Tarikalisasi Puisi: Inisiasi baru, prinsip dasar, dan praktik
Oleh: Ansori Barata*
Tulisan ini membahas inisiasi sebuah bentuk keilmuan seni baru yang dinamakan Tarikalisasi Puisi, -yang pada saat seminar / lokakarya ini diadakan - oleh Rasiklopedia, ia juga -sekaligus- bertindak sebagai penggagas konsep Tarikalisasi Puisi. Sintesis antara tari dan puisi mungkin bisa jadi pengertian awal Tarikalisasi Puisi. Berangkat dari kesadaran bahwa seni merupakan ruang dialog lintas medium, tempat kata-kata bersenyawa dengan gerak tubuh untuk melahirkan pengalaman estetis yang utuh. Makalah ini mengurai latar belakang bagaimana inisiasi ini diperkuat, memadukan gagasan dan temuan yang sudah ada, termasuk dasar pemikiran yang menopang kelahirannya, prinsip dasar yang perlu dijadikan acuan, serta praktik-praktik yang telah menunjukkan embrio bahwa tarikalisasi puisi pernah ada dan akan terus menjadi ada.
A. Pendahuluan
Sejak peradaban awal, seni telah menjadi ekspresi terdalam manusia dalam mengartikulasikan pengalaman eksistensialnya. Tari, dengan bahasa tubuhnya, menyampaikan pesan yang tidak terjangkau oleh kata-kata. Atau bisa pula dikatakan keindahan tubuh yang tak mampu diartikulasikan oleh kata, diterjemahkan oleh tari lewat gerkan yang berima dan berirama. Puisi, dengan kekuatan metafora, menembus ruang batin terdalam manusia. Tari memenuhi kebutuhan batin indera mata akan gerakan asimetris dari kenyataan kontekstual. Keduanya lahir dari sumber yang sama: kebutuhan untuk mengekspresikan makna di luar batas komunikasi sehari-hari.
Perkembangan seni kontemporer memperlihatkan kebutuhan baru untuk melampaui batas disiplin. Kesenian tidak lagi berdiri dalam sekat-sekat murni, melainkan saling menyerap, berdialog, dan melahirkan bentuk-bentuk hibrid. Dari kebutuhan inilah lahir gagasan tarikalisasi puisi: sebuah upaya sistematis untuk menyatukan bahasa tubuh tari dan bahasa kata puisi menjadi bentuk seni yang memiliki landasan konseptual dan praktik yang jelas. Rasiklopedia meringkasnya dalam satu.
Tujuan utama inisiasi ini bukan sekadar menghadirkan tontonan baru, melainkan membangun suatu bidang pengetahuan seni yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, baik dalam ranah estetika maupun praksis seni pertunjukan. Perpaduan antara tari dan puisi pun bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Dalam tradisi Nusantara, terdapat bentuk kesenian yang menggabungkan unsur verbal dan gerak, seperti: Tembang macapat Jawa, Randai Minangkabau, yang memadukan kaba (cerita lisan) dengan gerakan teatrikal juga yang terdapat dalam tradisi Yunani Kuno, tragedi Sophocles dan Euripides yang menggabungkan kata-kata puitis dengan koreografi.
B. Embrio Tarikalisasi Puisi
Berikut beberapa dugaan temuan embrio khazanah tarikalisasi puisi yang dapat penulis rangkum sebagai interprestasi penulis dalam menemukenali proses ini:
1. Tari Tradisional di Jambi
• Sastra lisan Jambi kaya dengan pantun, syair, dan gurindam. Bentuk-bentuk sastra ini kerap disajikan bukan hanya sebagai teks lisan, melainkan juga dalam konteks pertunjukan.
• Contoh: Tari Sekapur Sirih—sebenarnya tari penyambutan, namun sering dibawakan dengan syair yang dinyanyikan atau diucapkan, sehingga puisi tradisional menyatu dengan gerak simbolik.
• Tari Inai pada upacara pernikahan: diiringi dengan pantun-pantun atau syair tradisional yang bernuansa doa dan petuah, sehingga menghadirkan tarikalisasi secara tradisional.
• Kerinci punya tradisi Gendang Serunai yang biasanya dipakai dalam pesta adat, pernikahan, atau acara ritual. Dalam praktiknya, musik pengiring ini sering disertai dengan pantun Kerinci yang dilagukan. Ketika pantun dilantunkan, muncul tarian khas yang memperkuat pesan. Ini sudah merupakan bentuk tarikalisasi tradisional.
