Saturday, November 1, 2025

Tarikalisasi Puisi: Eksperimen yang Baru Dimulai


Oleh: Oky Akbar


Daya hidup puisi terletak pada kelenturan tafsir. Ia lentur sebab sanggup menampung emosi, imaji, dan simbol yang tidak terbatas. Dalam kelenturan itu, puisi seolah bergerak, berpindah, dan berkembang ke bentuk baru bagi dirinya. Ia dapat menjadi suara, gerak atau bentuk serupa yang menuntut kejelasan naratif. Setiap tafsir adalah kelahiran baru. Setiap penafsir adalah tubuh baru dan setiap pendengar adalah napas baru. Puisi tidak berubah. Ia hanya berselancar, berpindah sebentar. Maka jadilah ia deklamasi puisi, musikalisasi puisi atau ‘dramatisasi puisi’.


Jika musikaliasasi puisi adalah perpaduan pembacaan puisi dengan musik dan deklamasi puisi adalah perpaduan pembacaan puisi dengan gaya suka-suka serta ‘dramatisasi puisi’ yang dapat dianggap sebagai perpaduan dialog, peran, dan puisi, bagaimana jika puisi dipadukan dengan tari atau puisi dengan lukis? Apakah semudah hanya menambah embel-embel “-isasi” pada bentuk lama yang menjadi tarikalisasi puisi atau lukisalisasi puisi?


Pertanyaan di muka menjadi pemantik atas kerja kreatif yang dipelopori Rasiklopedia. Berbekal pendanaan penuh dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, komunitas ini menginisiasi produk tarikalisasi puisi. Lebih-lebih, saya diminta untuk menjadi narasumber, menghubungkaitkan puisi dengan tari.


Tarikaliasasi puisi mungkin terdengar baru. Saya mengistilahkannya, bukan mendefenisikan, sebagai perpaduan antara tari dengan puisi. Kata kuncinya adalah ‘perpaduan’. Sebagaimana bentuk-bentuk ekranasi puisi yang sudah saya jelaskan di atas. Kata ‘perpadaduan’ menjadi sangat penting sebab tidak ada bentuk yang benar-benar baru. Ia jelas dikotomi antara puisi dengan musik, dengan drama, dan deklamasi. Porsinya jelas. Mereka hanya berpadu dalam wujud baru, tidak benar-benar lebur. Berbeda jika menggunakan istilah ‘kawin’, yang tujuannya menyatukan. Dengan begitu, konsep seperti ini akan lebih mudah diterima.




Dalam tradisi lokal, khususnya di Jambi, kita telah lama menyaksikan bentuk ekspresi yang menyerupai. Pada upacara adat, pembacaan mantra, yang sejatinya adalah puisi, sering disertai dengan gerak tubuh spontan dari penuturnya. Gerak itu tidak hanya estetis. Geraknya menjadi sakral dan simbolik. Dari sana, tarikalisasi puisi dapat dilihat sebagai respons kelanjutan, dari tradisi tubuh dan bunyi konvensional yang berusaha dikemas dalam bentuk estetik kontemporer.


Dari titik tradisi, tarikalisasi puisi seolah menemukan pijakannya, menerjemahkan kegetiran, keindahan bahkan perlawanan lewat tubuh yang bergerak. Jika musikalisasi puisi menekankan bunyi dan ritme, dan dramatisasi puisi berpusat pada peran serta dialog maka tarikalisasi menggandakan tafsir dari telinga ke tubuh, dari resonansi suara pun menuju resonansi gerak.


Ketika tubuh menari mengikuti bunyi kata, batas antara pembaca dan penonton lenyap, di situlah tarikalisasi puisi menemukan rohnya. Lagi-lagi, ia bukan bentuk baru. Ia ialah eksperimen lintas disiplin yang berusaha memadukan ranah estetika sastra dan tari. Dalam bentuk ini, puisi tidak hanya dibaca, tetapi ditubuhkan. Maknanya tidak hanya diucapkan, tetapi digerakkan. Puisi menjadi sumber gerak, sedangkan tari menjelma sebagai ruang tafsir berlapis yang memperluas tafsir puisi.


Secara konseptual, tarikalisasi puisi menuntut ketegasan batas (sebagaimana saya menyebutnya dikotomis) antara puisi sebagai sumber ide dan tari sebagai medium interpretasi. Keduanya harus hadir dalam keseimbangan. Puisi tetap terbaca secara emosional, sedangkan tari memperluas makna, bukan mengilustrasikannya. Jangan sampai, setiap baris puisi diterjemahkan langsung menjadi gerak. Jika demikian, hasilnya bukan tarikalisasi puisi, melainkan visualisasi puisi, hanya pemindahan literal, dari teks ke tubuh tanpa kedalaman tafsir. Padahal, penafsiran puisi (sebagai daya hidup) mestinya diselesaikan terlebih dahulu secara utuh untuk kemudian ditrasformasikan menjadi gerak yang mencerminkan makna total, bukan potongan-potongan kata.


