan pembangkit listrik captive tersebut dalam komitmen dekarbonisasi dan iklim internasional.
Mereka minta pertanggungjawaban, termasuk melalui tuntutan pidana dan sanksi perdata, perusahaan pertambangan dan pengolahan nikel, serta perwakilannya yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak individu atau masyarakat.
Mereka juga minta pelaksanaan sepenuhnya Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat, termasuk hak atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC), dan mengakui secara hukum masyarakat adat di Indonesia, termasuk sahkan RUU Masyarakat Adat.
“Indonesia harus menampilkan tanggung jawab-tanggung jawab yang berada di dalam peraturan internasional,” terang Krista.
Perusahaan tambang dan industri peleburan nikel sebagai penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM juga harus mereka minta bertanggung jawab memperbaiki polusi yang ada dan meminimalkan polusi udara, air, dan tanah.
Kemudian, menghentikan pembangunan PLTU serta transparansi informasi terkait ekspansi di masa depan, penggundulan hutan, akuisisi lahan, dan aktivitas industri. Perusahaan juga harus memberikan kompensasi adil kepada masyarakat terdampak.
“Saya pikir pemerintah dan korporasi bisa bekerjasama untuk mengatasi masalah ini.”
CRI juga akan menyasar perusahaan kendaraan listrik. Menurutnya, perusahaan-perusahaan ini harus memanfaatkan daya beli untuk menekan perusahaan tambang agar mengubah praktik yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.
“Untuk mempertahankan kredibilitas mereka sebagai bagian dari solusi krisis iklim, industri kendaraan listrik harus mendesak perusahaan nikel agar menghormati hak-hak masyarakat, menghentikan berbagai praktik yang merusak lingkungan, dan tak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber energi untuk pengolahan nikel.”

Sumber: mongabay.co.id
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