• Ada juga Tari Asyeik—tarian tradisional Kerinci yang diiringi dengan syair bernuansa religius dan cinta kasih. Puisi dalam bentuk syair dibawakan bersamaan dengan tarian, memperlihatkan keterpaduan kata dan gerak.
• Dalam perkembangannya, seniman muda Rasi mencoba mempelajari puisi kontemporer karya penyair daerah dengan iringan tarian tradisional, sehingga lahirlah bentuk baru tarikalisasi puisi.
2. Tari-Puisi Randai di Minangkabau
Randai adalah seni pertunjukan tradisional Minangkabau yang memadukan kaba (cerita rakyat yang berbentuk lisan/puitis) dengan gerakan teatrikal berbasis silek (silat Minang). Pementasan randai biasanya berbentuk lingkaran (arena), di mana para pemain menyampaikan cerita puitis (dialog dan dendang) sambil melakukan gerakan silat yang simbolis. Di sini, puisi lisan (kaba) menjadi narasi utama, sementara gerakan tubuh adalah interpretasi dramatis. Dengan demikian, randai adalah salah satu contoh paling jelas dari tarikalisasi tradisional: kata puitis tidak hanya diucapkan, tetapi juga dipentaskan melalui tubuh kolektif.
3. Model Tarian puisi Sufi Darwis di Turki
Dalam tradisi sufi, tarian darwis adalah bentuk tarikalisasi puisi yang tetap bertahan hingga saat ini. Para penari berputar atau bersatu dalam lingkaran besar sambil berputar mengikuti kecepatan zikir lafazh yang diucapkan oleh kelompok zikir. Seiring lafaz Allah yang semakin lama semakin cepat, para penari pun berputar semakin cepat hingga mencapai taraf ekstase. Dalam satu riwayat praktik ini sudah dikenal pula pada zaman penyair besar Jalaluddin Rumi.
4. Tarikalisasi Puisi Para Peyair
W.S. Rendra (1935–2009), yang dikenal sebagai Burung Merak, adalah tokoh penting dalam sejarah sastra dan seni pertunjukan Indonesia. Ia bukan hanya penyair, tetapi juga dramawan dan pendiri Bengkel Teater. Salah satu kontribusinya adalah menjadikan pembacaan puisi sebagai pertunjukan tubuh, bukan sekadar aktivitas membaca teks di panggung.Dalam banyak pementasannya.
Rendra menolak format konvensional pembacaan puisi yang monoton. Ia menggunakan: (1) Tubuh teatrikal: gerakan tangan, postur tubuh, bahkan langkah kaki yang disesuaikan dengan emosi puisi, (2) Intonasi dan vokal dramatis: suaranya dinaikkan atau diturunkan untuk menekankan makna, dan (3) Gestur dramatis: mimik wajah, tatapan, bahkan teriakan yang menjadi bagian dari ekspresi.
Puisi baginya bukan hanya teks tertulis, tetapi juga peristiwa tubuh yang menggetarkan ruang bersama antara penyair dan penonton. Seperti halnya Bip-Bop, puisi ini ditulis dan dipentaskan pada era 1960-an, dan menjadi salah satu contoh paling awal puisi performatif di Indonesia. Dalam Bip-Bop, Rendra tidak hanya membacakan kata-kata, melainkan juga: memainkan ritme tubuh (seperti tepukan, hentakan, dan nada suara) sehingga puisi terasa seperti musik tubuh, menggunakan bunyi non-leksikal (suara “bip” atau “bop”) untuk menghadirkan atmosfer, bukan sekadar makna verbal, dan ia juga menjadikan puisi sebagai teater mini di mana tubuh penyair menjadi instrumen utama.
Dari contoh di atas, jelas bahwa Rendra adalah pelopor tarikalisasi puisi di Indonesia karena: Ia menjembatani teks sastra dan tubuh aktor/penyair. Rendra juga memandang pembacaan puisi sebagai seni pertunjukan penuh, dan juga ia membuka jalan bagi pemahaman bahwa puisi dapat dihidupkan dengan gerak, suara, dan ekspresi—suatu bentuk yang kini akan kita kenal dengan konsep tarikalisasi puisi.
Demikian pula Sutardji Calzoum Bachri – puisinya dihidupkan lewat ekspresi tubuh liar dan intens, membuat pembacaan puisi menjadi ritual performatif. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) – menampilkan puisi yang diiringi musik dan gerak tubuh dalam forum budaya bersama Kiai Kanjeng.