Keterpaduan tarikaliasasi puisi ditentukan oleh aspek verbal dalam deklamasi. Dinamika, intonasi, dan jeda menjadi pondasi estetika gerak. Tempo pembacaan yang terlalu cepat membuat akan tubuh kehilangan ruang ekspresi, sedangkan pembacaan yang lambat dapat melemahkan energi visual. Ketepatan tekanan suara bisa menyalakan, meredam bahkan menggugurkan intensitas tubuh. Dengan demikian, tarikalisasi puisi ialah persoalan harmonisasi verbal dan nonverbal, antara bunyi yang menuntun dan gerak yang menafsir.


Eksperimen yang dilakukan Rasiklopedia lewat dua puluh karya tarikalisasi puisi telah disajikan dalam Malam Apresiasi Tarikalisasi Puisi: Bait Menari, Tubuh Bicara di Taman Budaya Jambi. Secara konseptual cukup kokoh. Setiap karya menampilkan dua kreator utama, deklamator dan penari, yang berpadu dalam satu ruang pertunjukan dengan dukungan tata busana, properti, dan ilustrasi musik. Namun, ada beberapa catatan penting perlu saya kemukakan.


Hampir seluruh deklamator menawarkan tempo pembacaan yang seragam dan minim variasi dinamik, intonasi, dan jeda. Pembacaannya flat. Akibatnya, puisi kehilangan lapisan emosi yang seharusnya menjadi bahan bakar bagi gerak tari. Hubungan antara suara dan tubuh menjadi mekanis bukan dialogis. Tubuh menari tanpa gelombang batin. Gerak hanya mengikuti irama datar yang tidak memberi ketegangan dramatik. Di sinilah, tarikalisasi puisi kehilangan daya gugahnya, bukan karena gagasan yang lemah, melainkan interpretasi verbal yang gagal menciptakan resonansi.




Untungnya, sebagian besar pertunjukan terselamatkan oleh ilustrasi musik yang menambal lapisan emosi dan menjaga ritme keseluruhan. Tanpa itu, pertunjukan mungkin akan terasa lebih kaku dan kehilangan arah dramatik. Hal ini pula yang justru menimbulkan pertanyaan baru. Sejauh mana musik harus hadir dalam tarikalisasi puisi? Apakah ia menjadi penopang utama atau justru memperlemah dialogis murni antara bunyi deklamasi dan gerak tubuh? Tidak lagikah dia menjadi dikotomis antara puisi dan tari?


Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas menunjukkan bahwa tarikalisasi puisi masih merupakan wilayah eksperimentasi yang cair. Bentuk idealnya mungkin tidak akan pernah final dan barangkali memang tidak perlu. Justru di situlah daya hidupnya. Pada keberanian untuk terus menafsir, menguji, dan memperluas kemungkinan pemaduan antara kata dan tubuh.


Saya menawarkan beberapa arah eksplorasi ke depan yang bisa digunakan. Pemilihan tema puisi yang lebih fokus, penggarapan verbal yang lebih ekspresif serta koreografi yang tidak hanya indah, tetapi juga konseptual. Tarikalisasi puisi membutuhkan kejelasan dramaturgi dan struktur emosi yang memungkinkan kata dan gerak saling berpadu.


Pada akhirnya, tarikalisasi puisi adalah sebuah terobosan. Ia menjadi ruang dialog antara teks dan tubuh, antara tradisi dan eksperimentasi. Ia mengajukan pertanyaan mendasar: sejauh mana kata dapat menari dan tubuh dapat berbicara tanpa kehilangan makna? Selama pertanyaan itu terus diajukan, tarikalisasi puisi mungkin akan tetap hidup, bukan sebagai bentuk yang selesai.


Tarikalisasi puisi akan selalu menjadi medan tafsir yang senantiasa bergerak, berpindah, dan berekspansi bagi dirinya, dari ruang sunyi pembacaan menuju panggung yang riuh, dari halaman kertas menuju tubuh yang bernyawa. Di sanalah, puisi terus diuji dan diperbarui, tidak untuk menemukan batas, tetapi untuk menegaskan keberadaannya yang tidak pernah tetap. Ia tumbuh dalam gerak, bertahan dalam perubahan, dan menemukan maknanya justru dalam kemungkinan untuk selalu menjadi sesuatu yang baru.





Follow bicarajambi.com
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom
Bisnis Klik Tautan Ini: PEMASANGAN IKLAN


Ikuti info terbaru bicarajambi.com di 
Channel bicarajambiDOTcom melalui
WhatsApp dan Telegram


Peringatan Penting!
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin informasi/berita/konten/artikel, namun dengan mencantumkan sumber bicarajambi.com