Di belahan dunia lain tak ketinggalan ditemukan embrio tarikalisasi puisi seperti Tragedi Yunani Kuno – chorus dalam drama Sophocles mempertemukan teks puitis dan koreografi. Butoh Jepang (Kazuo Ohno, Tatsumi Hijikata) – tubuh butoh diperlakukan sebagai puisi hidup, penuh simbol dan metafora. Performance Poetry & Spoken Word – penyair seperti Saul Williams (AS) dan Kate Tempest (Inggris) menggunakan tubuh dan musik sebagai medium tafsir puisi. Walt Whitman dan puisinya Leaves of Grass sering menjadi dasar pertunjukan eksperimental di teater Amerika, menghadirkan tubuh sebagai puisi kolektif.
Praktik di atas menunjukkan bahwa tarikalisasi puisi bukan hanya eksperimen kontemporer, tetapi bagian dari tradisi panjang pertemuan kata dan tubuh. Tarikalisasi puisi hadir sebagai disiplin seni baru yang meneguhkan praktik tersebut dalam kerangka konseptual dan akademis.
Inilah beberapa akar historis tarikalisasi puisi di indonesia maupun mancanegara: kata-kata puitis tidak berdiri sendiri, tetapi berpadu dengan gerak tubuh dan musik sebagai pertunjukan total.
Contoh tradisi di atas membuktikan bahwa tarikalisasi puisi bukan fenomena baru, melainkan sudah mengakar sejak lama dalam budaya-budaya besar. Bedanya, kini tarikalisasi hadir dengan kesadaran akademis dan konseptual. Perbedaannya, tarikalisasi puisi muncul dengan intensi akademis dan kesadaran konseptual. Jika tradisi lama lahir organik dalam kerangka ritual atau hiburan, tarikalisasi puisi didesain sebagai metode seni yang dapat diajarkan, diteliti, dan dikembangkan.
C. Dasar Berpikir Tarikalisasi Puisi
• Mind Mapping
1. Tubuh adalah medium utama manusia berhubungan dengan dunia. Dalam tarikalisasi puisi, tubuh menjadi perpanjangan bahasa puisi; makna tidak hanya didengar, tetapi dilihat dan dialami.
2. Seni adalah simbol presentasional. Puisi menghadirkan simbol linguistik, tari menghadirkan simbol gestural. Tarikalisasi mempertemukan dua simbol ini menjadi sistem simbol ganda.
3. Seni pertunjukan adalah tindakan. Tarikalisasi puisi beroperasi sebagai tindakan ganda: kata yang diucapkan dan tubuh yang bergerak, mencipta makna baru bersama.
• Proses Kreatif Tarikalisasi Puisi
Sebagai panduan awal dalam proses kreatif tarikalisasi puisi, penting untuk memperhatikan langkah-langkah berikut:
1. Pemilihan puisi
Ini bagian yang paling penting. Dengan asumsi awal bahwa tidak semua puisi akan mudah ditarikalisasikan, karena itu sebagai inisiasi awal, puisi yang memenuhi syarat untuk memudahkan kreatifitas antara lain seperti :
• Model puisi lama bercorak pantun atau yang menggunakan banyak kata pengulangan, seruan (oi), atau penuh dialek bahasa daerah yang unik dan dapat memiliki irama. Puisi berjenis Mantra Karya penyair Kerinci Yupnical saketi bisa dijadikan panduan, atau Puisi puisi M. Yusuf asni dari Tanjabtimur yang banyak berisi nilai budaya dan kearifan lokal dapat pula dipelajari.
• Puisi-puisi bernuansa percakapan kamar, puisi puisi romantis Sapardi Joko Damono atau Pablo Naruda dapat dipelajari untuk tarikalisasi puisi yang lebih luas.
• Puisi-puisi Hmzah Fansuri yang sufi atau Mansur Samin dalam buku Dendang Kabut senja perlu dicari untuk segera diapresiasi kelompok tarikalisasi puisi.
• Pemilihan puisi menjadi penting dengan memperhatikan : tema yang diangkat, kekuatan diksi, kelayakan eksplorasi dan kemampuan tari dalam mengapreiasi keseluruhan materi puisi.
2. Pendalaman materi
Berupa penghayatan dan mencari interpretasi puisi dalam kelompok, ini memakan waktu yang cukup panjang Penghayatan dan interprestai melibatkan kemampuan baca penari dan penyair, ia harus mampu menangkap pesan-pesan puisi baik yang tersurat maupun yang tidak diungkap. Butuh ketelitian dan penghayatan yang kuat sehingga dapat mencari konsep gerak yang sinergis.
3. Penggunaan property
Memanfaatkan semaksimal mungkin ketika berada dalam ruang pertunjukan.
4. Pemilihan kostum
Untuk mengatakan bahwa Tarikalisasi puisi berbeda dengan Tari secara Mandiri atau Puisi secara mandiri tentu bisa diidentifikasi salah satunya dengan alat peraga yang dipakai. Penggunaan kostum yang berbeda dari tari pada umumnya penting dilakukan untuk merujuk bahwa ini tarikalisasi puisi
5. Pemilihan musik
Dalam hal ini, musik menjadi medium ke tiga yang membantu melayani pertemuan Tari dan Puisi. Jika musik diperlukan, pilihlah penggunaan musik yang minimal, tidak dominan tapi bisa memperkuat vibrasi yang dipancarkan oleh tari dan puisi. Gumaman penyair bisa jadi musik, kata kata yang berulang dengan mengatur intervensi volume juga bisa menjadi musik yang natural, tepukan tangan penari ke tubuh juga bentuk musik. Musik konvensional seperti bedug, jimbe, bas betot, atau violin dapat menjadi pilihan utama jika diperlukan.
Eksperiment:
1. Lakukan latihan vocal AUIOE, lakukan latihan lafal CACICUCECO dalam bahasa indonesia dan english, lakukan praktik gesture wajah dari para penari, baca dan lakukan penghayatan bebebrapa puisi berikut untuk kemudian dieksplorasi dalam gerak tubuh.
2. Bentuk kelompok, ciptakan suasana harmonis dan kebersamaan sebelum memulai proses kreatif.
3. Latih proses kreatif penciptaan puisi dengan membuat diksi diksi dari kata berikut : kesedihan, bahagia, keluarga, rindu, dendam.
4. Baca dan lakukan interepretasi terhadap puisi berikut dan buat gerakan tari sederhana
Kesedihan Indonesia adalah tanah tanah tergadai
Laut tanpa batas dan dinding
Kami bersama Tuhan menjadi penunggu gubuk-gubuk reot
Kesedihan indonesia adalah tangan tangan petani
yang terseok di antara lumpur dan waktu magrib
Kami bicara keadilan, tidak di ruang pengadilan
Sebab disitu satu kesaksian adalah satu nyawa
Satu nyawa tlah tak berharga.
(Cuplikan Puisi Kesedihan Indonesia, Ansori Barata 2014)
D. Penutup
1. Tantangan dan Strategi
• Tantangan: reduksi makna, dominasi salah satu medium, keterbatasan tubuh dalam menafsirkan imaji puisi.
• Strategi: membaca puisi secara mendalam, menggunakan simbol gerak, mengintegrasikan musik-ruang-cahaya, dan menjaga keseimbangan antara teks dan tubuh.
2. Potensi Akademis dan Praktis
Akademis:
• Kajian interdisipliner (sastra, tari, teater, filsafat).
• Landasan kurikulum seni lintas disiplin.
• Basis riset practice-based research.
Praktis:
• Membuka genre pertunjukan baru.
• Ruang kolaborasi penyair dan koreografer.
• Media edukasi seni & terapi ekspresif.
Tarikalisasi puisi adalah upaya kreatif dan filosofis menyatukan dua dunia: kata dan tubuh, puisi dan tari. Ia bukan sekadar hiburan, tetapi ruang refleksi, dialog, dan transformasi kultural. Dengan dasar filsafat yang kuat, prinsip yang jelas, serta praktik nyata baik di Indonesia maupun dunia, tarikalisasi puisi layak dikembangkan sebagai disiplin keilmuan seni yang baru.
Maka, tarikalisasi puisi adalah jembatan antara kata dan tubuh, tradisi dan kontemporer, Indonesia dan dunia. Ia lahir dari sejarah, tumbuh dalam filsafat, dan bergerak menuju masa depan.
Daftar Baca:
• Kuswarsantyo, Dwi. (2017). Teater dan Puisi: Estetika Pertunjukan Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
• Murgiyanto, Sal. (1991). Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. hlm. 85–97.
• Navis, A.A. (1984). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers. hlm. 221–234
• Sedyawati, Edi. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
• Soemanto, Bakdi. Rendra: Karya dan Dunianya. Pustaka Jaya, 1985.
• Soedarsono. (2002). Seni Pertunjukan Jawa: Tradisi dan Transformasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 123–137.
_______________________________________________________
* Pelaku Seni, beralamat di Tanjab Timur, Jambi 08136085400
** Disampaikan pada Lokakarya Tarikalisasi Puisi, Rasiklopedia, 3-5 Okober 2025 di Mini Panggung Sanggar Seni Rasi, Kota Jambi
Karya Sastrawan Jambi Sukses Disajikan Rasiklopedia di Tarikalisasi Puisi "Bait Menari Tubuh Bicara"
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom


.jpg)